Liputan6.com, Jakarta - Inflasi Rusia terus memburuk seiring terus melancarkan perang terhadap Ukraina. Hal tersebut menyebabkan barang-barang kebutuhan sehari-hari terasa tidak terjangkau bagi kebanyakan orang.
Mengutip Fortune, Selasa (12/11/2024), kondisi tersebut ditunjukkan saat pencurian mentega baru-baru ini. Dua pria menerobos masuk ke toko susu dan mencuri 20 kg mentega, menunjukkan betapa buruknya masalah itu. Harga sepotong mentega telah naik 25,7 persen sejak Desember yang memicu serangkaian pencurian di Rusia dan menyoroti keadaan ekonomi masa perang.
Baca Juga
Setelah gelombang sanksi awal terhadap Rusia setelah invasinya, laporan menunjukkan supermarket menempelkan label antipencurian pada kaleng daging untuk mencegah pencurian di toko. Saat ini, pengecer harus mengambil tindakan serupa untuk mentega dan bahan pokok lainnya.
Advertisement
Bulan lalu, bank sentral Rusia menaikkan suku bunga menjadi 21 persen, hampir tujuh kali lipat dari kawasan Euro. Bank sentral berharap dengan menaikkan suku bunga untuk ekonomi yang terlalu panas, inflasi dapat turun menjadi 4,5 persen-5 persen tahun depan, turun tajam dari 9,1 persen pada Agustus.
"Pabrik pembuat mentega pada umumnya akan dengan senang hati memenuhi permintaan dan bekerja dalam tiga shift juga. Namun, jumlah orang yang tersedia tidak cukup untuk mereka pekerjakan,” ujar Peneliti di Carnegie Russia Eurasia Center di Berlin, Alexandra Prokopenko kepada Financial Times.
"Anda tidak dapat melawan inflasi dan perang pada saat yang bersamaan,” ia menambahkan.
Akan tetapi, Presiden Vladimir Putin tidak setuju. Ia yakin Rusia dapat memasok senjata dan mentega tanpa membuat pengorbanan yang menyakitkan.
Senjata vs Mentega
Inflasi tidak terjadi secara terpisah, pasar kerja negara tersebut ketat, mendorong pengusaha menaikkan gaji untuk mempertahankan daya saingnya. Angka populasinya juga tidak mengimbangi sehingga memperparah kekurangan tenaga kerja.
Sementara inflasi meningkat, Putin juga telah meningkatkan pengeluaran pertahanan.
Pada 2025, Kremlin telah alokasikan 13,5 triliun rubel atau USD 145 miliar. Jumlah itu setara Rp 2.291 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 15.803). Dana tersebut 6,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Rusia untuk pertahanan, mengisyaratkan perang yang akan berlangsung lama dan melampaui pengeluaran untuk pendidikan dan perawatan kesehatan.
Itulah sebabnya industri yang terkait dengan perang, yakni layanan transportasi dan navigasi telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
PDB negara itu telah tumbuh sebagian karena industri-industri ini dan peningkatan investasi sektor swasta. Akan tetapi, aset terpenting Rusia adalah ekspor minyak. Neraca pemerintah itu tetap solid karena hal tersebut meski sanksi telah merusak ekonomi Rusia dan Rubel anjlok terhadap dolar AS dan euro.
Sejumlah ahli khawatir ekonomi Rusia yang tidak seburuk yang terlihat, karena faktor keuangan, teknologi, dan demografi mengancam pertumbuhan jangka panjangnya.
"Sederhananya, pemerintahan Putin telah memprioritaskan produksi militer di atas semua hal lain dalam ekonomi, dengan biaya yang besar. Sementara industri pertahanan berkembang, konsumen Rusia semakin terbebani dengan utang, yang berpotensi menjadi pemicu krisis yang mengancam,” demikian dari tulisan sejumlah pakar dalam tajuk rencana Fortune pada Agustus.
Advertisement
Apa yang Bisa Berubah di Bawah Kepemimpinan Donald Trump?
Rusia tidak punya rencana untuk akhiri perangnya dengan Ukraina. Akan tetapi, Presiden terpilih AS Donald Trump pernah berkata bisa mengakhirinya dalam 24 jam karena ia ingin warga Rusia dan Ukraina berdamai.
Jika itu terjadi dan gencatan senjata benar-benar terjadi, itu bisa berarti pelonggaran sanksi bagi Rusia dan berkurangnya isolasi dari belahan dunia lain. Ukraina berpotensi kehilangan dukungan dari Amerika Serikat yang telah berikan bantuan USD 108 miliar kepada negara yang dilanda perang itu.
Dukungan AS untuk Ukraina adalah yang menahan Rusia untuk merayakan kembalinya Trump ke Gedung Putih. Juru Bicara Kremlin mengatakan, AS adalah negara yang tidak bersahabat yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam perang melawan Rusia. Akan tetapi, itu tidak akan semudah kelihatannya, karena tidak ada rencana pasti untuk akhiri perang.
Bagaimana Presiden Donald Trump dapat membantu dan merugikan Rusia akan terurai pada 2025, dan Kremlin akan terus awasi dengan cermat dan siap untuk membalas jika diperlukan.