Liputan6.com, Jakarta Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi, menyoroti terkait tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai kemandirian energi. Menurutnya, isu utama bukan sekadar soal energy security atau ketahanan energi, tetapi lebih kepada self-sustainability atau kemandirian dalam hal pemenuhan kebutuhan energi.
"Wah itu berat, karena kalau masalah impor kan, karena saya bilang tadi sebenarnya, bukan energi security, tapi masalah self-sustain ya, kemandirian swasembada energi ya, berarti butuh infrastruktur bukan masalah resourcenya aja," kata Sofwan dalam media briefing SKK Migas “Mewujudkan Ketahanan Energi Untuk Capai Cita-cita Indonesia Emas” di Jakarta, Selasa (17/12).
Baca Juga
Sofwan menekankan bahwa, untuk mewujudkan swasembada energi, Indonesia perlu membangun infrastruktur yang memadai, bukan hanya mengandalkan cadangan energi yang ada. Sebagai contoh, negara-negara seperti Jepang dan Korea, meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, mampu mencapai swasembada energi karena mereka memiliki sistem penyimpanan energi yang baik. Mereka membeli energi, menyimpannya, dan menggunakan energi tersebut secara efisien.
Advertisement
"Contoh, Jepang, Korea nggak punya resource, tapi mereka swasembada, kenapa? karena mereka simpan, jadi ngebeli bukan cuma dipakai, simpan, jadi kalau saya ngeliat, kalau kita ngomongin soal swasemada, satu yang kita ubah itu, individu sebagai bangsa," ujarnya.
Menurutnya, untuk Indonesia, selain diperlukan infrastruktur yang memadai untuk mewujudkan swasembada energi, masalah utamanya adalah pola pikir masyarakat dan kebijakan subsidi energi.
Sofwan berpendapat bahwa jika subsidi energi dicabut, masyarakat akan lebih bijak dalam menggunakan energi. Saat ini, dengan adanya subsidi, penggunaan energi cenderung boros dan tidak efisien. Misalnya, penggunaan listrik di rumah-rumah sering kali tidak terkontrol, seperti lampu yang dibiarkan menyala tanpa kebutuhan.
Peningkatan Produksi Energi
Jika Indonesia hanya fokus pada peningkatan produksi energi tanpa mengubah pola konsumsi, maka Indonesia akan terus menghadapi ketergantungan terhadap impor energi. Sederhananya, jika kebutuhan energi tidak dikendalikan, meskipun produksi dalam negeri meningkat, konsumsi akan terus naik, dan akhirnya solusi impor akan tetap menjadi jalan keluar.
"Sekarang saya tanya, bersedia nggak subsidi-nya dicabut? karena kalau kita subsidi-nya dicabut, jadi kita lebih pintar kan, kita jadi hati-hati pakainya, cuman kan nggak mungkin sedrastis itu ya, itu aja dulu pola pikir yang dipakai, kalau kita mau swasemada, artinya kita ngomongin yang kita pakai, sama yang kita ambil," jelasnya.
Di negara-negara seperti Singapura, misalnya, teknologi otomatisasi diterapkan untuk mengurangi pemborosan energi, seperti lampu yang mati otomatis setelah digunakan. Ini adalah contoh bagaimana budaya hemat energi dapat diperkenalkan secara sistematis.
Ia menegaskan, Indonesia sebagai bangsa, harus mulai lebih bijaksana dalam mengelola energi. Kebijakan dan perubahan perilaku individu dalam mengonsumsi energi dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga Indonesia dapat lebih mandiri dalam hal energi di masa depan.
"Paling simple aja, kalau misalnya pakai di rumah, lampu, yang nggak perlu, matiin, simple itu ya, di Singapura mas, kan otomatis semua, keluar dari WC, mati sendiri, karena mahal, jadi harus pintar pakainya, karena kita murah, kita nggak pernah pikir untuk ngurangin pemakaian kita, gimana mau ngomongin akhirnya, kita nge-push aja, pokoknya penuhi kebutuhan saya, dengan cara produksi lebih, produksi lebih, kitanya nggak berubah," ujarnya.
Dengan demikian, kata Sofwan tanpa perubahan dalam cara bangsa Indonesia menggunakan energi, maka Indonesia mungkin akan terus menghadapi masalah impor energi. Oleh karena itu, pencapaian swasembada energi tidak hanya bergantung pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga pada perubahan perilaku konsumsi energi yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Advertisement
Indonesia Bakal Dominasi 60% Investasi Energi di Asia Tenggara pada 2025
Sebelumnya, Indonesia diperkirakan menjadi penggerak utama dalam investasi energi di kawasan Asia Tenggara setelah 2024, menggantikan Malaysia yang sebelumnya mendominasi.
E&P Market Analyst dari Rystad Energy, Stephen Salomo mengatakan, kontribusi Indonesia terhadap investasi di sektor energi, khususnya di kawasan Asia Tenggara, serta tren perkembangan yang diprediksi terus berkembang dalam beberapa tahun mendatang.
"Setelah tahun 2024 kemarin momentumnya berikutnya akan dibawa oleh Indonesia. So, ini adalah hal yang menarik di Indonesia dan kalau saya bisa bilang secara angka ya sekarang persen pastinya berapa tahun 2025 Indonesia sekitar almost 60% dari total investment di Southeast Asia," kata Stephen dalam Media Briefing SKK Migas dan Rystad, di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Ia menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir, Malaysia memimpin aktivitas investasi di sektor energi Asia Tenggara, seperti yang terlihat dalam data yang menunjukkan tren investasi berdasarkan negara.
Namun, pergeseran yang signifikan mulai terlihat setelah 2024, terutama setelah keputusan Final Investment Decision (FID) untuk proyek Tangguh yang menjadi tonggak penting bagi Indonesia. Diperkirakan, momentum pertumbuhan investasi di Indonesia akan semakin kuat pada 2025.
Kontribusi Indonesia
Menurut Stephen, kontribusi Indonesia terhadap total investasi di Asia Tenggara pada 2025 diprediksi mencapai hampir 60%, sebuah angka yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini.
Bahkan, pada 2027, angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi sekitar 70%, yang menunjukkan Indonesia akan menjadi pusat utama dalam hal investasi energi di kawasan Asia Tenggara, menggantikan Malaysia yang sebelumnya mendominasi pasar.
"Tahun 2027 nilainya bukan hanya akan meningkat dari absolute value but also secara persentase akan menunjukkan almost 70%," ujarnya.
Namun, meskipun Indonesia diprediksi memperoleh porsi investasi yang lebih besar. Selain itu, kata Stephen ada pertanyaan penting yang sering diajukan oleh para investor, yaitu seberapa kompetitif proyek-proyek energi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Vietnam.
Advertisement