Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi Jawa Tengah resmi menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar Rp2.169.349. Angka UMP 2025 ini mengalami kenaikan sebesar 6,5% atau setara Rp132.402 dibandingkan UMP 2024 yang sebelumnya sebesar Rp2.036.947.
Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, mengumumkan keputusan tersebut di kantornya pada Rabu (11/12/2024).
Baca Juga
Penetapan ini didasarkan pada Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/38 Tahun 2024 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2025.
Advertisement
Landasan Hukum Penetapan UMPNana menjelaskan, kenaikan UMP 2025 merujuk pada:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tanggal 30 Oktober 2024 terkait Undang-Undang Cipta Kerja.Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.
- Rapat Pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah yang digelar pada 6 dan 9 Desember 2024.
"Penetapan UMP ini bertujuan melindungi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun, agar tidak dibayar di bawah upah yang telah ditetapkan," ujar Nana.
Detail dan Penerapan UMP 2025
UMP Jawa Tengah 2025 berlaku untuk pekerja atau buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun. Bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun, upah akan mengikuti struktur dan skala upah yang ditetapkan masing-masing perusahaan.
"Dengan ditetapkannya UMP ini, perusahaan di Jawa Tengah diharapkan segera menyesuaikan dan melaksanakannya mulai 1 Januari 2025," tambah Nana.
Langkah Selanjutnya: Penetapan UMK
Setelah UMP diumumkan, pemerintah kabupaten/kota akan mengusulkan besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2025. Penetapan UMK akan diumumkan paling lambat pada 18 Desember 2024.
"Dengan adanya UMP ini, kami berharap dapat memberikan kejelasan dan kepastian bagi perusahaan serta perlindungan bagi pekerja. Semua pihak diharapkan mematuhi aturan ini demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis," tutup Nana.
Kenaikan UMP sebagai Komitmen Perlindungan Pekerja
Kenaikan UMP Jawa Tengah 2025 mencerminkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan adanya penyesuaian ini, diharapkan perusahaan dan pekerja dapat bersama-sama menjaga produktivitas dan keberlanjutan usaha di wilayah Jawa Tengah.
UMP 2025 Naik 6,5% Masih Kurang Bagi Pekerja, Berapa Idealnya?
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai bahwa kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen yang ditetapkan pemerintah untuk 2025 masih lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan oleh pekerja dan buruh.
Menurut Huda, seharusnya kenaikan UMP 2025 berada di kisaran 8-10 persen, yang lebih sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Huda menjelaskan bahwa meskipun UMP naik 6,5 persen, namun dengan prediksi inflasi yang mencapai 3,5 persen (tanpa adanya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai/PPN), kenaikan upah riil pekerja hanya berkisar sekitar 3 persen. Ini berarti daya beli buruh kelas menengah ke bawah akan sangat terbatas.
Terlebih lagi, kelompok ini memiliki pengeluaran terbesar untuk barang-barang kebutuhan pokok yang harganya cenderung volatile (fluktuatif), seperti pangan. Inflasi volatile food diperkirakan dapat mencapai 5-6 persen, sehingga dampak kenaikan upah riil bagi mereka menjadi lebih kecil lagi.
"Kelas menengah ke bawah (konsumsi paling banyak adalah voltile food) akan lebih rendah lagi kenaikan upah riil-nya karena inflasi volatile food bisa mencapai 5-6 persen. Jadi, saya rasa belum sesuai kenaikan UMP ini," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Rabu (11/12/2024).
Huda juga memperingatkan bahwa jika pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun depan, inflasi diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 4,1 persen (tanpa adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)).
Hal ini akan semakin menggerus kenaikan upah riil yang diterima pekerja. Dengan inflasi yang terus meningkat, daya beli buruh dan kelas menengah ke bawah diperkirakan akan terus tertekan, sehingga mereka mungkin tidak dapat lagi menabung, bahkan harus menghabiskan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Pekerja tidak bisa menabung lagi, bisa jadi malah mantab alias makan tabungan," ujarnya.
Advertisement
Ancaman PHK
Di sisi lain, dengan tingkat inflasi yang tinggi, permintaan agregat dalam perekonomian akan cenderung turun. Menurunnya daya beli masyarakat akan berdampak negatif pada dunia usaha.
"Dunia usaha bisa lesu karena permintaan yang terbatas," ujarnya.
Maka permintaan yang terbatas berpotensi menyebabkan pelambatan ekonomi, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih tinggi. Hal ini menambah kompleksitas permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi negara.
"Ancaman bagi PHK juga akan semakin meningkat," katanya.
Melihat situasi tersebut, Huda mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan UMP lebih tinggi lagi, setidaknya seiring dengan prediksi inflasi yang ada. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kebijakan kenaikan tarif PPN yang dapat memperburuk daya beli masyarakat. Sebaliknya, jika tarif PPN tidak dinaikkan, konsumsi rumah tangga dapat didorong untuk kembali meningkat, yang pada gilirannya dapat memberikan dorongan bagi dunia bisnis untuk kembali bergeliat.
Dengan kata lain, kebijakan yang berimbang antara peningkatan UMP yang cukup dan pengendalian tarif PPN dapat menjadi kunci dalam menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendukung pemulihan ekonomi.
"Maka seharusnya memang UMP bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi, namun satu sisi tarif PPN tidak meningkat sehingga ada dorongan dari sisi konsumsi masyarakat. Dunia bisnis akan bisa kembali bergeliat secara signifikan dengan dorongan dari sisi konsumsi rumah tangga," pungkasnya.