Liputan6.com, Jakarta - Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada 2025. Kebijakan kenaikan PPN tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sementara itu, masyarakat masih terbebani kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022.
Baca Juga
Lalu apa dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen bagi kelas menengah?
Advertisement
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi PKB, Chusnunia Chalim meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN 12 persen tersebut. Ia menuturkan, dampak dari kenaikan pajak ini akan semakin membuat ekonomi masyarakat kelas menengah semakin sulit.
"Terlebih lagi daya beli masyarakat sedang menurun, ini tidak pas," ujar Chusnunia di Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Chusnunia menuturkan, dampak tarif PPN 12 persen dapat mendorong ekonomi masyarakat kelas menengah kian sulit hingga mengurangi belanjanya. Hal ini setelah kenaikan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa menjadi lebih mahal.
"Sudah pasti masyarakat semakin eman-eman untuk mengeluarkan duitnya untuk belanja. Pajak yang naik ini biasanya akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa," ujar dia.
Di sisi lain, pendapatan kelas menengah relatif lebih rendah dibandingkan inflasi hingga pungutan tarif PPN. Sontak kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan aktivitas perekonomian menjadi lesu.
Oleh karena itu, Ia meminta pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Lantaran PPN ini akan menyebabkan aktivitas perekonomian menjadi lesu.
"Kemarin saya senang sekali adanya kebijakan untuk menghapus hutang UMKM, namun untuk kenaikan pajak ini saya minta pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan ini dan dapat menunda kenaikan pajak tersebut," kata Chusnunia.
Catat, PPN 12% Tetap Berlaku pada 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Diketahui, ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen.
"Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak ibu sekalian itu sudah ada Undang-Undangnya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (14/11/2024).
Pada kesempatan itu, dia menjelaskan ada beberapa golongan yang memang bisa mendapatkan PPN lebih rendah dari 12 persen. Bahkan, ada beberapa yang bisa dibebaskan tarif PPN-nya.
"Yang PPN 12 persen dengan pada saat yang sama ada tarif pajak yang boleh mendapatkan 5 (persen), 7 (persen), apalagi bisa dibebaskan atau dinol-kan," ungkapnya.
Dengan adanya kenaikan tarif PPN jadi 12 persen, Bendahara Negara itu melihat perlu dijaganya kesehatan APBN. Termasuk berfungsi untuk menjadi bantalan saat adanya krisis finansial global.
"Tapi dengan tadi penjelasan yang baik sehingga tadi kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya," kata dia.
"Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan harus merespons seperti yang kita lihat dalam episode-seperti global financial crisis, seperti terjadinya pandemi itu kita gunakan APBN," sambung Sri Mulyani.
Advertisement
Dibahas Pemerintah
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Pemerintah masih menggodok rencana kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk 2025.
Sejalan dengan hal itu, Pemerintah akan mempertimbangkan berbagai program untuk mendukung daya beli masyarakat terkait rencana penerapan PPN 12 persen.
"Terkait PPN-12 nanti kita masih akan bahas dan pemerintah tentu akan mempertimbangkan beberapa program yang bisa menunjang daya beli," kata Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024, di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Subsidi BBM
Selain itu, Kemenetrian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lembaga terkait juga akan menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto mengenai subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran.
"Terutama juga arahan Bapak Presiden subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Di mana akan dialihkan untuk menjadi subsidi yang tepat sasaran. Nah ini masih digodok dalam beberapa minggu ke depan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, sekitar 20-30 persen subsidi energi yaitu BBM dan listrik pada 2024 berpotensi tidak tepat sasaran, dengan nilai mencapai Rp100 triliun.
Presiden Prabowo Subianto pun telah menugaskan Bahlil sebagai Menteri ESDM untuk menyusun skema subsidi yang lebih tepat sasaran bagi BBM, LPG, dan listrik. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah mengubah skema subsidi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) agar bantuan ini sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.