Sukses

Terkaya di Dunia, Potensi Ekonomi Laut Arafura dan Timor Sentuh Rp 118,3 Triliun

United Nations Development Programme (UNDP) membeberkan besaran peluang ekonomi di Arafura and Timor Seas atau ATS yang menjadi salah satu bagian wilayah Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta United Nations Development Programme (UNDP) membeberkan besaran peluang ekonomi di Arafura and Timor Seas atau ATS yang menjadi salah satu bagian wilayah Indonesia.

Laut Arafura dan Laut Timur ini sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan dan mengatasi 3 krisis planet utama, yaitu perubahan iklim, keanekaragam hayati, dan juga polusi.

"Secara geologis, wilayah Arafura and Timor Seas atau ATS ini merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia," ungkap Programme Manager Nature Climate Energy UNDP, Iwan Kurniawan dalam Kegiatan Penutupan Proyek ATSEA-2 di Ayana Midplaza, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).

UNDP mencatat, terdapat 600 lebih spesies karang pembentuk terumbu, kemudian lebih dari 2.500 spesies ikan di wilayah laut ATS yang mencakup ekosistem penting seperti hutan mangrove, dan juga terumbu karang yang mendukung berbagai spesies laut serta menyediakan layanan ekosistem seperti perlindungan pantai dan penyerapan karbon.

Secara ekonomi, Iwan menjelaskan, wilayah ATS sangat penting bagi sektor perikanan lokal dan regional, juga untuk mendukung mata pencaharian dan ketahanan pangan bagi komunitas di Indonesia, Timor Leste, Australia juga di Papua Nugini.

"Wilayah ATS ini memiliki potensi untuk kegiatan ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan sejalan dengan prinsip ekonomi biru," katanya. Dia mengungkapkan hasil studi yang menunjukkan bahwa wilayah ATS memiliki nilai ekonomi tahunan yang diperkirakan mencapai USD 7,3 miliar atau sekitar Rp.118,3 triliun.

"Jadi potensinya sangat besar, tapi mungkin kita masih perlu upaya upaya inovasi agar nilai yang sebesar ini bisa diwujudkan," ucapnya.

 

2 dari 3 halaman

Perikanan

Berdasarkan ekosistemnya, penilaian ini mencakup sektor perikanan dengan perkiraan nilai tahunan sekitar USD 742 juta (Rp.12 triliun), dengan kontribusi terbesar dari Indonesia sebesar USD 581 juta (Rp.9,4 triliun) Kemudian diikuti oleh Australia, Timor Leste, dan juga Papua Nugini.

Adapun di area akuakultur dengan perkiraan nilai ekonomi sekitar USD 640 juta per tahun, di mana Indonesia menjadi penyumbang terbesar senilai USD 480 juta, ungkap Iwan.

Adapun sektor pariwisata laut menjadi penyumbang terbesar juga dengan estimasi sekitar USD 4,9 miliar (Rp.79,4 triliun) Kemudian ada karbon biru, di mana hutan mangrove di wilayah ATS memainkan peranan penting dalam penyerapan karbon dengan nilai antara USD 600 sampai USD 665 juta (Rp.10,7 triliun) per tahun.

"Selain itu ada juga warisan budaya dan keanekaragaman hayati di mana warisan budaya dan keanekaragaman hayati ini memberikan nilai yang diperkirakan mencapai lebih dari USD 250 juta per tahunnya," papar Iwan.

 

3 dari 3 halaman

Tak Lepas dari Tantangan Iklim

Namun, kekayaan di wilayah ATS masih menghadapi beberapa tantangan, diantaranya terkait dengan dampak perubahan iklim.

"Wilayah ATS ini rentan terhadap efek perubahan iklim, termasuk kenaikan suhu permukaan laut, peningkatan suhu laut yang mengancam ekosistem, dan komunitas di pesisir," kata Iwan.

Masalah polusi juga menjadi tantangan, demikian juga keanekaragaman hayati.

"Untuk menjawab tantangan tantangan yang ada tersebut, wilayah ATS ini dimiliki oleh 3 atau 4 negara yaitu Indonesia, Timor Leste, Australia dan Papua Nugini, sehingga tata kelola kolaboratif sangat penting untuk pengelolaan yang efektif dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," tambahnya.

Â