Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar atau kurs rupiah masih fluktuatif terhadap dolar Amerika Serikat (dolar AS) di level 16.000 pada Desember 2024 ini.
Mengutip data Bloomberg, rupiah pada awal perdagangan Senin, 23 Desember 2024 naik 0,25 persen atau 40,5 poin, tetapi masih bertengger di angka Rp 16.181 per dolar AS.
Baca Juga
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai, nilai tukar rupiah masih akan bertahan di atas 16.000 per dolar AS hingga akhir tahun. Akibat sentimen yang ditimbulkan oleh presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump soal kebijakan tarif impor baru.
Advertisement
"Menurut saya, rupiah bisa bertahan di atas 16.000 hingga akhir tahun, kecuali sentimen berubah. Pasar masih mengantisipasi kebijakan Trump tahun depan, konflik perang yang berkepanjangan, potensi pemangkasan suku bunga acuan AS tertahan," ujar Ariston kepada Liputan6.com, Senin (23/12/2024).
Di sisi lain, ia melihat kebijakan Pemerintah RI pun belum kondusif terhadap nilai jual rupiah. Termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai, alias PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku per 1 Januari 2025.
"Sementara dari dalam negeri belum ada berita positif yang menonjol. Malah sentimen negatif dari kenaikan PPN yang bisa menurunkan daya beli," imbuh Ariston.
Senada, analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong beranggapan, situasi dalam negeri plus rencana kebijakan Pemerintah AS bersama Donald Trump masih membuat posisi rupiah menggantung.
"Sampai akhir tahun (rupiah) akan berkonsolidasi oleh minimnya data ekonomi penting dan mood liburan. Dolar AS diperkirakan masih akan sangat kuat apabila kebijakan tarif Trump direalisasikan," ungkapnya kepada Liputan6.com.
Sehingga, Lukman memprediksi kurs rupiah masih akan anteng bertahan di atas Rp 16.000 per dolar AS. "Akhir tahun akan berkisar 16.000-16.200," pungkas Lukman Leong.
Rupiah Menguat di Senin Pagi, Tapi Masih di Kisaran 16.000 per Dolar AS
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada awal perdagangan pekan ini. Namun polemik mengenai kenaikan Pajak Pertambangan Nilai (PPN) menjadi 12% menjadi beban bagi penguatan rupiah pada hari ini.
Pada Senin (23/12/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta menguat 69 poin atau 0,42 persen menjadi 16.153 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.222 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan penurunan data inflasi Amerika Serikat (AS) menguatkan nilai tukar (kurs) rupiah.
Rilis inflasi Indeks Harga Belanja Personal atau Personal Consumption Expenditure (PCE) AS pada bulan November 2024 yakni 0,1 persen month to month (MoM), di bawah kenaikan bulan sebelumnya yang sebesar 0,3 persen.
“Core PCE Price indeks MoM bulan November di bawah kenaikan bulan sebelumnya, yakni 0,1 persen (dari sebelumnya) 0,3 persen,” ujarnya dikutip dari Antara.
Pada pagi ini, indeks dolar AS juga menurun jadi 107,80, di bawah pergerakan Jumat (20/12) pagi yang sebesar 108,49.
Penurunan indeks dolar AS ini terjadi setelah penurunan data indikator inflasi AS yang dirilis di Jumat (20/12) malam.
“Reaksi dolar AS terhadap hasil data inflasi AS ini bisa berdampak pada penguatan rupiah hari ini,” ungkap Ariston.
Di sisi lain, komentar negatif terhadap kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dinilai berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memberikan sentimen negatif untuk pergerakan rupiah hari ini.
“Potensi penguatan rupiah hari ini ke kisaran 16.100, dengan potensi resisten di kisaran 16.200,” kata dia.
Advertisement
Modal Asing Keluar Indonesia Capai Rp 8,81 Triliun di Pekan Ke-3 Desember 2024
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat modal asing mengalir keluar pada pekan ketiga Desember 2024. Dihitung sejak awal 2024, tercatat masih banyak modal asing yang masuk ke Indonesia.
Direktur Eksekutif Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menjelaskan, berdasarkan data transaksi 16-19 Desember 2024, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 8,81 triliun.
"Nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 8,81 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp 3,67 triliun di pasar saham, Rp 4,43 triliun di pasar SBN, dan Rp 0,71 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI),” kata Ramdan dikutip dari situs resmi Bank Indonesia, Minggu (22/12/2024).
Ramdan menambahkan, selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 19 Desember 2024, nonresiden tercatat beli neto sebesar Rp 17,45 triliun di pasar saham, Rp 37,81 triliun di pasar SBN dan Rp 171,97 triliun di SRBI.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas Ramdan.
Adapun premi CDS Indonesia 5 tahun per 19 Desember 2024 sebesar 75,79 bps, naik dibanding dengan 13 Desember 2024 sebesar 71,81 bps. Sedangkan rupiah dibuka pada level (bid) Rp16.290 per dolar AS dan Yield SBN 10 tahun stabil ke 7,07 persen.
Nilai Tukar Rupiah Terpuruk, Sektor Industri Ini Terdampak
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat bahwa pelemahan nilai tukar rupiah memberikan dampak signifikan pada sektor usaha yang bergantung pada impor. Hal ini terutama dirasakan oleh kegiatan bisnis yang memiliki porsi impor besar dalam operasionalnya.
Ketua Komite Kebijakan Ekonomi Apindo, Aviliani menuturkan, sektor usaha yang banyak mengandalkan impor akan menghadapi kenaikan biaya operasional akibat tingginya biaya impor.
“Sektor yang paling terdampak adalah bisnis yang bergantung pada impor. Ketika rupiah melemah, biaya impor menjadi mahal, sehingga bisnis tersebut kehilangan daya saing,” ujar Aviliani dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Potensi Efisiensi Operasional
Aviliani menyebut, kenaikan biaya operasional akibat pelemahan rupiah sering kali memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi sebagai langkah bertahan.
“Dalam situasi seperti ini, banyak perusahaan yang mengambil langkah efisiensi agar dapat bertahan,” jelasnya.
Ia menuturkan, langkah efisiensi yang paling dekat dengan realisasi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini dianggap sebagai cara bagi perusahaan untuk menjaga stabilitas bisnis di tengah tekanan ekonomi.
“Efisiensi biasanya berdampak pada PHK. Selain itu, perusahaan juga melakukan penyesuaian lain agar tetap bisa bertahan,” tambah Aviliani.
Selain efisiensi, Aviliani mencatat bahwa kenaikan harga barang menjadi salah satu dampak lanjutan dari pelemahan nilai tukar rupiah.
Kondisi ini dapat memicu inflasi, terutama jika perusahaan memutuskan untuk menaikkan harga guna menutupi biaya impor yang meningkat.
“Jika perusahaan tidak bisa bertahan dengan efisiensi, langkah berikutnya adalah menaikkan harga barang. Ini yang berkontribusi pada inflasi,” tuturnya.
Advertisement