Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pimpinan Arsjad Rasjid mengatakan bahwa pihaknya mendukung penundaan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Saat ini, pemerintah masih menarik PPN di angka 11%.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menyarankan kepada pemerintah untuk mempelajari kembali rencana kenaikan PPN jadi 12%. Hal ini perlu dilakukan melihat kondisi perekonomian Indonesia yang masih dibayangi berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Kenaikan PPN akan berdampak langsung baik pada pengusaha dan masyarakat luas.
Baca Juga
"PPN 12 persen waktu diputuskan kondisi ekonomi kita berbeda. Keadaan situasinya pada waktu itu sangat-sangat berbeda sekali,” ujar Arsjad dalam konferensi pers di Pullman Central Park, Jakarta Barat, Jumat (29/11/2024).
Advertisement
"Kita harus menyuarakan untuk menunda PPN 12% ini karena dengan kondisi (ekonomi) yang ada," tambah dia.
Arsjad menyoroti kondisi ekonomi global saat ini yang dihadapi berbagai dinamika mulai dari perang dagang AS-China hingga daya beli yang menurun.
"Kita harus bisa memastikan bahwa yang namanya ekonomi domestik kita terjaga,” jelas dia.
Sebelumnya, kabar terkait rencana penundaan kebijakan PPN 12% diungkapkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.
Seperti diketahui, awalnya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang.
Buruh Tak Masalah PPN 12%, Asalkan Upah Naik 20%
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengaku tak masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen di 2025. Syaratnya, upah buruh juga naik sebesar 20 persen.
Menurutnya, kenaikan upah menjadi satu aspek penting untuk menghadapi tantangan di 2025. Kenaikan upah minimum bisa menjadi bantalan daya beli masyarakat.
"Kalau seandainya, ini kan lagi musim kenaikan UMP nih ya, UMP 2025. Pemerintah berani saja menetapkan kenaikan UMP 2025 itu 20 persen, maka tadi rencana kenaikan PPN 12 persen enggak menjadi masalah tuh. Itu bagus, jadi dengan 20 persen itu maka masyarakat bisa menaikkan daya beli," kata Mirah kepada Liputan6.com, dikutip Jumat (29/11/2024).
Adanya kenaikan upah, kata dia, bisa juga menstimulasi kinerja perusahaan. Ketika pekerja mendapat upah layak, makan produktivitas turut terpengaruh menjadi lebih tinggi.
"Jadi kenaikan PPN 12 persen juga no problem, tidak ada persoalan gitu loh. Dan malah itu meningkatkan daya beli dan kemudian barang-barang produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, dari mulai perusahaan kecil sampai besar itu akan terserap dengan baik kalau menurut saya," jelasnya.
Advertisement
Kenaikan Upah 20 Persen
Namun, sepengtahuannya, pemerintah masih belum mau memutuskan kenaikan upah 20 persen tersebut. Kabarnya, hanya ada kenaikan di bawah 6 persen.
Jika kondisinya demikian, buruh sekana jatuh tertimpa tangga, upah naik tipis, tapi dihadapkan dengan PPN 12 persen per 2025.
"Tapi kan pemerintah nggak mau menaikkan UMP 20 persen, masih berkutat saja, di bawah 6 perse malah. Nah itu kayak gitu. Jadi kalau itu dilakukan upahnya misalnya rendah, menaikkan upahnya rendah, lalu PPN 12 persen ya minus lah," ujarnya.
"Dipastikan akan terjadi kemiskinan yang meluas dan krisis ekonomi yang fatal dan berat setelah 1998 itu. Jadi saya kira ini akan terulang kembali kalau ini dipaksakan," sambung Mirah Sumirat.