Liputan6.com, Jakarta Di Indonesia, praktik thrifting sering menghadapi tantangan hukum karena adanya regulasi yang melarang impor barang bekas. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi industri tekstil lokal serta kesehatan dan keselamatan konsumen.
Beberapa regulasi yang mengatur thrifting adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah melarang impor barang bekas, termasuk pakaian, yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan lingkungan.
Baca Juga
Kemudian ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 mengenai larangan khusus pada impor pakaian bekas untuk melindungi industri dalam negeri dan mencegah penyebaran penyakit melalui pakaian bekas.
Advertisement
Ketentuan Jual Barang Bekas
Pada dasarnya, bisnis thrifting atau menjual barang bekas tidak dilarang oleh Pemerintah Indonesia, sepanjang barang bekas yang dijual bukan barang-barang yang dilarang oleh pemerintah seperti pakaian impor bekas.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya kode KBLI 47742 tentang perdagangan eceran pakaian, alas kaki dan pelengkap pakaian bekas.
Kelompok KBLI nomor 47742 mencakup usaha perdagangan eceran pakaian, alas kaki dan pelengkap pakaian bekas, seperti baju bekas, celana bekas, mantel bekas,selendang bekas dan topi bekas. Oleh karena itu, yang dilarang bukan bisnis thrifting dari dalam negeri, melainkan kegiatan impor pakaian bekas atau thrifting dari luar negeri.
Meski ada larangan impor, thrifting tetap berkembang dengan cara-cara yang legal. Hal itu tak mengherankan, mengingat pergeseran thrifting yang kini menjadi tren fashion.
Seorang karyawan swasta, Arista (28), mengaku telah lama memanfaatkan barang thrifting mulai dari pakaian hingga pernak-pernik. Mulanya, dia gemar thrifting saat kuliah. Dia merasa perlu untuk menjaga penampilan namun dengan ongkos yang minim. Maka berburu barang bekas menjadi solusi.
"Saat SMA pakai seragam. Pas kuliah setiap hari pakai baju bebas, jadi mix and match. Pengennya beda dari yang lain. Tapi boncos juga kalau selalu belanja di mall. Belum lagi barangnya sejuta umat," kata Arista kepada Liputan6.com, Jumat (27/12/2024).
Meski begitu, Arista mengaku tidak lantas menjadi impulsif untuk berburu barang bekas dengan harga miring. Menurut dia, membeli pakaian bekas tidak hanya hemat, tetapi juga membantu mengurangi limbah tekstil dan jejak karbon.
Â
Bisnis Menjanjikan
Dari sudut pandang lain, Krisna (23) sebagai salah satu penjual barang thrift mengaku usaha ini cukup menjanjikan. Mulanya, Krisna hanya menjual kaos band dan beberapa merek yang banyak dicari oleh pecinta musik.
Seiring berjalannya waktu, dia menambah koleksi etalase berupa sepatu bekas. Belakangan, dia tidak lagi fokus pada merek sebab tak sedikit yang mampir ke tokonya untuk berburu harta karun berupa barang unik.
"Dulu kalau anak band carinya merek tertentu, seperti Dickies misalnya. Tapi sekarang anak sekolah, banyak cewek juga nyari yang lucu, yang unik, dan murah," kata Krisna.
Â
Advertisement
Beli di Pasar Loak
Krisna sendiri mendapatkan barang yang dijualnya dari berbagai pihak. Namun paling banyak dia membeli sendiri di pasar loak besar. Sesekali, dia juga berburu harta karun di pasar loak untuk dipakai sendiri.
"Jadi dulu modalnya gak maksa. Saya beli buat sendiri. Lama-lama banyak yang nanya (pakaian yang saya pakai) beli di mana. Akhirnya saya coba beli beberapa, tawarkan, kalau ada yang mau ya diduitin. Kalau enggak, saya pakai sendiri," tutur Krisna.
Saat ini, Krisna menjajakan dagangannya di sebuah toko kecil di kawasan Jakarta Selatan. Selain berfungsi sebagai toko untuk dagangan sendiri, Krisna kadang mengadakan bazar barang bekas bersama beberapa pedagang lain.