Liputan6.com, Jakarta - Pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi topik strategis yang terus menarik perhatian. Proyek ini dianggap sebagai langkah penting untuk mengurangi beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi sekaligus mempercepat pembangunan wilayah Indonesia Timur.
Namun, mega proyek ini juga memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, IKN disebut berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing Indonesia secara global. Di sisi lain, ada yang mempertanyakan kesiapan anggaran negara, potensi dampak lingkungan, dan risiko bahwa pemindahan ini tidak akan serta-merta menyelesaikan persoalan ketimpangan pembangunan.
Baca Juga
Ekonom dan Executive Director Segara Institute, Piter Abdullah menilai, IKN adalah program yang dapat menjadi titik awal pemerataan pembangunan. Dengan adanya IKN di Kalimantan, orientasi pembangunan diharapkan dapat bergeser ke luar Jawa.
Advertisement
"Pembangunan IKN seharusnya tidak perlu menjadi beban berat bagi APBN karena dilakukan secara bertahap. Dengan demikian, pemerintah masih dapat menjalankan program-program strategis lainnya,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (10/12/2024).
Selain itu, pemerintah juga perlu mencari cara untuk mengatasi keterbatasan fiskal dan meningkatkan penerimaan pajak. Dengan biaya pembangunan yang sangat besar, proyek ini dinilai berisiko membebani keuangan negara, terutama di tengah tantangan ekonomi global yang masih tidak menentu.
Menurut sejumlah pengamat, langkah realistis yang harus diambil adalah melaksanakan pembangunan IKN secara bertahap. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat mengelola anggaran lebih efisien tanpa mengorbankan program strategis lainnya yang juga membutuhkan prioritas.
Pertimbangan Berbagai Hal
Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memperkuat penerimaan negara, terutama melalui optimalisasi pajak dan efisiensi belanja. Dengan pengelolaan yang hati-hati, IKN bisa tetap menjadi solusi strategis tanpa memberikan beban berlebihan pada keuangan negara.
Mempertimbangkan berbagai hal, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Jakarta, Indonesia menegaskan pembangunan Ibu Kota Negara baru tidak layak secara ekonomis dan tidak sehat secara fiskal. Pertama dan mendasar, pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara terjadi di tengah penurunan pendapatan negara akibat Pandemi COVID-19. Rasio pajak menurun, sedangkan rasio utang meningkat. Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi, tidak pernah lebih dari 5,5%.
Pertumbuhan tertinggi pada 2022 sebesar 5,3% dan terendah pada 2020 sebesar -2,1%. Ini menunjukkan negara belum memiliki dasar ekonomi kuat untuk mengakselerasi pertumbuhan. Ketiga, pembangunan fisik IKN diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 466 triliun yang ditanggung ke dalam tiga skema.
Antara lain melalui APBN sebesar Rp 89,4 triliun (19,2%), Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha alias KPBU dan swasta sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%), dan anggaran dari BUMN serta Badan Usaha Milik Daerah sebesar Rp 123,2 triliun (25,4%).
"Mulanya skema kedua direncanakan sebagai penopang terbesar, tetapi laporan mengungkap bahwa SoftBank, perusahaan multinasional asal Jepang sebagai investor utama proyek Ibu Kota Negara, mengundurkan diri pada Maret 2022," jelas Direktur Eksekutif Celios, BhimaYudhistira.
Advertisement
Belum Temukan Investor Lain?
Sampai saat ini, pemerintah tampaknya belum menemukan investor utama lain sehingga besar kemungkinan proyek ini akan semakin membebani anggaran negara. Di sisi lain, partisipasi swasta untuk pembiayaan pembangunan proyek umumnya akan meningkat apabila kondisi perekonomian menunjukkan tren membaik dan iklim investasi kondusif.
Menurut Bhima, pembangunan IKN berisiko gagal jika tidak ada perubahan mendasar dalam berbagai aspek. Selain dari sisi kebijakan, tantangan ekonomi makro, seperti inflasi dan ketidakstabilan global, mengancam ketersediaan modal dan minat investor.
Selain itu, teknologi yang digunakan belum mutakhir dan ramah lingkungan, terlebih sejumlah infrastruktur tidak sepenuhnya inovatif. Keterlibatan investor global juga masih minim, dengan sebagian besar pembiayaan berasal dari anggaran negara.
"Manajemen proyek juga menunjukkan kelemahan, termasuk kontrol biaya dan waktu yang buruk. Publik turut menyaksikan pergantian pejabat otorita, yang mencerminkan manajemen yang tidak optimal dan profesional, serta risiko kegagalan yang besar," pungkas Bhima.