Sukses

Donald Trump Menang Pilpres AS, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bakal Terganggu

Ketidakpastian ekonomi akan muncul akibat kebijakan proteksi Donald Trump yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Donald Trump berhasil memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2024 setelah mengalahkan Kamala Harris. Donald Trump memiliki ciri khas kebijakan politik dan ekonominya adalah "Make America Great Again," yang mencerminkan fokus utama pada kebijakan proteksionisme dan perang dagang dengan negara-negara lain, khususnya dengan China.

Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan, menilai proteksi dagang yang diusung Trump berpotensi menciptakan dampak besar terhadap ekonomi global. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, misalnya, tidak hanya berdampak pada kedua negara tersebut, tetapi juga mempengaruhi negara-negara lain yang terlibat dalam rantai pasokan global.

Ketidakpastian ekonomi ini muncul akibat kebijakan proteksi yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

"Kebijakan-kebijakan proteksi perang dagang itu masih akan dilakukan. Justru ketika ini dilakukan maka akan berpengaruh terhadap ekonomi global secara keseluruhan sehingga ketidakpastian itu meningkat. Bagi Indonesia bisa saja ini akan berpengaruh signifikan lewat transmisinya China," kata Abdul kepada Liputan6.com, Kamis (7/11/2024).

Pasalnya Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan China, mungkin akan merasakan dampak signifikan dari kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah Trump. China, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia, berperan sebagai pintu masuk bagi banyak barang impor.

Ketika Amerika Serikat meningkatkan tekanan dagang pada China, bisa dipastikan bahwa perekonomian China akan terpengaruh, dan dampaknya pun akan menyebar ke negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Misalnya, saat perang dagang dengan China semakin intens, pasokan barang-barang produksi China, yang banyak menjadi komponen impor di Indonesia, akan terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh industri Indonesia.

"Kenapa kita terpengaruh signifikan? karena kan ekonomi China itu lagi lesu, pada saat Trump melakukan lagi perang dagang dengan China, maka bahan produksi China akan melemah yang pada akhirnya mempengaruhi persediaan barang-barang impor ke Indonesia, karena sebagian besar impor kita dari China industrinya," ujarnya.

 

2 dari 2 halaman

Pasar Valuta Asing

Selain dampak langsung terhadap perdagangan dan pasokan barang, kebijakan Trump juga dapat mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Ketidakpastian global yang timbul dari kebijakan perdagangan yang agresif dapat memicu tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Terlebih lagi, kebijakan kontroversial Trump yang dapat memperburuk ketegangan global berpotensi menciptakan volatilitas di pasar valuta asing.

Menurutnya, dengan adanya potensi tekanan terhadap nilai tukar, Indonesia bisa menghadapi tantangan baru terkait utang luar negeri. Ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi, baik utang pemerintah maupun utang swasta yang denominasi dalam mata uang asing bisa meningkat, menambah beban keuangan Indonesia.

"Dari sisi nilai tukar bisa jadi ketika Trump terpilih maka banyak kebijakan-kebijakan kontroversinya dia yang bisa mempengaruhi stabilitas rupiah, nah transmisinya dampaknya akan terlihat dari bagaimana rupiah kita tertekan, bisa jalurnya ke hutang Pemerintah maupun hutang swasta," jelasnya.

Kendati, Indonesia tetap berharap agar kebijakan-kebijakan Trump tidak terlalu ekstrim atau mengarah pada eskalasi ketegangan yang lebih lanjut. Pemulihan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan pada tahun 2025 dengan target pertumbuhan 5,2 persen membutuhkan stabilitas baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

"Tapi kita berharap Trump tidak aneh-aneh agar nanti pemulihan ekonomi kita bisa cepat, karena kita melihat tahun 2025 targetnya 5,2 persen," pungkasnya.

 

Video Terkini