Sukses

Shell Dikabarkan Tutup Semua SPBU di Indonesia, Kalah Saing dari Pertamina?

Shell Indonesia dikabarkan menutup seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) miliknya di Indonesia.

 

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) telah menerima informasi mengenai kemungkinan Shell Indonesia menutup seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) miliknya di Indonesia. Hal ini pun menarik perhatian banyak pihak, terutama di kalangan industri energi.

Reaksi Aspermigas terhadap Isu Penutupan

Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal, mengungkapkan bahwa ia tidak terkejut dengan kabar tersebut. Menurutnya, dominasi Pertamina dalam jaringan ritel penyaluran produk BBM di Indonesia menjadi salah satu alasan utama mengapa Shell menghadapi kesulitan untuk bersaing.

“Di Indonesia, situasi pasar sangat jelas. Saya tidak heran jika mereka mempertimbangkan untuk menutup bisnis SPBU-nya. Sebagian besar SPBU dikelola oleh Pertamina, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing,” jelas Moshe kepada Liputan6.com.

Sejarah Keberhasilan Shell di Indonesia

Dalam sejarahnya, Shell pernah meraih kesuksesan dalam bisnis ritel di Indonesia, terutama ketika produk BBM mereka memiliki keunggulan dibandingkan dengan Pertamina dan kompetitor lainnya. Namun, perubahan strategi bisnis Shell yang berfokus pada investasi di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) membuat mereka mengumumkan rencana untuk menutup 1.000 SPBU hingga tahun 2025.

Keunggulan Pertamina dalam Pasar BBM

Dalam persaingan ini, Pertamina telah menunjukkan keunggulan yang signifikan. Sebagai satu-satunya badan usaha yang diizinkan pemerintah untuk menyalurkan BBM bersubsidi di Indonesia, Pertamina terus memperbaiki kualitas layanan dan produk mereka.

“Pertamina semakin baik dari segi kualitas dan pelayanan. Mereka adalah satu-satunya perusahaan yang diperbolehkan menjual BBM bersubsidi,” tambah Moshe.

 
2 dari 3 halaman

Pakar Sarankan Pertamina Sesuaikan Harga Pertamax di Pasaran

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas), Abdul Hamid Paddu, mengungkapkan bahwa Pertamina harus menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax. Ia menyebut bahwa hal itu dilakukan agar Pertamina tidak mengalami kerugian.

“Dalam kondisi harga minyak berfluktuasi serta nilai tukar mata uang yang tertekan seperti sekarang, mau tidak mau Pertamina harus menyesuaikan harga Pertamax agar tidak merugi,” ungkap Hamid.

Selain menjalankan amanat negara selaku BUMN, Hamid menyampaikan, Pertamina sebagai sebuah perusahaan juga memiliki kewajiban mendapatkan keuntungan dan menjaga agar keuangannya tetap stabil.

"Pertamina harus menyelamatkan juga korporasinya untuk negara. Kalau (Pertamax) tidak dinaikkan, bisa berdampak serius pada keuangan BUMN tersebut,” ujarnya.

Hamid mengatakan, pengelolaan BBM non subsidi seperti Pertamax, menjadi kewenangan Pertamina, karena Pertamax mengacu kepada harga pasar.

Hamid menegaskan, jika Pertamina terus menahan harga Pertamax, tentu akan berdampak langsung kepada perusahaan.

Oleh karena itu, menurut Hamid, harga BBM non subsidi jenis Pertamax harus dinaikkan sesuai mekanisme pasar.

Hamid mengaku yakin, kalaupun Pertamina menaikkan Pertamax, tentu harga yang ditetapkan masih kompetitif sesuai dengan hasil penghitungan biayanya.

"Pertamina tidak mungkin menaikkan harga semaunya," katanya.

3 dari 3 halaman

Sistem Pengawasan

Di sisi lain, Hamid mengungkapkan, Pertamina harus terus meningkatkan sistem pengawasan guna mencegah migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite.

"Sekarang kalau mau isi Pertalite kan dipantau dengan alat digital. Dari situ akan ketahuan setiap penggunaan Pertalite pada setiap mobil itu. Tetapi, sistem tersebut harus terus di-improve, diperbaiki terus karena berkaitan dengan informasi data yang dinamis," ungkapnya.

Sekadar informasi, sejak Maret 2024, harga BBM non subsidi Pertamax belum disesuaikan. Sementara itu, pada awal Agustus 2024 lalu, SPBU swasta kembali menaikkan harga BBM yang sejenisnya.

Dibandingkan harga BBM RON 92 SPBU lain, Pertamax di DKI Jakarta yang saat ini djiual Rp12.950/liter memang jauh lebih rendah.

Revvo 92 dari Vivo misalnya, sudah dibanderol Rp14.320/liter dan Super dari Shell Rp14.520/liter. Bahkan dibandingkan BP 92 (BP AKR) yang dijual Rp13.850/liter, Pertamax juga jauh lebih murah.

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Terkini