Liputan6.com, Jakarta Belum beroperasinya Pelabuhan Patimban Subang untuk operasional kapal kontainer, disebut karena pelabuhan tersebut belum memiliki crane untuk bongkar muat kontainer, dan jaraknya jauh dengan kawasan industri. Hal ini tentunya membuat para pelaku industri tidak ingin beralih dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Patimban.
Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyoroti Pelabuhan Patimban yang hingga kini belum bisa menerima kapal logistik pengangkut kontainer. Padahal, jika disesuaikan dengan target yang disampaikan, seharusnya pada tahun 2023, Pelabuhan Patimban seharusnya sudah bisa menerima 3,5 juta teus per tahun.
"Masalahnya adalah pertama, Pelabuhan Patimban itu belum memiliki crane, yang digunakan untuk mengangkat peti kemas dari kapal ke dermaga penumpukan peti kemas di pelabuhan," kata Bambang Haryo, yang juga sebagai Anggota DPR - RI Komisi VII Kamis (5/12/2024).
Advertisement
Ia menyatakan dengan biaya pembangunan Pelabuhan Patimban sebesar Rp43,22 triliun, seharusnya Pelabuhan Patimban sudah memiliki fasilitas crane dan kelengkapan pelabuhan lainnya. Sebagai bahan perbandingan, Pelabuhan Kuala Tanjung Medan di Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT), yang dibangun hanya dengan nilai investasi sekitar Rp4 triliun saja, saat ini sudah bisa menerima 80.000 teus per tahun, dengan target adalah 800.000 teus.
Karena pelabuhan tersebut juga dilengkapi dengan crane yang memadai. Demikian juga Pelabuhan Makassar New Port, dibangun dengan biaya Rp 5.4 Trilliun, dengan kapasitas 2.5 juta teus per tahun, dan saat ini sudah menampung 257.981 Teus per tahun.
"Pelabuhan patimban dibangun dalam tiga tahap, tahap pertama di 2019 harusnya bisa menampung sekitar 350.000 Teus. Tahap kedua di tahun 2023, bisa menampung 3.75 juta Teus. Sedangkan target penyelesaian di Triwulan III 2024, bisa menampung 7.5 juta Teus, tetapi sampai dengan saat ini, tidak ada satu peti kemas (Teus) pun ada di pelabuhan tersebut, Ya karena crane nya belum ada. Lalu bagaimana kapal bisa memindahkan muatannya kalo tidak ada crane nya di pelabuhan tersebut?" Tanya nya.
Apalagi pelabuhan tersebut juga jauh dari kawasan industri. Dimana project strategis nasional, Kawasan Industri Subang Smartpolitan, yang direncakan terintegrasi dengan pelabuhan Patimban yang juga masuk ke dalam proyek strategis nasional.
Â
Dermaga Pelabuhan Patimban
Ditambah pula, panjang dermaga Pelabuhan Patimban yang hanya 840 meter, tidak mencukupi untuk menampung kapal dengan target muatan 7,5 juta teus. Karena untuk menampung muatan 21.000 teus per hari, dibutuhkan panjang dermaga sekitar 4 kilometer.
"Kapasitas dermaga saja sudah tidak sesuai dengan target teus yang diinginkan," ujarnya tegas.
Masalah kedua, adalah tidak terkoneksinya jalur logistik, antara kawasan industri dengan pelabuhan atau bandara. Bambang Haryo menyatakan jarak antara Kawasan Industri Subang Smartpolitan dengan Pelabuhan Patimban sekitar 50 kilometer dan dengan Pelabuhan Internasional Kertajati juga juga berjarak sekitar sekitar 50 kilometer.
"Kawasan industri itu dibangun kan untuk terintegrasi dengan Pelabuhan Patimban. Tapi ternyata, jaraknya 54,3 kilometer dengan Pelabuhan Patimban. Seharusnya, kalau kawasan industri yang dibangun untuk terintegrasi dengan pelabuhan, jaraknya tidak sejauh itu. Maksimal dalam radius 5-10 kilometer. Seperti Kuala Tanjung itu, jarak pelabuhan dengan industri kurang dari 2 kilometer. Sehingga, biaya logistiknya menjadi murah," kata legislator Gerindra ini.
Â
Advertisement
Skema Pembangunan
Ia menegaskan skema pembangunan ini sudah salah sejak awal. Karena kawasan industri Subang dan Pelabuhan Patimban itu dibangun secara bersamaan untuk menurunkan traffic di Tanjung Priok dan menurunkan biaya logistik.
"Jadi pembangunan ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan arus logistik dari Bekasi, Karawang atau kawasan industri lainnya ke arah Tanjung Priok. Tapi kalau jarak dan fasilitas pelabuhannya tidak memenuhi ekspektasi pelaku industri, bagaimana bisa pelaku industri memindahkan jalur logistik hasil industrinya ke Patimban? Ini kan yang membuat harga logistik mahal. Jarak industri jauh dari pelabuhan," ungkapnya.
Bambang Haryo menegaskan, sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kajian pembangunan kawasan industri dan jalur transportasi ke depannya.
"Seharusnya kawasan industri ini sudah beroperasi. Pelabuhan juga sudah berjalan. Kalau belum beroperasi, artinya ada yang salah. Dan pemerintah harus secepatnya mengambil langkah yang dianggap penting, untuk membantu pengembangan industri kita, dalam rangka mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional," pungkasnya.