Liputan6.com, Jakarta - Tarif impor selama masa jabatan pertama Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump menurunkan nilai saham pada hari tarif tersebut diumumkan.
Mengutip US News, Jumat (6/12/2024) analisis baru oleh staf Federal Reserve Bank of New York, menyoroti dampak dari kebijakan tarif tersebut terhadap laba, penjualan, dan lapangan kerja yang lebih rendah pada masa mendatang bagi perusahaan-perusahaan AS yang harga ekuitasnya terpukul paling kera.
Baca Juga
Perusahaan-perusahaan AS yang terlibat langsung dalam perdagangan dengan China misalnya, di mana sekitar setengah dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa, mengalami kerugian pasar saham yang lebih besar ketika tarif impor impor Trump pertama kali diumumkan selama tahun 2018 dan 2019, dan selama dua tahun berikutnya mengalami penurunan laba sekitar 13% lebih rendah daripada yang lain.
Advertisement
"Salah satu motivasi utama untuk mengenakan tarif pada barang-barang impor adalah untuk melindungi perusahaan-perusahaan AS dari persaingan asing. Dengan mengenakan pajak impor, harga domestik menjadi relatif lebih murah, dan warga Amerika mengalihkan pengeluaran dari barang-barang asing ke barang-barang domestik," ungkap ekonom The Fed New York, termasuk Mary Amiti, kepala studi pasar tenaga kerja dan produk di kelompok penelitian bank tersebut.
"Namun, sebagian besar perusahaan mengalami kerugian valuasi yang besar pada hari pengumuman tarif. Kami juga mendokumentasikan bahwa kerugian finansial ini berdampak pada pengurangan laba, lapangan kerja, penjualan, dan produktivitas tenaga kerja di masa mendatang,” ungkap para analis The Fed New York.
Tim peneliti New York The Fed menambahkan, karena rantai pasokan global rumit dan negara-negara asing membalas, hasil analisis menunjukkan perusahaan mengalami kerugian besar dalam arus kas yang diharapkan dan hasil riil. "Kerugian ini bersifat luas, dengan perusahaan yang terpapar ke China mengalami kerugian terbesar,"
Tarif Impor ke Negara Lain
Selain pada China, Trump juga memberlakukan tarif impor sebesar 25% pada barang-barang dari Kanada dan Meksiko.
"Langkah seperti itu akan mendorong ketiga ekonomi Amerika Utara mendekati atau memasuki resesi," tulis Ben May, direktur penelitian ekonomi makro global di Oxford Economics, dalam sebuah analisis.
Ben May juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang lamban atau negatif di AS selama dua tahun ke depan dan perdagangan dunia turun sebesar 10%. Namun, dampak dari kebijakan ekonomi Trump masih belum diketahui pasti.
Advertisement
Donald Trump Mau Naikkan Lagi Tarif Impor Barang China 10%
Sebelumnya, Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump mengungkapkan bahwa ia berencana untuk menaikkan lagi tarif impor barang dari China hingga 10%.
Rencana menaikan tarif impor terbaru itu diumumkannya melalui sebuah unggahan mdi platform media sosial milik Trump, Truth Social.
Melansir CNBC International, Rabu (27/11/2024) unggahan Trump juga termasuk rencana pengenaan tarif 25% pada semua produk impor dari Meksiko dan Kanada. Langkah tersebut akan mengakhiri perjanjian perdagangan bebas regional.
Trump, yang akan resmi dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari mendatang, mengutip imigrasi ilegal dan perdagangan narkoba ilegal sebagai alasan tarif tersebut.
"Saya telah melakukan banyak pembicaraan dengan China tentang sejumlah besar narkoba, khususnya Fentanyl, yang dikirim ke Amerika Serikat – Tetapi tidak berhasil," ujar Trump.
Sebagai informasi, Fentanyl, opioid sintetis, adalah obat adiktif yang menyebabkan puluhan ribu kematian akibat overdosis setiap tahun di AS.
Trump menyebut, pengurangan jumlah obat terlarang, yang prekursornya sebagian besar diproduksi di China dan Meksiko, telah menjadi area yang disetujui Washington dan Beijing untuk bekerja sama.
“Narkoba mengalir ke Negara kita, sebagian besar melalui Meksiko, pada tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya,” sebut Trump.
China Bakal Pangkas Suku Bunga
“Sampai itu berhenti, kami akan mengenakan Tarif tambahan 10% kepada China, di atas Tarif tambahan apa pun, pada semua produk mereka yang masuk ke Amerika Serikat,” katanya.
Sebelumnya, Trump berencana mengenakan tarif sebesar 60% untuk barang-barang China saat berkampanye untuk menjadi presiden.
Tarif 10% untuk impor barang China lebih rendah dari 20% hingga 30% yang diharapkan pasar, ungkap Kinger Lau, kepala strategi ekuitas China di Goldman Sachs.
Ia memperkirakan China akan memangkas suku bunga, meningkatkan stimulus fiskal, dan mendepresiasi mata uangnya secara moderat untuk melawan dampak ekonomi dari peningkatan bea masuk.
Sebagai informasi, AS adalah mitra dagang terbesar China berdasarkan satu negara, menurut data bea cukai China. Mitra dagang regional terbesar negara Asia tersebut adalah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Uni Eropa.
Advertisement
Pemulihan Ekonomi China Terancam Tarif Impor AS
China berupaya perbaiki ekonomi yang lesu dengan rencana baru yang diharapkan segera diumumkan oleh National People’s Congress (NPC), badan eksekutif legislatif China.
Dikutip dari BBC, Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS untuk periode kedua ini dapat menggagalkan upaya tersebut. Trump telah menyatakan niatnya untuk kembali mengenakan tarif tinggi pada barang-barang impor dari China, termasuk tarif hingga 60%.
Hal ini berpotensi merusak rencana Presiden Xi Jinping untuk menjadikan China sebagai kekuatan teknologi global dan semakin memperburuk hubungan ekonomi antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
China kini tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi, seperti penurunan pasar properti, utang pemerintah yang meningkat, pengangguran yang tinggi, serta rendahnya tingkat konsumsi. Setelah sempat menerapkan pembatasan ketat selama pandemi, ekonomi China kini kesulitan untuk pulih ke tingkat pertumbuhan seperti sebelum pandemi.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan tahunan China menjadi 4,8% untuk tahun 2024, di bawah target Beijing yang sebesar “sekitar 5%”. Tahun berikutnya, IMF memperkirakan pertumbuhan China akan turun lagi menjadi 4,5%.
Menurut Xi Jinping, perubahan ini adalah bagian dari rencana jangka panjang untuk meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. “Kami beralih dari pertumbuhan cepat ke pembangunan berkualitas tinggi,” ujarnya pada 2017.