Sukses

PPN Jadi 12 Persen, Biaya Operasional Hotel Bakal Naik

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menghitung kenaikan PPN bisa mengerek beban perusahaan hotel dan pariwisata lebih tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah masih sepakat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini bisa meningkatkan biaya operasional sektor pariwisata, termasik hotel.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menghitung kenaikan PPN bisa mengerek beban perusahaan hotel dan pariwisata lebih tinggi. Lantaran, kenaikan terjadi di setiap bahan yang dibutuhkan.

"Kenaikan ini memicu juga untuk cost dari perhotelan juga meningkat mengingat banyak fasilitas perhotelan yang kena PPN mulai dari sabun mandi hingga jasa laundry," ujar Huda kepada Liputan6.com, Kamis (26/12/2024).

Dengan demikian, harga sewa hotel menjadi semakin mahal. Tingginya harga sewa hotel dikhawatirkan akan berpengaruh pada permintaan masyarakat.

Huda melihat, dampak kenaikan PPN jadi 12 persen ini merembet ke berbagai aspek pariwisata. Tak cuma hotel, tapi juga hingga jasa perjalanan dan tiket pesawat.

"Tentu memicu harga hotel semakin mahal, permintaan agregat akan turun. Maka dari itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini menimbulkan multiplied effect yang negatif terhadap sektor pariwisata," tuturnya.

Huda juga menghitung, kenaikan biaya operasional perusahaan hotel dan sejenisnya bisa meningkat minimal 15 persen. Padahal, PPN hanya naik 1 persen dari 11 persen ke 12 persen.

"Biaya operasional bisa meningkat minimal 15 persen mengingat perhotelan yang mempunyai cost terkait PPN cukup banyak," ujarnya.

Daya Beli Masyarakat Turun

Huda menuturkan, kenaikan PPN yang berdampak ke banyak aspek itu membuat perekonomian Indonesia melambat. 

"Yang membuat perekonomian bisa melambat dan menyebabkan PHK adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen," ucapnya. 

Kenaikan harga secara masif membuat masyarakat lebih memilih dalam melakukan belanja. Dengan begitu, daya beli masyarakat disebut akan menurun.

"Kenaikan tersebut menggerus daya beli masyarakat sehingga permintaan agregat bisa turun, termasuk yang berhubungan dengan pariwisata, mulai dari pemesanan tiket pesawat dan hotel," pungkas Nailul Huda.

 

2 dari 4 halaman

PPN Naik Jadi 12%, Pemerintah Wajib Mitigasi Risiko Penurunan Daya Beli

Sebelumnya, Pemerintah memastikan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi jadi 12% pada 1 Januari 2025. Langlah ini guna meningkatkan pendapatan negara, sekaligus menjaga prinsip keadilan dan semangat gotong royong.

Untuk memastikan kebijakan ini tetap berpihak pada masyarakat, sejumlah insentif telah disiapkan guna melindungi daya beli kelompok berpenghasilan rendah dan mendukung sektor-sektor produktif.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan yang dilakukan pemerintah merupakan langkah strategis di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

"Kebijakan ini tepat untuk meningkatkan pendekatan fiskal asalkan kompensasi dalam bentuk insentif benar-benar efektif untuk menjaga daya beli masyarakat yang rentan. Apalagi pemerintah memastikan bahwa barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum bebas PPN," jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

Josua menyampaikan bahwa optimalisasi ini berpotensi meningkatkan produktivitas sektor padat karya, industri otomotif, dan properti melalui penerapan skema PPN Ditanggung Pemerintah (DTP).

“Kebijakan ini akan menciptakan permintaan tambahan bagi sektor-sektor tersebut. Pemerintah juga menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor padat karya dengan memberikan subsidi bunga dan insentif PPh Pasal 21 bagi pekerja di sektor ini," tuturnya.

Selain itu, pemerintah akan membebaskan PPN bagi pengusaha kecil dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar, sebagai langkah konkret untuk mendorong pertumbuhan UMKM. Secara keseluruhan, strategi ini difokuskan pada penguatan industri berorientasi ekspor dan penciptaan lapangan kerja baru.

“Melalui insentif yang terarah, optimalisasi PPN tidak hanya mendukung sektor produktif seperti UMKM dan industri prioritas, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi nasional,” tambahnya.

 

3 dari 4 halaman

Memperkuat Struktur Ekonomi

Dalam konteks daya saing global, kebijakan ini dapat menjadi peluang untuk memperkuat struktur ekonomi Indonesia. Melalui penerapan PPN yang selektif seperti menyasar pada barang dan jasa mewah serta pemberian insentif bagi sektor produktif, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperkokoh fondasi ekonominya.

“Kebijakan PPN 12% memiliki potensi signifikan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong ekonomi jangka panjang jika diimbangi dengan insentif yang tepat,” katanya.

Untuk memaksimalkan potensi tersebut, langkah strategis yang dapat dilakukan meliputi pengembangan industri bernilai tambah melalui hilirisasi, mendorong investasi hijau seperti kendaraan listrik, serta memperkuat integrasi UMKM ke dalam rantai pasok global. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih kokoh, inklusif, dan berkelanjutan.

“Namun Pemerintah harus fokus pada mitigasi risiko penurunan daya beli melalui program kesejahteraan dan pemberdayaan UMKM,” katanya.

Co-Founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami, memiliki analisis yang lebih mikro. Menurutnya, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

"Kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara yang nantinya disalurkan kembali ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan program pemerintah lainnya," ujar Benny.

 

4 dari 4 halaman

Tantangan Terbesar

Meski memiliki tujuan positif, menurut Benny, pemerintah perlu melihat situasi saat ini dengan sangat hati-hati melalui pemantauan daya beli masyarakat khususnya di kalangan menengah bawah.

Sebab hal ini sangat menentukan pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu dijaga pada angka 5% dimana jika melihat pertumbuhan ekonomi pada 2024 ada indikasi mengalami tren penurunan. Untuk itu, Benny melihat bahwa masyarakat perlu menyiapkan diri dalam menghadapi dampak optimalisasi PPN ini.

“Tantangan terbesar ada di tiga bulan pertama sebagai masa transisi, di mana harga barang cenderung naik. Stimulus pemerintah di periode ini justru menjadi sangat penting,” katanya.

Selain itu, menurutnya, masyarakat perlu memperkuat literasi keuangan dengan memprioritaskan pengeluaran penting dan mengurangi biaya non-esensial, “Masyarakat juga perlu mencari sumber pendapatan tambahan, seperti pelatihan keterampilan yang dapat membantu meningkatkan stabilitas keuangan,” tuturnya.

Menurut Benny, optimalisasi PPN memang dapat mempengaruhi pola investasi dan daya beli masyarakat, yang berimbas pada kinerja emiten, indeks saham, serta ruang gerak kebijakan moneter. Untuk meminimalkan dampak tersebut, ia mendorong pemerintah agar mampu menjaga stabilitas domestik dengan penerapan kebijakan yang terukur.