Sukses

Miliarder Elon Musk Peringatkan Singapura dan Negara Lain Menuju Kepunahan

Komentar miliarder Elon Musk mengenai penurunan angka kelahiran di Singapura kembali hidupkan tantangan global negara maju terkait tantangan demografi.

Liputan6.com, Jakarta - Miliarder sekaligus CEO Tesla Elon Musk baru-baru ini membahas penurunan angka kelahiran di Singapura. Ia menilai, angka kelahiran yang turun sebagai tanda kepunahan bagi Singapura.

Mengutip Economic Times, ditulis Sabtu (7/12/2024), komentar Elon Musk merupakan respons terhadap unggahan oleh Mario Nawfal di platform X dahulu bernama Twitter yang bagikan artikel yang bahas “krisis bayi” di Singapura dan potensi peran robot untuk kurangi dampaknya.Pernyataan Elon Musk telah kembali hidupkan diskusi global tentang tantangan demografi yang dihadapi masyarakat maju.

"Singapura dan banyak negara lain akan punah,” ujar Elon Musk dalam unggahannya.

Angka Kelahiran Turun di Singapura

Singapura telah alami penurunan signifikan dalam total angka kelahiran (Total Fertility Rate/TFR) selama tiga dekade terakhir. Pada 2023, TFR penduduk Singapura turun ke titik terendah sepanjang sejarah yakni 0,97, pertama kalinya angka itu turun di bawah 1,0. Ini berarti, rata-rata, setiap perempuan memiliki kurang dari satu anak.

Penyebab utama penurunan ini terletak pada pergeseran norma sosial. Berdasarkan data pemerintah Singapura, semakin banyak perempuan pada usia produktif (25-34) yang memilih tetap melajang.

Selain itu, tingkat kesuburan perkawinan untuk perempuan berusia 20-an telah alami penurunan nyata, yang berkontribusi terhadap sekitar 32 persen dari keseluruhan penurunan TFR. Dari 1990-2005, tingkat kesuburan perkawinan perempuan berusia 25-34 turun tajam, meski sedikit pemulihan pada 2023.

2 dari 4 halaman

Robot untuk Menyelamatkan?

Berdasarkan laporan Newsweek yang dikutip Mario Nawfal, meski tren kesuburan mengkhawatirkan, kemajuan teknologi Singapura dapat membantu kurangi dampak demografis.

Singapura menempati peringkat kedua secara global dalam kepadatan robot dengan 770 robot industri per 10.000 pekerja, menurut the International Federation of Robotics. Keunggulan teknologi ini memungkinkan Singapura mengimbangi kekurangan tenaga kerjanya, terutama mengingat biaya tenaga kerja yang tinggi dan basis manufaktur yang kecil.

CEO Tesla Elon Musk yang investasi besar dalam robot humanoid dirancang untuk melakukan tugas berulang dan berbahaya tampak optimistis tentang peran robotika dalam atasi tantangan itu.

Warganet Bereaksi

Komentar Elon Musk dan tren demografi Singapura telah memicu reaksi warganet. Sementara beberapa menekankan kebijakan imigrasi Singapura yang kuat sebagai penyangga terhadap penurunan populasi yang lain soroti masalah sosial dan ekonomi yang lebih dalam yang mendasari rendahnya angka kelahiran.

Yang lain menunjuk pada faktor sosial dan ekonomi yang berkontribusi terhadap keengganan untuk memiliki anak, meningkatnya biaya hidup, gaya hidup dan kekhawatiran kestabilan keuangan.

Adapun penurunan angka kelahiran di Singapura juga dihadapi negara lainnya. Penurunan angka kelahiran mengancam pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, stabilitas sosial dan keberlanjutan tenaga kerja.

3 dari 4 halaman

Elon Musk Ingin Pengguna X Unggah Data Medis, Terobosan AI atau Ancaman Privasi?

Sebelumnya, miliarder Elon Musk kembali menciptakan kontroversi dengan langkah terbarunya. Pemilik platform X ini meminta pengguna untuk mengunggah hasil tes medis, seperti CT scan dan MRI, agar chatbot kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI) miliknya, Grok, dapat belajar menganalisis data tersebut.

"Cobalah unggah gambar X-ray, PET, MRI, atau hasil medis lainnya ke Grok untuk dianalisis,” tulis Musk di platform X Twitter bulan lalu. 

"Ini masih tahap awal, tapi sudah cukup akurat dan akan semakin canggih. Beri tahu kami di mana Grok benar atau perlu perbaikan.”

Namun, hasilnya menunjukkan Grok masih jauh dari sempurna. Beberapa pengguna melaporkan Grok mampu membaca hasil tes darah dan mengidentifikasi kanker payudara. 

Di sisi lain, dokter yang menguji teknologi ini menemukan kesalahan fatal. Misalnya, Grok salah mendiagnosis kasus tuberkulosis klasik sebagai hernia diskus atau stenosis tulang belakang. Dalam kasus lain, Grok bahkan salah mengenali mammogram kista jinak sebagai gambar testis.

Dikutip melalui Fortune, Rabu (27/11/2024) Musk telah lama tertarik menggabungkan teknologi kesehatan dan AI. Pada 2022, ia meluncurkan Neuralink, startup chip otak yang diklaim berhasil memungkinkan pengguna menggerakkan mouse komputer hanya dengan pikiran. 

Startup teknologi miliknya, xAI, juga mendapatkan investasi sebesar USD 6 miliar pada Mei 2024 untuk mendukung pengembangan teknologi AI termasuk Grok. Namun, keberhasilan dalam aplikasi medis masih menjadi tanda tanya besar.

“Secara teknis, mereka punya kemampuan,” kata profesor di Departemen Radiologi NYU Langone Health, Dr. Laura Heacock.

 “Tapi apakah mereka mau meluangkan waktu, data, dan sumber daya untuk fokus pada imaging medis, itu tergantung mereka. Saat ini, metode AI non-generatif masih lebih unggul dalam analisis gambar medis," ia menambahkan.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Ancaman Privasi dan Etika

Sementara Musk berambisi menjadikan Grok sebagai alat diagnosis medis, banyak pakar menilai pendekatan ini berisiko tinggi. Mengandalkan data medis dari platform media sosial tidak hanya menimbulkan masalah akurasi, tetapi juga ancaman serius terhadap privasi pengguna.

Menurut Ryan Tarzy, CEO perusahaan teknologi kesehatan Avandra Imaging, meminta pengguna mengunggah data langsung adalah cara Musk mempercepat pengembangan Grok. Namun, langkah ini berisiko karena hanya mengandalkan data terbatas dari pengguna yang bersedia, tanpa representasi yang mencerminkan keragaman data medis global.

Selain itu, data yang dibagikan melalui media sosial tidak dilindungi oleh undang-undang seperti Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA) di AS. Ini berarti informasi pribadi lebih rentan bocor, terutama jika identitas pasien “terbakar” dalam gambar medis, seperti pada CT scan.

"Pendekatan ini menghadirkan banyak risiko, termasuk kemungkinan informasi pribadi pasien tersebar tanpa sengaja,” ujar Tarzy.

Matthew McCoy, profesor etika medis dari Universitas Pennsylvania, menambahkan bahwa pengguna yang berbagi data kesehatan melalui X harus memahami risiko yang mereka hadapi.

"Sebagai pengguna individu, apakah saya merasa nyaman berbagi data kesehatan saya? Tentu saja tidak,” katanya kepada New York Times.

Sementara ambisi Musk untuk merevolusi diagnosis medis melalui AI terlihat menjanjikan, banyak pihak menilai pendekatannya terlalu berisiko. Dengan potensi kebocoran data pribadi dan akurasi yang masih diragukan, publik perlu berhati-hati sebelum menyerahkan data kesehatan mereka kepada Grok. 

Video Terkini