Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 68 gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan.
Dari jumlah tersebut, sekitar 47 GW di antaranya ditargetkan berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Kata Yuliot, proyek ini tidak hanya merupakan langkah penting untuk mempercepat transisi energi, tetapi juga membutuhkan investasi yang sangat besar, diperkirakan lebih dari Rp800 triliun.
Baca Juga
"Pemerintah juga menargetkan adanya tambahan pembangkit sekitar 68 GW dalam 10 tahun ke depan, termasuk porsi EBT sekitar 47 GW dengan total investasi pembangkit listrik itu lebih dari sekitar Rp800 triliun,” kata Yuliot dalam acara Electricity Connect 2024, di JCC, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Advertisement
Adapun salah satu contoh implementasi nyata dari upaya ini adalah proyek pembangkit listrik tenaga surya terapung (PLTS) di Cirata.
Dengan kapasitas yang signifikan, PLTS ini diprediksi dapat mengurangi emisi CO2 hingga 214.000 ton per tahun, serta menghasilkan sekitar 200 juta kilowatt-hour energi hijau. Proyek ini juga melibatkan kolaborasi antara PT PLN dan Masdar, yang tidak hanya berpotensi menghasilkan energi bersih, tetapi juga menciptakan lebih dari 1.400 lapangan kerja.
“Jadi kalau kita lihat dari pengalaman kita untuk PLTS terapung di Cirata, ini indikasinya adalah ini akan terjadi pengurangan emisi CO2 sebesar 214.000 ton per tahun, kemudian adanya energi hijau sebanyak 200 juta kilowatt hour,” ujarnya.
Penyebaran Energi Terbarukan
Dia menuturkan, keberhasilan PLTS terapung Cirata dapat menjadi model bagi proyek serupa di berbagai wilayah Indonesia, mendukung penyebaran energi terbarukan secara merata di seluruh nusantara.
“Mungkin ini bisa kita buat merupakan bagian dari contoh implementasi dan juga bagaimana kita duplikasi untuk kegiatan-kegiatan di tempat lain sehingga ketersediaan untuk energi secara merata secara nasional itu bisa tercapai,” ujarnya.
Selain itu, untuk mendukung upaya dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif, salah satunya adalah program co-firing pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan biomassa. Program ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil melalui konversi energi, serta mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Pemerintah juga mengembangkan teknologi gasifikasi untuk menggantikan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan gas, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi energi dan mempercepat transisi menuju energi yang lebih bersih.
Advertisement
Roadmap Hilirisasi
"Untuk program dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, ya kita juga sudah melakukan yaitu diantaranya programnya adalah co-firing untuk PLTU dengan Biomass, yaitu merupakan bagian program konversi pemakaian BBM untuk program gasifikasi kita juga melakukan konversi dengan pemakaian BBM dengan gas,” jelas Yuliot.
Di sisi lain, pemerintah juga menyusun roadmap hilirisasi untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam Indonesia. Salah satu contoh sukses dari hilirisasi adalah komoditas nikel, yang sebelumnya hanya diekspor dalam bentuk mentah. Pada tahun 2017, ekspor nikel Indonesia tercatat sekitar USD3,3 miliar namun setelah diterapkannya kebijakan hilirisasi, nilai ekspor nikel Indonesia melonjak drastis menjadi USD33,5 miliar pada tahun 2023.
"Jadi ya kami melihat kalau ini berapa komoditas dalam rangka ketahanan dan juga pengolahan sumber daya alam berkelanjutan, ya kita akan mencoba untuk berapa komoditas kita lakukan hilirisasi untuk peningkatan nilai tambahnya itu ada di dalam negeri,” pungkasnya.