Liputan6.com, Jakarta Thrifting adalah kegiatan membeli produk bekas namun berkualitas dan layak pakai. Di masa lalu, toko-toko barang bekas sering dipandang sebelah mata. Namun kini, thrifting telah berubah menjadi gaya hidup yang mendukung keberlanjutan dan menjadi bagian dari tren fashion modern.
Thrifting di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai dari kebutuhan ekonomi hingga menjadi bagian dari tren fashion modern. Melansir berbagai sumber, thrifting di Indonesia awalnya dikenal melalui pasar loak yang menjual barang bekas, termasuk pakaian, sepatu, dan aksesori.
Baca Juga
Sekitar 1980-an hingga 1990-an, beberapa pasar loak tradisional yang menjadi pusat thrifting antara lain Pasar Senen (Jakarta), Pasar Gedebage (Bandung), dan Pasar Klithikan (Yogyakarta). Banyak orang membeli barang bekas karena lebih murah dibandingkan pakaian baru. Barang bekas impor sering dianggap lebih berkualitas dibandingkan pakaian lokal pada masa itu.
Advertisement
Pada era 2000-an, thrifting mulai mendapatkan perhatian lebih luas, terutama di kalangan anak muda. Banyak pakaian bekas impor memiliki merek terkenal atau desain unik, sehingga menjadi pilihan bagi mereka yang ingin tampil beda. Di sisi lain, barang thrift dianggap lebih berkualitas dibandingkan produk fast fashion murah.
Seiring perkembangannya, di kota-kota besar mulai bermunculan toko-toko kecil khusus barang thrift. Komunitas penggemar thrifting, seperti kolektor pakaian vintage, mulai berkembang. Didukung media sosial, thrifting berubah menjadi bagian dari tren fashion berkelanjutan dan ekspresi gaya hidup.
Platform seperti Instagram dan TikTok mempopulerkan thrifting sebagai tren fashion yang unik dan ramah lingkungan. beberapa influencer dan selebriti Indonesia, seperti Andien Aisyah, Adinda Thomas, Bn Sihombing, tuurt mengamini gaya hidup thrifting.
Selain pasar fisik, toko online dan platform marketplace menyediakan kategori khusus untuk barang thrift. Generasi muda, khususnya Gen Z, mendukung thrifting sebagai cara mengurangi limbah tekstil dan mendukung fashion berkelanjutan.
Â
Kontroversi dan Tantangan
Meskipun populer, thrifting di Indonesia menghadapi beberapa tantangan, terutama dari sisi regulasi impor barang bekas. Pemerintah melarang impor pakaian bekas untuk melindungi industri tekstil lokal (UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan). Namun, pasar barang bekas tetap berkembang melalui jalur tidak resmi.
Selain itu, masih ada sebagian masyarakat yang menganggap barang bekas kurang higienis atau hanya untuk kalangan menengah ke bawah.
Meski begitu, thrifting telah melampaui label sebagai gaya hidup hemat dan menjadi simbol perubahan dalam industri fashion. Dengan memadukan nilai keberlanjutan dan kreativitas, thrifting terus berkembang sebagai gerakan yang tidak hanya stylish tetapi juga bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Â
Advertisement