Â
Liputan6.com, Jakarta Presiden terpilih Donald Trump berencana untuk mengaktifkan kembali kebijakan ekonomi yang mencakup tarif impor, pemotongan pajak, serta sanksi ekonomi saat ia mulai menjabat kembali. Langkah ini menjadi bagian dari agenda utama Partai Republik. Hal ini usai Donald Trump memenangkan Pemilihan Presiden atau Pilpres AS 2024 dengan mengalahkan pesaingnya, Kamala Harris.
Menurut Steven Mnuchin, mantan Menteri Keuangan yang menjabat pada periode pertama Donald Trump dari 2017 hingga 2021, pemotongan pajak adalah salah satu elemen krusial dari program yang akan diterapkan. Dalam wawancara dengan CNBC, ia menyatakan bahwa kebijakan ini kemungkinan besar akan mendapatkan dukungan dari Kongres, terutama jika Partai Republik juga menguasai Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca Juga
Prioritas Tarif Impor
Tarif impor menjadi fokus utama bagi Donald Trump, mirip dengan yang dilakukan selama masa jabatannya yang pertama. Trump berkomitmen untuk menerapkan tarif baru, khususnya terhadap China. Mnuchin menegaskan, "Tarif perlu diterapkan untuk mendorong mitra dagang kembali ke meja perundingan, terutama China, yang belum memenuhi semua kesepakatan yang mereka buat."
Advertisement
Sanksi Terhadap Negara Tertentu
Selain tarif, Mnuchin juga mengindikasikan bahwa negara-negara seperti Iran dan Rusia mungkin akan menghadapi sanksi baru. Pada tahun 2019, pemerintahan Trump telah memberlakukan sanksi terhadap industri minyak Iran yang dianggap terkait dengan Garda Revolusi. Menurut Mnuchin, "Sanksi terhadap Iran dan Rusia sangat signifikan. Saat ini, Iran menjual jutaan barel minyak, dan ini perlu dihentikan."
Persiapan untuk Isu Ekonomi Lain
Meskipun Mnuchin mungkin tidak akan mengambil posisi resmi dalam pemerintahan Donald Trump yang akan datang, ia menyatakan kesiapannya untuk memberikan bantuan dari luar. Ia memperkirakan bahwa Trump akan fokus pada isu-isu lain, seperti pengeluaran pemerintah yang tinggi dan defisit. "Dia berada dalam posisi yang baik, terutama dengan dukungan besar yang ia terima, untuk menangani masalah-masalah sulit ini, dan pengeluaran pemerintah harus menjadi salah satu prioritas," ujarnya.
Bos The Fed Powell Ungkap Tak Akan Mengundurkan Diri Jika Diminta Donald Trump
Pernyataan Jerome Powell Terkait Posisi di Federal Reserve
Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, menegaskan bahwa ia tidak akan mengundurkan diri meskipun Presiden terpilih AS, Donald Trump, meminta hal tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Powell dengan tegas menjawab, "Tidak," ketika ditanya mengenai kemungkinan pengunduran dirinya jika diminta oleh Trump. Pernyataan ini dilansir dari CNBC International pada Jumat, 8 November 2024.
Wewenang Presiden dalam Pemecatan
Powell menjelaskan bahwa presiden tidak memiliki kekuasaan untuk memecat atau menurunkan jabatannya sebagai ketua The Fed. "Ini tidak diizinkan menurut hukum," ungkapnya setelah bank sentral memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, menjadikannya berada di kisaran 4,50%-4,75%.
Dampak Kemenangan Trump terhadap Kebijakan The Fed
Meski Trump meraih kemenangan dalam pemilihan presiden, Powell menekankan bahwa hal tersebut tidak akan berdampak langsung pada kebijakan yang diambil oleh bank sentral. "Dalam waktu dekat, pemilihan tidak akan berdampak pada keputusan kebijakan kami," tegasnya. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan pemerintahan yang baru dapat mempengaruhi kondisi ekonomi, yang pada gilirannya akan berhubungan dengan mandat ganda The Fed untuk memaksimalkan lapangan kerja dan menjaga stabilitas harga.
Ketidakpastian Kebijakan di Masa Depan
Powell menyatakan bahwa saat ini masih terlalu awal untuk menentukan dampak kebijakan pemerintahan yang baru. "Ini masih tahap awal," ujarnya. "Kita tidak tahu apa saja kebijakannya, dan begitu kita mengetahuinya, kita tidak akan tahu kapan kebijakan itu akan dilaksanakan," jelasnya lebih lanjut.
Advertisement
Investor Bakal Cermati Hubungan Jerome Powell dan Donald Trump
Hubungan Trump dengan Ketua Fed: Apa yang Perlu Diketahui Investor
Investor saat ini tengah memperhatikan dengan seksama dinamika antara mantan Presiden Donald Trump dan Ketua Federal Reserve (Fed), Jerome Powell. Trump, yang mengangkat Powell pada tahun 2017, telah menunjukkan sejumlah perbedaan pandangan dengan pemimpin bank sentral AS ini selama masa kepresidenannya.
Salah satu kritik utama Trump terhadap Powell adalah terkait kebijakan moneter. Ia berpendapat bahwa Powell tidak cukup cepat dalam melonggarkan kebijakan tersebut. Dalam sebuah wawancara pada Oktober 2024, Trump menyatakan bahwa presiden seharusnya memiliki suara dalam keputusan suku bunga. Ia menegaskan, "Saya rasa saya tidak boleh diizinkan untuk memerintahkannya, tetapi saya rasa saya berhak untuk memberikan komentar mengenai apakah suku bunga harus naik atau turun," saat berbicara di Economic Club of Chicago pada 15 Oktober 2024.
Ketika pandemi Covid-19 melanda pada Maret 2020, Trump bahkan mengklaim memiliki kewenangan untuk mencopot Powell dari jabatannya. Hal ini menunjukkan ketegangan yang ada antara keduanya. Masa jabatan Powell sebagai Ketua Fed dijadwalkan berakhir pada tahun 2026, dan bagaimana hubungan mereka akan berkembang menjadi perhatian penting bagi para investor.
Pentingnya Memahami Dinamika Ini
Memahami hubungan antara Trump dan Powell sangat penting bagi investor yang ingin mengantisipasi pergerakan pasar dan kebijakan moneter di masa depan. Ketidakpastian politik dan ekonomi dapat mempengaruhi keputusan investasi secara signifikan. Oleh karena itu, memperhatikan perkembangan ini dapat membantu investor dalam merumuskan strategi yang lebih baik.
Kesimpulan
Dengan masa jabatan Powell yang masih tersisa dan potensi pengaruh Trump di masa mendatang, investor harus tetap waspada terhadap setiap perubahan yang mungkin terjadi. Memantau hubungan ini akan memberikan wawasan berharga tentang arah kebijakan moneter dan dampaknya pada pasar keuangan.
Kapitalisasi Pasar Tesla Sentuh USD 1 Triliun Usai Kemenangan Donald Trump
Kenaikan Valuasi Pasar Tesla dan Dampak Kemenangan Trump
Perusahaan otomotif yang dipimpin oleh Elon Musk, Tesla, baru saja mencatatkan prestasi dengan mencapai valuasi pasar sebesar USD 1 triliun untuk pertama kalinya sejak April 2022. Saham Tesla mengalami lonjakan signifikan sebesar 7% pada hari Jumat, mencapai puncak intraday di angka USD 319,44. Sejak Donald Trump dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden AS, saham Tesla telah meningkat hingga 27%. Sepanjang tahun ini, saham Tesla tercatat naik 26%, sejalan dengan tren positif yang ditunjukkan oleh indeks S&P 500 dan Nasdaq 100.
Elon Musk, sebagai CEO Tesla, juga dikenal sebagai salah satu penyokong utama kampanye Trump, dengan kontribusi lebih dari USD 100 juta untuk mendukung upaya pemilihannya kembali. Lonjakan nilai saham Tesla dalam minggu ini turut meningkatkan kekayaan bersih Musk menjadi sekitar USD 300 miliar, yang mengukuhkannya sebagai orang terkaya di dunia menurut data dari Bloomberg.
Dampak Kemenangan Trump terhadap Tesla
Menurut analis Wedbush, Dan Ives, meskipun kemenangan Trump dapat membawa dampak negatif bagi sektor kendaraan listrik secara umum, ada potensi keuntungan signifikan bagi Tesla. Meskipun kemungkinan pemotongan insentif pajak dan diskon federal untuk kendaraan listrik bisa terjadi selama masa jabatan kedua Trump, Tesla dianggap lebih siap dibandingkan kompetitornya untuk menghadapi situasi ini.
Ives menjelaskan, "Tesla memiliki skala dan jangkauan yang tak tertandingi dalam industri kendaraan listrik. Dinamika ini dapat memberikan Musk dan Tesla keunggulan kompetitif yang jelas dalam lingkungan tanpa subsidi untuk kendaraan listrik. Selain itu, kemungkinan tarif yang lebih tinggi terhadap produk dari Tiongkok akan menghambat masuknya pemain kendaraan listrik Tiongkok yang lebih murah, seperti BYD dan Nio, ke pasar AS dalam beberapa tahun ke depan."
Percepatan Inovasi Teknologi Tesla
Deregulasi yang signifikan di bawah kepemimpinan Trump juga dapat mempercepat peluncuran platform Full Self-Driving Tesla. Valuasi premium Tesla sangat bergantung pada kemajuan dalam menghadirkan kendaraan yang sepenuhnya otonom. Oleh karena itu, setiap kemajuan dalam teknologi ini kemungkinan akan disambut baik oleh para investor.
Â
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement