Lembaga nirlaba yang fokus pada kajian perdagangan internasional, Indonesia for Global (IGJ) mendesak pemerintah untuk segera keluar dari jeratan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). IGJ menilai Indonesia hanya dibanjiri gugatan oleh negara-negara maju selama 18 tahun bergabung dengan organisasi tersebut.
Direktur Eksekutif IGJ, M Riza Damanik mengaku, sejak masuk dalam WTO pada 1995, beban Indonesia justru semakin berat akibat peraturan yang hanya menguntungkan negara-negara industri, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan sebagainya.
"Bergabung dengan WTO selama 18 tahun merupakan pengalaman cukup pahit bagi Indonesia. Sebab cuma kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan atau perusahaan asing multinasional saja yang semakin kaya menguasai sektor-sektor strategis, seperti air, pangan dan lainnya," ujar riza dia saat ditemui di Kantor Sekretariat IGJ, Jakarta, Jumat (10/5/2013).
Menurut Riza, keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO justru memberikan dampak lebih luas bagi negara ini. "Tidak ada relevansinya bergabung, sekarang malah pemerintah dan rakyat Indonesia ditakut-takuti dengan gugatan. Masalah subsidi dipersoalkan," terangnya.
Bahkan, lanjut dia, kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat negara Indonesia seperti tidak punya kendali lagi untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah berandil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal.
"Kuota adalah siasat WTO, karena mereka melarang adanya perlakuan berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Jadi semua sudah diatur, dan kuota itu hanya menumbuhkan praktik korupsi, permainan yang memang menjadi musuh negara," jelas Riza.
Dengan pertimbangan itu, pemerintah diimbau untuk segera menyudahi keterlibatannya dalam WTO. Momen yang tepat adalah pada saat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 di Bali pada 3-6 Desember 2013.
"Dalam KTM ini yang sedang merumuskan Paket Bali (Bali Package) dengan fokus pada fasilitasi perdagangan, pertanian, perlakuan khusus berbeda dan isu negara miskin. Di momen tersebut, Grup 33 (G-33) yang diketuai Indonesia muncul dengan usulan berbeda yang membela negara-negara berkembang khusus di bidang pertanian," urainya.
Usulan yang diajukan itu itu meliputi, pengecualian atau perlakuan berbeda untuk dapat melakukan dukungan domestik terkait pembelian stok pangan dengan tujuan mendorong produsen berpendapatan rendah, program reformasi lahan, pembangunan pedesaan dan keamaan penghidupan desa. (Fik/Shd)
Direktur Eksekutif IGJ, M Riza Damanik mengaku, sejak masuk dalam WTO pada 1995, beban Indonesia justru semakin berat akibat peraturan yang hanya menguntungkan negara-negara industri, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan sebagainya.
"Bergabung dengan WTO selama 18 tahun merupakan pengalaman cukup pahit bagi Indonesia. Sebab cuma kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan atau perusahaan asing multinasional saja yang semakin kaya menguasai sektor-sektor strategis, seperti air, pangan dan lainnya," ujar riza dia saat ditemui di Kantor Sekretariat IGJ, Jakarta, Jumat (10/5/2013).
Menurut Riza, keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO justru memberikan dampak lebih luas bagi negara ini. "Tidak ada relevansinya bergabung, sekarang malah pemerintah dan rakyat Indonesia ditakut-takuti dengan gugatan. Masalah subsidi dipersoalkan," terangnya.
Bahkan, lanjut dia, kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat negara Indonesia seperti tidak punya kendali lagi untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah berandil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal.
"Kuota adalah siasat WTO, karena mereka melarang adanya perlakuan berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Jadi semua sudah diatur, dan kuota itu hanya menumbuhkan praktik korupsi, permainan yang memang menjadi musuh negara," jelas Riza.
Dengan pertimbangan itu, pemerintah diimbau untuk segera menyudahi keterlibatannya dalam WTO. Momen yang tepat adalah pada saat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 di Bali pada 3-6 Desember 2013.
"Dalam KTM ini yang sedang merumuskan Paket Bali (Bali Package) dengan fokus pada fasilitasi perdagangan, pertanian, perlakuan khusus berbeda dan isu negara miskin. Di momen tersebut, Grup 33 (G-33) yang diketuai Indonesia muncul dengan usulan berbeda yang membela negara-negara berkembang khusus di bidang pertanian," urainya.
Usulan yang diajukan itu itu meliputi, pengecualian atau perlakuan berbeda untuk dapat melakukan dukungan domestik terkait pembelian stok pangan dengan tujuan mendorong produsen berpendapatan rendah, program reformasi lahan, pembangunan pedesaan dan keamaan penghidupan desa. (Fik/Shd)