Liputan6.com, Jakarta - Dalam seminar nasional bertajuk Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025: Tantangan Pelik Kabinet Baru Mengangkat Daya Beli, Menopang Industri, Indef memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya stagnan di angka 5%. Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti.
Esther juga memaparkan Inflasi diprediksi mencapai 2,8%, dengan tekanan signifikan dari kondisi global, seperti melemahnya permintaan Tiongkok dan lambatnya pemulihan geopolitik pasca terpilihnya Presiden AS.
Baca Juga
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 yang stagnan di angka 5%. Lalu Inflasi yang diperkirakan mencapai 2,8%," ujar Esther pada Seminar Nasional di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (21/11/2024) .
Advertisement
Selanjutnya, nilai tukar rupiah diperkirakan melemah di Rp 16.100 per USD, sementara tingkat pengangguran terbuka diproyeksikan 4,75%.
Kondisi ini mencerminkan perlambatan yang signifikan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terutama dalam menghadapi berbagai tekanan global dan domestik.
Tingkat kemiskinan juga diproyeksikan sebesar 8,8% di 2025. Tantangan besar ini memerlukan sinergi kebijakan untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan stabilitas industri.
“Tantangan utama adalah bagaimana pemerintah dapat melakukan reformasi pembelanjaan agar lebih efisien dan tepat sasaran,” jelas Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto
Selain itu, Eko Listiyanto juga menekankan pentingnya efisiensi ekonomi dengan reformasi pembelanjaan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Tantangan Ekonomi RI di 2025, Apa Saja?
Sebelumnya, ekonom dan Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia.
Penurunan permintaan pasar global, hambatan perdagangan, dan kebijakan internasional yang berubah menjadi faktor utama yang dapat mengganggu kinerja ekspor dan industri domestik.
Faisal menyoroti bahwa salah satu hambatan terbesar pada 2025 adalah peningkatan tarif perdagangan yang diberlakukan oleh mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat dan China. Kondisi ini diprediksi akan mengurangi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global.
“Penetrasi ekspor ke mitra dagang utama kita terkendala oleh peningkatan hambatan perdagangan dan melemahnya permintaan global,” ujar Faisal dalam acara Gambir Trade Talk di Jakarta.
Selain itu, pengurangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika Serikat menjadi ancaman serius bagi industri manufaktur Indonesia, khususnya tekstil dan produk tekstil. Fasilitas ini sebelumnya memberikan keuntungan berupa akses pasar dengan tarif rendah.
“Potensi pengenaan tarif yang lebih tinggi dan pengurangan fasilitas GSP untuk produk manufaktur seperti tekstil akan semakin menekan kinerja industri ini,” tambahnya.
Advertisement
Tekanan pada Industri Tekstil dan Pasar Domestik
Industri tekstil Indonesia saat ini sudah menghadapi tekanan akibat melemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan internasional hanya akan memperburuk situasi ini. Pasar domestik yang lemah tidak mampu menopang industri, sementara ekspor menjadi satu-satunya andalan.
“Industri tekstil kita sudah berdarah-darah karena lemahnya permintaan domestik. Hambatan perdagangan global akan semakin memperparah situasi ini,” jelas Faisal.
Faisal juga mengingatkan bahwa fenomena trade diversion atau pengalihan perdagangan menjadi tantangan lain bagi Indonesia. Negara-negara seperti China, yang mengalami kelebihan pasokan (oversupply) akibat penurunan permintaan internasional, kemungkinan besar akan mencari pasar baru, termasuk Indonesia.
Peningkatan impor produk dari negara-negara dengan harga lebih kompetitif ini dapat menekan pasar domestik Indonesia, terutama di sektor industri padat karya. Kondisi ini semakin memperburuk daya saing produk lokal.
“Ketika tarif impor Amerika terhadap produk China meningkat, produk-produk dari China kemungkinan besar akan diarahkan ke pasar lain, termasuk Indonesia. Ini dapat menambah tekanan pada industri lokal,” kata Faisal.
Langkah Mitigasi Diperlukan
Melihat tantangan yang dihadapi, diperlukan kebijakan strategis untuk melindungi industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing ekspor. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif fiskal, pengembangan pasar alternatif, dan peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ekonomi di tahun 2025.
Advertisement