Sukses

PPN Jadi 12%, Kemampuan Bayar Kredit Bank Berkurang?

Peningkatan PPN bisa menyebabkan kontraksi dalam aktivitas ekonomi secara sementara, yang pada gilirannya dapat memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menilai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada Januari 2025 menimbulkan berbagai dampak potensial bagi perekonomian Indonesia.

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat. PPN 12% bisa menyebabkan kontraksi dalam aktivitas ekonomi secara sementara, yang pada gilirannya dapat memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.

"Rencana peningkatan PPN dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 ya memang tidak dapat dipungkiri ya, akan berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat," kata Dian dalam Konferensi Pers RDKB November 2024, di Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Namun, ia juga menekankan bahwa dampak kebijakan tersebut terhadap kemampuan bayar debitur diperkirakan belum akan langsung terlihat. Sebab, meskipun ada penyesuaian dalam harga barang dan jasa, dampaknya akan bertahap, sehingga masyarakat dan pelaku usaha perlu menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut.

"Kondisi penyesuaian tersebut akan berpotensi menciptakan kontraksi pada aktivitas ekonomi secara temporer sehingga kondisi dimaksud dinilai belum serta-merta dapat berimplikasi langsung terhadap kemampuan bayar debitur," jelasnya.

Selain itu, perubahan PPN ini juga akan memengaruhi komponen biaya produksi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi daya tarik produk dan layanan pelaku bisnis bagi konsumen.

Dian menegaskan, bahwa OJK bersama pemerintah dan regulator lainnya akan terus memantau perkembangan ekonomi secara menyeluruh untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan menjaga stabilitas perekonomian.

2 dari 4 halaman

Pemerintah Siapkan Insentif Antisipasi PPN 12%, Siapa yang Dapat?

Sebelumnya, Pemerintah tengah mempersiapkan beberapa insentif fiskal, sebagai kompensasi dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Penerapan PPN 12% ini diyakini akan memberatkan untuk sebagian lapisan masyarakat oleh sebab itu perlu adanya insentif. 

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, bahwa insentif yang akan disalurkan pemerintah untuk 2025 mendatang masih dalam tahap finalisasi. Insentif yang dimaksud adalah insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik, dan PPN DTP untuk sektor properti.

"(Insentif) sedang dikaji untuk mem-balance (menginbangi) dampaknya PPN 12%, kita memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP,” kata Susiwijono di Jakarta, dikutip Selasa (10/12/2024).

“Lagi difinalisasi angka-angkanya," ungkapnya.

Namun, ia enggan menyebut secara spesifik kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Pemerintah dan DPR menyebut bahwa penerapan kebijakan tarif PPN 12 persen itu hanya menyasar dan selektif hanya kepada barang mewah.

3 dari 4 halaman

Barang Mewah Lokal Tak Kena

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengusulkan kepada pemerintah agar barang mewah tertentu produksi dalam negeri tak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.

“Harusnya produk dalam negeri itu punya spesifikasi, mereka tidak dikenakan 12 persen tapi 10 persen. Itu-lah perbedaan yang diimpor dan produk dalam negeri,” katanya di sela kunjungan kerja reses industri kecil menengah minuman anggur di Denpasar, Bali, Sabtu (7/12/2024) seperti dilansir Antara. 

Ia memberi contoh apabila minuman anggur dianggap barang mewah, maka perlu dipertimbangkan untuk produk yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) dalam negeri.

“Kami ingin tahu barang mewah ini seperti apa? Kami khawatirkan dulu 12 persen pukul rata tapi presiden sudah mengeluarkan pernyataan ini hanya berlaku untuk barang mewah,” imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Kebijakan Luar Biasa

Sementara itu, anggota DPR RI lainnya yakni Erna Sari Dewi mengatakan PPN 12 persen hanya diberikan kepada barang kategori merah, sedangkan bahan pokok yang dibutuhkan rakyat, bebas dari PPN.

Mengingat kebijakan itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), maka PPN 12 persen tetap harus dilaksanakan rencananya per 1 Januari 2025.

“PPN ini kan hanya diberlakukan pada barang mewah. Kemudian untuk di luar barang mewah itu tidak dikenakan, masih 11 persen. Saya pikir ini kebijakan luar biasa yang sesuai amanah undang-undang tetap harus kita lakukan,” kata wakil rakyat sekaligus mantan penyiar TVRI di Bengkulu itu.

Terkait klasifikasi barang mewah yang dapat dikenakan PPN 12 persen, kata anggota Komisi VII DPR RI itu, perlu finalisasi regulasi.

Video Terkini