Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump bakal lebih progresif terhadap pengelolaan mineral kritis. Â
Terlebih Negeri Paman Sam sudah memiliki Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA). Kebijakan itu memperketat kriteria mineral kritis yang dapat menerima insentif dari AS, di mana komoditas asal Indonesia sempat terkena diskriminasi pajak. Â
Baca Juga
"Saya yakin, dengan pemerintahan baru Presiden Donald Trump juga akan lebih progresif terhadap critical mineral. Kita tahu mereka punya Inflation Reduction Act, yang akan juga mengatur bahwa barang yang mereka bisa subsidi, otomotif yang mereka bisa subsidi kalau critical mineral-nya tidak dikuasai oleh investasi dari negara tertentu," kata Airlangga dalam Indonesia Mining Summit 2024 di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (4/12/2024).
Advertisement
Airlangga lantas mewanti-wanti Indonesia akan hal tersebut. Lantaran, itu akan membatasi akses produk mineral hasil hilirisasi Indonesia ke pasar Amerika, semisal baterai kendaraan listrik.Â
Padahal, ia menilai Indonesia telah jauh lebih dulu menetapkan aturan serupa, dalam bentuk Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang diubah menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020.
"Saya bilang dengan mereka, mereka baru bikin Inflation Reduction Act itu kira-kira 2 tahun yang lalu. Sedangkan kita bikin Undang-Undang Minerba itu dari tahun 2009," ungkap Airlangga. Â
"Jadi kita sudah ahead of Amerika dan juga ahead of EU (Uni Eropa). EU juga baru membuat undang-undang terkait dengan critical mineral," tegas dia.Â
Mengutip arahan dari Presiden Prabowo Subianto, Airlangga bilang Indonesia butuh lebih banyak teman dengan menjalin kerjasama ekonomi internasional. Salah satunya, proses aksesi Indonesia bergabung menjadi anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
"Dengan OECD kita punya 38 kawan. Di saat yang sama, kita juga berproses di BRICS. Sekjen daripada OECD sendiri kemarin menyatakan tidak ada persoalan dengan Indonesia masuk BRICS," pungkas Airlangga.
Â
Donald Trump Menang Pilpres AS, Indonesia Bakal Diserbu Perusahaan China?
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengatakan pihaknya banyak menerima permintaan pertemuan dari perusahaan-perusahaan asal China sejak Trump memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat (AS).
"Setelah terakhir Trump terpilih sebagai Presiden AS, terus terang ada banyak sekali permintaan dari perusahaan-perusahaan tiongkok bertemu dgn pihak dengan Kemenperin," kata Faisol dalam acara Sarasehan 100 Ekonom INDEF, Selasa (3/12).
Faisol menyebut hal ini merupakan peluang namun sekaligus tantangan besar bagi Indonesia. Pihaknya menduga perusahan tersebut berpikir lebih baik memindahkan industrinya ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara agar mengekspor langsung ke Amerika Serikat lebih menguntungkan dibandingkan langsung ke China.
Meski situasi ini dianggap menggembirakan, ada kekhawatiran bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi serbuan investasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, perbaikan regulasi harus segera dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut
"Tentu ini situasi yang dalam tanda petik menggembirakan tapi mengkhawatirkan karena salah satunya kita belum betul-betul bisa siap dengan seluruh serbuan investasi jika ini terjadi karena perbaikan regulasi harus secepat mungkin kita lakukan dalam rangka melihat atau antisipasi perekon global ini," bebernya.
Â
Â
Â
Â
Â
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, dalam rencana pembangunaan jangka menengahnya melalui astacita menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan memproyeksikan kontribusi industri non migas mencapai 20 persen pada 2029, Faisol bilang hal itu tentu tidak mudah, sebab saat ini baru 18 persen dan situasi global.
Ia menyatakan ada beberapa strategi yangbsudah ditetapkan oleh pemerintah antara lain mengembangkan industri prioritas, akselerasi ekspor produk dan jasa industri penguatan industri kecil dan menengah sebagai rantai pasok.
Kemudian pengembangan industri hijau, konglomerasi kawasan industri di KEK sebagai pusat pertumbuhan baru dan pengembangan industri halal.
"Tentu tantangan ini semakin besar dan sebagaimana tadi bahwa permintaan untuk betul-betul mengorkestrasi investasi di Indonesia itu sangat perlu dilakukan," Faisol mengakhiri.
Â
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Â
AS Kenaikan Tarif Impor Panel Surya dari Malaysia hingga Thailand, Bagaimana dengan Indonesia?
Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) mengumumkan akan memberlakukan tarif impor untuk panel surya dari empat negara Asia Tenggara, yakni Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand.
Tarif ini diumumkan menyusul keluhan produsen AS yang menduga bahwa perusahaan-perusahaan panel surya di keempat negara tersebut membanjiri pasar dengan barang-barang murah.
Mengutip US News, Selasa (3/12/2024) Komite Perdagangan Aliansi AS untuk Manufaktur Surya, menuduh pembuat panel surya besar China dengan pabrik di Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand menyebabkan harga global jatuh dengan mengalihkan produk ke pasar.
Keputusan awal yang diposting di situs web Departemen Perdagangan AS menunjukkan, lembaga tersebut menghitung bea dumping antara 21,31% dan 271,2%, tergantung pada perusahaan, pada produk panel surya dari Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Jinko Solar menerima bea masuk sebesar 21,31% untuk produk yang dibuat di Malaysia dan 56,51% untuk produk yang diproduksi di Vietnam.
Trina Solar dari China juga menerima margin dumping sebesar 77,85% untuk produk yang dibuatnya di Thailand dan 54,46% untuk produk yang diproduksinya di Vietnam.
Sementara itu, Departemen Perdagangan AS tidak menetapkan margin dumping untuk produk Hanwha Qcells yang dibuat di Malaysia.
Sebelumnya, pada Oktober 2024 departemen tersebut telah menghitung tarif subsidi sebesar 14,72% untuk perusahaan tersebut.
Â
Advertisement