Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan berlaku pada awal 2025.
Kebijakan PPN 12 persen ini merupakan bagian dari amanat yang terdapat dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Baca Juga
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menilai, daya beli masyarakat sulit untuk diseimbangkan dengan ada kenaikan PPN menjadi 12 persen. Lantaran, kenaikan tersebut juga berlaku bagi sejumlah barang kebutuhan rumah tangga.
Advertisement
"Satu-satunya jalan adalah batalkan kenaikan PPN 12 persen itu," ujar Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Bhima juga melihat, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memperpanjang periode penyaluran stimulus dalam rangka meringankan beban masyarakat dari naiknya PPN menjadi 12 persen.
Salah satunya, Pemerintah merancang kebijakan Bantuan Pangan/Beras sebanyak 10 kg per bulan yang akan diberikan bagi masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama dua bulan pada Januari-Februari 2025, dan pemberian diskon biaya listrik sebesar 50 persen selama dua bulan pada Januari-Februari 2025 bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.
"Sementara dampak dari kenaikan tarif PPN 12 persen ini bisa sangat panjang," ucap Bhima.
Bhima memaparkan studi yang dilakukan Celios menemukan pengeluaran kelas menengah berisiko naik hingga Rp 300,000 per bulan akibat kenaikan PPN 12 persen.
"Sedangkan untuk masyarakat miskin ada kenaikan hingga lebih dari Rp 100,000 per bulannya karena PPN naik dari 11 persen jadi 12 persen," ujar dia.
"Jadi antara dampak PPN 12 persen dengan stimulus ekonominya belum sebanding, maka ini akan menurunkan daya beli masyarakat lebih dalam lagi serta memicu PHK massal di berbagai sektor," Bhima menambahkan.
Alasan Sri Mulyani Tetap Naikkan PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 telah dipertimbangkan secara bertahap dan matang. Kebijakan PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Undang-Undang HPP, yang disahkan pada 29 September 2021, tidak hanya mengatur peraturan perpajakan, tetapi juga mencakup kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah melalui penyesuaian tarif PPN secara bertahap.
Kenaikan tarif PPN sebelumnya, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi. Begitu pula dengan kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
“Waktu itu, bahkan setelah pandemi, kita menaikkan tarif dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian DPR memutuskan penundaan kenaikan berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini memberi masyarakat waktu untuk pulih dengan memadai,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Kebijakan Pro Rakyat dalam Undang-Undang HPP
Menkeu menegaskan bahwa dalam pembahasan Undang-Undang HPP, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Advertisement
Detail dan Pertimbangan Matang
Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini meliputi sektor pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jasa sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat dan memastikan akses yang lebih adil terhadap barang dan jasa esensial.
“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.
Detail dan Pertimbangan Matang
Sri Mulyani menambahkan bahwa selama proses pembahasan Undang-Undang HPP, semua kebutuhan masyarakat telah dipertimbangkan secara rinci dan mendalam.
“Jadi, saat membahas Undang-Undang HPP, kami benar-benar memikirkan secara detail kebutuhan masyarakat dan situasi yang ada,” ujar dia.