Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Ketenagakerjaan Brasil pada Kamis, 26 Desember 2024 menyebutkan pekerja China yang ditemukan di lokasi konstruksi pabrik milik produsen kendaraan listrik China BYD merupakan korban perdagangan manusia. Pabrik itu tepatnya di negara bagian Bahia, Brasil.
Mengutip CNBC, Jumat (27/12/2024), BYD dan kontraktor Jinjiang Group telah sepakat membantu dan menampung 163 pekerja di hotel hingga kesepakatan untuk mengakhiri kontrak mereka tercapai. Kantor Brazil’s Labour Prosecutor’s mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah bertemu dengan perwakilan dari kedua perusahaan. Sementara itu, BYD tidak segera membalas permintaan komentar.
Baca Juga
Reuters tidak dapat menghubungi Jinjiang untuk memberikan komentar di luar jam kerja biasa. Namun, perusahaan telah mempertanyakan penilaian otoritas yang pertama kali diumumkan pada 23 Desember 2024. Penilaian yang menyebutkan pekerja bekerja dalam "kondisi seperti perbudakan". Kedua pihak dijadwalkan bertemu lagi pada 7 Januari, menurut pernyataan tersebut.
Advertisement
Kesepakatan yang diusulkan oleh jaksa ketenagakerjaan akan disampaikan kepada kedua perusahaan.
Dalam pernyataan menyebutkan, kesepakatan itu dapat membebaskan BYD dan Jinjiang dari penyelidikan oleh jaksa, tetapi masih dapat hadapi pengawasan dari inspektur ketenagakerjaan dan jaksa penuntut federal yang telah meminta pembagian bukti sehingga “tindakan dapat diambil secara pidana”.
BYD telah membangun pabrik di Bahia untuk memproduksi 150.000 mobil pada awalnya sebagai bagian dari rencana untuk memulai produksi di Brasil, pasar luar negeri terbesar perusahaan kendaraan listrik China tersebut pada awal 2025.
Jadi Titik Kritis
Pabrik itu telah menjadi simbol penting dari pengaruh China yang semakin besar di Brasil, dan contoh hubungan yang lebih erat antara kedua negara. BYD telah investasi sekitar USD 620 juta atau sekitar Rp 10,08 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.269) untuk mendirikan kompleks pabrik Bahia saja.
Laporan penyimpangan di Bahia dapat menjadi titik kritis utama dalam hubungan tersebut.
Brasil telah lama mencari lebih banyak investasi China. Namun, model China yang membawa pekerja China ke negara-negara tempat mereka berinvestasi hadirkan tantangan bagi penciptaan lapangan kerja lokal yang menjadi prioritas bagi Presiden Luiz Inacio Lula da Silva.
Advertisement
AS Finalisasi Aturan Pembatasan Investasi Teknologi AI dan Chip Milik China
Sebelumnya, dalam langkah signifikan untuk menjaga keamanan nasional, Departemen Keuangan Amerika Serikat meluncurkan aturan final yang membatasi investasi perusahaan Tiongkok di bidang pengembangan teknologi canggih.
Ini termasuk semikonduktor, komputasi kuantum, dan kecerdasan buatan (AI) -- area yang telah menjadi krusial dalam perlombaan teknologi global.Demikian mengutip dari Kanal Global Liputan6.com.
"Pemerintahan Joe Biden dan Kamala Harris berkomitmen untuk menjaga keamanan AS dengan mencegah negara-negara yang menjadi perhatian, yaitu Republik Rakyat Tiongkok dalam memajukan teknologi utama yang penting bagi modernisasi militer mereka," kata pemerintah AS dalam pernyataan pers, dikutip dari laman Geopolitico, Senin (4/11/2024).
Keputusan ini menandai kelanjutan dari sikap pemerintah AS dalam membendung kebangkitan teknologi Tiongkok dengan fokus pada area yang berpotensi meningkatkan kemampuan militer dan intelijen China.
Langkah tersebut ditujukan untuk mengekang aliran modal ke sektor-sektor sensitif, memiliki implikasi luas bagi industri teknologi, pasar keuangan, dan geopolitik global.
The Epoch Times melaporkan, mengutip pejabat senior pemerintahan yang meninjau aturan tersebut, bahwa Gedung Putih secara khusus berfokus pada kemajuan teknologi yang sedang diupayakan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT).
"Republik Rakyat Tiongkok memiliki tujuan yang dinyatakan, seperti yang Anda ketahui, untuk mengembangkan teknologi sensitif utama yang akan secara langsung mendukung modernisasi militer RRT dan kegiatan terkait, termasuk pengembangan senjata, dan telah mengeksploitasi investasi AS untuk mengembangkan kemampuan militer dan intelijen dalam negeri," kata seorang pejabat senior pemerintahan kepada The Epoch Times.
AS Makin Berhati-Hati
Menurut laporan tersebut, pejabat senior pemerintahan kedua mengatakan bahwa aturan baru tersebut secara khusus difokuskan pada transaksi yang melibatkan semikonduktor, komputasi kuantum, dan teknologi kecerdasan buatan.
"Aturan akhir memiliki ambang batas dan definisi yang jelas untuk menerapkan perintah eksekutif dan memberikan pembahasan penjelasan terperinci mengenai maksud dan penerapannya untuk membantu investor dan pemangku kepentingan lainnya untuk membantu mereka menavigasi program baru ini," kata pejabat pemerintahan kedua tersebut seperti dikutip oleh publikasi tersebut.
Aturan Departemen Keuangan tersebut berasal dari meningkatnya kekhawatiran atas ambisi strategis Tiongkok dalam teknologi dan potensi risiko keamanan nasional yang ditimbulkan oleh aliran investasi AS yang tidak terkendali.
Seiring dengan kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan dan komputasi kuantum, teknologi tersebut dapat memiliki aplikasi penggunaan ganda, yang melayani fungsi sipil dan militer.
Oleh karena itu, pemerintah AS semakin berhati-hati dalam berinvestasi di perusahaan Tiongkok yang berkontribusi pada sektor-sektor penting pertahanan dan intelijen.
Advertisement