Sukses

Bos Bank Sentral Prancis Sebut Kebijakan Donald Trump Bakal Hambat Ekonomi Global

Kepala bank sentral Prancis (Bank of France) dan anggota Bank Sentral Eropa (ECB), Francois Villeroy de Galhau menilai, kebijakan ekonomi Donald Trump juga berdampak terhadap warga AS.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala bank sentral Prancis (Bank of France) dan anggota Bank Sentral Eropa (ECB), Francois Villeroy de Galhau mengingatkan agenda ekonomi Presiden terpilih AS Donald Trump berisiko mengembalikan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.

"Program tersebut berisiko mengembalikan inflasi Amerika Serikat," kata Villeroy kepada radio France Inter, dikutip dari US News, Kamis (14/11/2024).

"Ini berisiko menurunkan pertumbuhan sedikit, di seluruh dunia. Masih harus dilihat apakah pengurangan tersebut akan lebih terasa di Amerika Serikat, Tiongkok, atau di Eropa,” ungkap Kepala Bank Sentral Prancis Galhau.

Seperti diketahui, Trump telah melontarkan gagasan tarif impor sebesar 10% atau lebih pada semua barang yang diimpor ke AS, yang menurut dia akan meredam defisit perdagangannya.

Namun, Villeroy memperkirakan konsumen AS akan menanggung beban utama dari kenaikan tarif impor tersebut.

"Proteksionisme hampir selalu berarti berkurangnya daya beli konsumen," ucap Villeroy.

Diwartakan sebelumnya, ekonom mengingatkan bahwa jika Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif perdagangan yang lebih tinggi, pengeboran minyak yang lebih banyak, hingga tuntutan yang lebih besar terhadap mitra NATO, dapat menimbulkam tekanan pada keuangan pemerintah, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi.

"Janji fiskal Trump benar-benar memperberat, bagi ekonomi AS dan pasar keuangan global, karena menjanjikan akan memperluas defisit yang sudah berlebihan pada saat yang sama ketika ia mengancam akan melemahkan lembaga-lembaga utama," ujar Erik Nielsen, Kepala Penasihat Ekonomi Grup di UniCredit.

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dampak ekonomi dari kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2024.

Ia melihat, sentimen pelaku pasar keuangan terhadap Trump terfokus pada kebijakannya yang berpotensi mengubah fiskal pemerintahan AS.

"Pada saat yang sama nanti akan menimbulkan policy yang berubah karena Trump didukung Republic sedangkan saat ini Biden dari Demokrat," ujar Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu di Jakarta, Jumat, 8 November 2024.

 

2 dari 4 halaman

Selain China, Negara Ini Bakal Terkena Dampak Kebijakan Donald Trump

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai kebijakan ekonomi Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan menerapkan proteksionisme dengan menaikkan tarif impor. Hal itu akan berdampak terhadap negara-negara mitra dagang.

Sri Mulyani menuturkan, Donald Trump merupakan sosok yang dikenal proteksionisme dalam melindungi neraca dagang negaranya. Sehingga, Sri Mulyani tak segan mengenakan tambahan bea impor bagi negara mitra yang membukukan surplus perdagangan.

"Kebijakan presiden incoming yaitu Presiden Trump tentang terutama di bagian penurunan pajak korporasi, ekspansi belanja untuk beberapa yang sifatnya strategis, dan proteksionisme dengan menaikkan tarif impor," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Sri Mulyani mencontohkan, China sebagai salah satu negara mitra dagang yang membukukan surplus harus dikenakan tambahan tarif bea masuk impor oleh Trump.

"Selama ini mungkin targetnya adalah Amerika Serikat terhadap RRT yang membukukan surplus," tutur dia.

Bahkan Presiden Donald Trump juga diyakini akan memperluas kebijakan tambahan tarif impor usai terpilih kembali menjadi Presiden AS. Sri Mulyani menuturkan, negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) juga terancam dikenai kebijakan serupa.

"Jadi, mungkin tidak hanya RRT saja yang kena, dalam hal ini ASEAN seperti Vietnam dan beberapa lain mungkin akan dijadikan poin untuk fokus dan perhatian pengenaan tarif impor ini," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengaku tak menutup telinga terkait isu akan adanya ancaman potensi penambahan bea masuk usai Trump kembali menjadi Presiden AS.

"Memang isunya akan ada biaya masuk tambahan ya," kata Mendag Budi di Kawasan Pergudangan Kamal Muara,  Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat, 8 November 2024.

3 dari 4 halaman

Data Perdagangan

Di sisi lain, data perdagangan Indonesia ke Amerika Serikat justru mengalami kenaikan saat Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS.

Berkaca dari hal tersebut, Budi mengaku tidak masalah usai Trump terpilih kembali menjadi orang nomor satu di AS.

"Tapi saya pikir kalau dulu kan kita juga ekspor kita meningkat terus waktu Donald Trump. Jadi mudah-mudahan tidak ada masalah ya," tegasnya.

Sebaliknya, kepemimpinan Trump ini dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan transaksi perdagangan Indonesia ke AS. Apalagi, tidak ada permasalahan serius pada perdagangan Indonesia di era kepemimpinan Trump.

 

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

4 dari 4 halaman

Sri Mulyani Was Was Rupiah Amblas Gara-Gara Donald Trump Menang Pilpres AS

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti kondisi Rupiah setelah hasil Pilpres AS menunjukkan Donald Trump kembali terpilih untuk mengisi kursi kepresidenan periode kedua.

Menkeu melihat, kemenangan Trump dalam Pilpres AS menimbulkan dampak signifikan pada pasar keuangan global, tak terkecuali pada Rupiah.

Sri Mulyani memaparkan, nilai tukar Rupiah sempat menguat hingga bulan Oktober 2024, bahkan mencapai Rp 15.200 per dolar AS (USD).

Namun, posisi tersebut tidak berlangsung lama, lantaran adanya perubahan sentimen global imbas ekspektasi penurunan Fed Fund Rate oleh The Fed memengaruhi kondisi pasar.

"Dengan terpilihnya kembali Presiden Trump, indeks Dolar AS mengalami penguatan, sehingga nilai tukar Rupiah kita kemarin cenderung mengalami tekanan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di kantor Kemenkeu, Jumat (8/11/2024).

Secara keseluruhan, depresiasi nilai tukar Rupiah mencapai 2,68 persen.

Namun, Sri Mulyani juga mencatat bahwa kinerja Rupiah masih relatif baik jika dibandingkan dengan negara-negara G7 dan G20 lainnya.

Sebagai contoh, Dolar Kanada mengalami depresiasi hingga 4,46 persen, Peso Filipina 5,69 persen, dan Won Korea Selatan mencapai 6,79 persen.

"Kita relatif masih cukup baik dari sisi nilai tukar kita," imbuhnya.

Sri Mulyani pun menegaskan bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan terus dipantau dan dikelola dengan cermat hingga akhir tahun.

“Kami berharap perekonomian tetap terjaga dalam posisi yang positif hingga akhir tahun," tutup Sri Mulyani.