Sukses

Prabowo Bidik Pertumbuhan Ekonomi di 8 Persen, Mungkinkah Terwujud?

Presiden Prabowo Subianto mencanangkan target ambisius pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Target ini menjadi perhatian karena selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5 persen.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto mencanangkan target ambisius pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Target ini menjadi perhatian karena selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5 persen

Menanggapi target tersebut, menurut Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Raden Pardede pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan hal yang mustahil untuk dicapai.

"Namun bukan hal mustahil. Target harus dibuat ambisius supaya kita bisa bekerja keras," kata Raden dalam acara Sarasehan 100 Ekonom INDEF, Selasa (3/12).

Ia mengingatkan Indonesia pernah mencapai tingkat pertumbuhan yang serupa pada era 1986-1987, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,3 persen, bahkan mencapai 8,2-8,3 persen di beberapa tahun tersebut. Hal ini menjadi bukti historis dengan upaya maksimal, target tersebut bisa terwujud.

Optimalisasi Mesin Pertumbuhan

Menurut Raden, pencapaian target tersebut membutuhkan optimalisasi semua mesin pertumbuhan ekonomi. Investasi menjadi salah satu pendorong utama yang harus terus didorong lebih tinggi dari posisi saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu menarik berbagai sumber pembiayaan guna melaksanakan program-program pembangunan.

Namun, ia menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga harus diiringi dengan peningkatan efisiensi investasi. Salah satu indikator yang disoroti adalah rasio Incremental Capital Output Ratio (I-Corp), yang mengukur efisiensi penggunaan modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Kita perlu menurunkan I-Corp ini di dalam rencana Bapak Presiden, yaitu dari sekitar 6,96 persen atau sebetulnya kalau dirata-ratakan sekitar 6,4 persen di tahun 2025, menjadi di kisaran 4,5 persen. Dan kalau ini kita tidak turunkan, maka kebutuhan kapital itu menjadi sangat-sangat besar sekali,” jelas Raden.

Hilirisasi dan Industrialisasi

Peningkatan kualitas investasi juga harus difokuskan pada sektor-sektor yang lebih produktif dan memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja. Raden menekankan pentingnya program hilirisasi dan industrialisasi yang harus berjalan beriringan.

“Program hilirisasi dan industrialisasi, kali ini kita gabung bukan hanya hilirisasi, tetapi hilirisasi dan industrialisasi adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan,” tutupnya.

 

Reporter:Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

2 dari 3 halaman

BI Ramal Ekonomi RI Bisa Tembus 5,6 Persen di 2025, Menko Airlangga Buka Suara

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 tetap kuat, berada di kisaran 4,8-5,6%, dan terus meningkat menjadi 4,9-5,7% pada 2026. Pertumbuhan ekonomi ini didorong oleh konsumsi swasta, investasi, serta kinerja ekspor yang cukup baik.

Selain itu, BI juga memperkirakan inflasi akan terkendali dalam sasaran 2,5% ± 1% pada 2025 dan 2026. Hal ini didukung oleh konsistensi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, serta inisiatif Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).

Target Pertumbuhan Ekonomi di APBN 2025Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dalam asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Ia juga optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terus meningkat di tahun-tahun berikutnya.

"Target tahun depan sekitar 5,2% di dalam APBN, tetapi kita akan mendorong pertumbuhan lebih tinggi lagi pada 2026-2027," ujar Airlangga usai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2024 di Jakarta, Minggu (1/12/2024).

 

3 dari 3 halaman

Antisipasi Kebijakan Donald Trump di AS

Airlangga juga menyoroti tantangan global, khususnya terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.

Hingga saat ini, Indonesia belum mendapatkan relaksasi tarif melalui Generalized System of Preferences (GSP), yang berdampak pada beban tarif produk Indonesia di pasar AS.

"Pada periode sebelumnya, kita telah berunding terkait GSP, tetapi kebijakan tersebut belum dinaikkan ke kongres atau senat. Akibatnya, produk Indonesia ke Amerika Serikat masih dikenakan tarif," jelas Menko Airlangga.

 

Video Terkini