Sukses

Indonesia-Kanada Perkuat Kerjasama Mineral Kritis dan Transisi Energi

Indonesia dan Kanada menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) terkait kerja sama mineral kritis.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Promosi Ekspor, Perdagangan Internasional, dan Pembangunan Ekonomi Kanada, Mary Ng dan pelaksanaan Energy Transition Roundtable (ETR).

Pada kesempatan tersebut, kedua negara menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding atau MoU) terkait kerja sama mineral kritis.

MoU ini mencakup beberapa area kerja strategis, antara lain penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui teknologi bersih, serta penguatan perdagangan dan investasi sektor pertambangan.

Pada sesi Energy Transition Roundtable, Bahlil menekankan pentingnya kerja sama ini untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat.

"Listrik kita saat ini sebesar 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen. Target Presiden Prabowo untuk pertumbuhan ekonomi ke depan adalah 8 persen. Sehingga kami memerlukan tambahan 61 gigawatt untuk mendukung target tersebut," jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2024).

Fokus Utama Pemerintah

Bahlil Lahadalia juga menyampaikan bahwa transisi energi menjadi fokus utama pemerintah Indonesia. "RUPTL 2025-2033 kami rancang dengan target 60 persen energi baru terbarukan. Kami berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, bahkan mendorong agar bisa lebih cepat pada 2050," imbuhnya.

Pada kesempatan sama, Mary Ng menegaskan dukungan Kanada terhadap transisi energi berkelanjutan di Indonesia.

"Komitmen kami untuk mendukung transisi energi Indonesia yang adil dan berkelanjutan bersifat substansial. Ini termasuk pendanaan iklim global kami sebesar 5,3 miliar dolar Kanada, termasuk Indonesia selama lima tahun terakhir," kata Mary Ng.

Sebagai bagian dari pendanaan ini, sambung Mary Ng, Kanada mendukung proyek-proyek utama dengan Bank Pembangunan Asia, seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi Sarulla di Sumatera Utara dan pembangkit listrik tenaga angin dan surya di Sulawesi Selatan dan Lombok.

Ia juga menyebutkan bahwa Kanada bangga menjadi mitra dalam Just Energy Transition Partnership (JETP), yang bertujuan memobilisasi pembiayaan publik dan swasta hingga USD 20 miliar untuk mendukung transisi energi Indonesia.

 

2 dari 2 halaman

Potensi Kerja Sama

Di sisi lain, Bahlil mengungkapkan optimisme terhadap potensi kerja sama dengan Kanada di bidang energi nuklir. "Kami tahu Kanada adalah salah satu negara terdepan dalam pengembangan nuklir. DPR telah menyetujui penggunaan tenaga nuklir, dan kami menargetkan regulasinya selesai pada 2025. Implementasinya akan dimulai secara bertahap pada 2032," ungkapnya.

Lebih lanjut, Bahlil turut menyoroti potensi besar Indonesia dalam energi terbarukan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

"Kami memiliki PLTA di Kalimantan (sungai Kayan) sebesar 12 gigawatt dan di Papua sebesar 23 gigawatt. Ini adalah peluang besar untuk mendukung transisi energi," tuturnya.

Selain itu, Bahlil juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara teknologi canggih dan harga yang terjangkau. "Teknologinya boleh bagus, tapi harganya jangan terlalu mahal. Kami mencari solusi yang seimbang agar teknologi bisa diterapkan dengan nilai ekonomis yang bijak," tambahnya.

Melalui penandatanganan MoU ini, Indonesia dan Kanada diharapkan dapat memperkuat sinergi dalam mendorong transisi energi berkelanjutan. "Kerja sama ini adalah langkah awal yang baik untuk mempercepat transformasi energi. Dengan kolaborasi yang erat, saya yakin kedua negara dapat saling bertukar teknologi dan mencapai target bersama," pungkas Bahlil.