Sukses

Jurus Kadin Indonesia Hadapi Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya N. Bakrie angkat bicara mengenai penerapan PPN 12 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya N. Bakrie, menegaskan komitmen Kadin dalam menghadapi tantangan yang muncul akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.

Anindya mengakui isu ini tengah menjadi perbincangan hangat, dengan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, khususnya kaum menengah, serta kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menjadi perhatian banyak pihak.

"Isu yang lagi marak mengenai PPN 12 persen, daya beli masyarakat terutama kaum menengah, dan kemungkinan ada isu pemberhentian tenaga kerja dan lain-lain. Tapi semua itu tentu di sinilah tugas Kadin,” kata Anindya dalam Kadin Global & Economic Outlook 2025, di Menara Kadin, Senin (30/12/2024).

Menurut Anindya, Kadin memiliki dua tugas utama dalam mengatasi dampak negatif yang mungkin timbul dari kebijakan ini. Pertama, Kadin akan bekerja sama dengan seluruh konstituen, termasuk Kadin provinsi, perusahaan-perusahaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan koperasi yang berada di bawah naungannya, untuk memastikan mereka dapat menghadapi situasi ini dengan baik. 

Menurut dia, kerja sama ini dianggap sangat penting untuk menjaga kelangsungan bisnis serta menciptakan lingkungan usaha yang kondusif di tengah tantangan ekonomi.

Kedua, Kadin bertekad untuk menjadi mitra strategis dalam mendukung program-program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal, dengan target mencapai 8 persen pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi kemiskinan bahkan hingga ke tingkat nol persen. 

Anindya menilai pencapaian ini memerlukan sinergi antara sektor bisnis dan pemerintah, di mana Kadin berperan penting sebagai penghubung dan fasilitator.

Melalui langkah-langkah strategis ini, Kadin Indonesia berharap dapat membantu memperkuat perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sektor bisnis menghadapi potensi dampak dari kenaikan PPN 12 persen yang akan diberlakukan pada tahun 2025.

 

2 dari 6 halaman

Inisiatif Luar Biasa

Disamping itu, Anindya juga mengapresiasi kontribusi perempuan dalam Kadin yang turut serta dalam memberikan pandangan jernih dan solusi konstruktif.

Ia menyebut para "petarung ekonomi" perempuan di Kadin memiliki kepekaan tinggi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, serta mampu menyajikan perspektif yang jauh ke depan dalam merumuskan kebijakan dan strategi untuk memitigasi dampak negatif dari perubahan kebijakan ekonomi.

"Jadi, sekali lagi saya berterima kasih, ini inisiatif yang luar biasa dari teman-teman di Kadin. Dan kebetulan ini beberapa dari petarung ekonomi kita yang perempuan yang ada di Kadin. Dan biasanya mereka mempunyai bukan hanya pandangan yang jernih, jauh ke depan, tapi sensitivitas terhadap apa yang dirasakan masyarakat,” pungkasnya.

 

3 dari 6 halaman

Kata Prabowo soal Banyak Kritik Kenaikan PPN 12 Persen

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menanggapi santai soal banyaknya kritikan terkait kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Prabowo menyebut kritikan tersebut merupakan hal wajar.

"Biasalah, biasa," kata Prabowo kepada wartawan di Indonesia Arena Jakarta, Sabtu (28/12/2024).

Prabowo mengatakan pemerintahannya baru berjalan dua bulan. Namun, kata dia, banyak pihak yang menggoreng dan membuat isu negatif terkait pemerintahannya.

"Tapi kita lumayan kita tadi 2 bulan 8 hari saya lihat lumayan, ada di sana-sini yang goreng-goreng ya," ujarnya.

Dia tak mau ambil pusing terkait banyaknya kritikan kepada pemerintahannya. Prabowo meyakini masyarakat dapat memilah informasi yang benar dan tidak.

"Itu sudahlah udah biasa kita ya kan. Rakyat mengerti siapa yang benar siapa yang ngarang rakyat mengerti, betul?" tutur Prabowo Subianto.

Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen merupakan upaya pemerintah dalam melindungi rakyat, khususnya masyarakat di kelas menengah ke bawah.

"Itu kan ranahnya kementerian lain. Tapi dulu saya ikut di dalam, masih saya di DPR waktu itu. Ini kebijakan yang harus diambil oleh Bapak Presiden akibat sebuah Undang-Undang, harmonisasi Peraturan Perpajakan yang dilahirkan tahun 2021," tutur Andi di Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).

 

4 dari 6 halaman

Stimulus Pemerintah

Hasil dari Peraturan Perpajakan itu menentukan pada 2 Januari 2025 nanti PPN akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen.

"Tapi Presiden tentu tidak sekadar hanya menaikkan, tapi bagaimana kemudian untuk melindungi kelas menengahnya, kelas masyarakat yang terdampak langsung, yang kemiskinan," jelas dia.

Oleh karena itu, kata Andi, pemerintah lewat berbagai macam program maupun alokasi APBN, termasuk stimulus yang terakhir yakni memberikan ruang untuk UMKM hingga berkelanjutan ke masyarakat terdampak, terutama yang rakyat miskin.

"Tapi jangan lupa bahwa di luar itu kan sebagian besar kebutuhan pokok kita kan tidak, tidak kena PPN. Bahan pokok tidak kena PPN. Kemudian yang kedua, sekolah tidak kena PPN, kecuali sekolah-sekolah premium, sekolah-sekolah internasional mungkin. Kemudian transportasi tidak kena PPN," Andi menandaskan.

 

5 dari 6 halaman

Khawatir Dampak PPN 12 Persen, PHRI Minta Pemerintah Kerek Daya Beli

Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah menstimulasi pariwisata di Indonesia. Langkah itu perlu dilakukan untuk menjaga bisnis hotel dan restoran yang disinyalir terdampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen.

Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono menerangkan dampak kenaikan PPN itu bisa merembet ke berbagai hal, termasuk adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itu, dia meminta pemerintah mengambil kebijakan yang tepat bagi pelaku usaha di sektor pariwisata.

Dia memandang, insentif dalam bentuk suku bunga yang ditawarkan tidaklah menarik. Lantaran, hotel hingga restoran membutuhkan peningkatan daya beli, bukan kredit.

"Pemerintah itu mesti hati-hati. Karena apa? Karena tadi dikasih insentif dalam bentuk suku bunga tadi sebenarnya itu tidak menarik karena memang kita tidak lagi butuh kredit," kata Sutrisno saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, dikutip Kamis (26/12/2024).

 

"Yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran itu adalah pembeli, demand, yang dibutuhkan adalah daya beli gitu loh," sambungnya.

 

6 dari 6 halaman

Tak Manjakan Investor Asing

Pada saat yang sama, dia meminta pemerintah tidak memanjakan investor asing yang masuk ke sektor pariwisata, termasuk hotel. Menurut dia, penyerapan tenaga kerja dari investor asing itu tidak lebih banyak dari pengusaha lokal.

"Ini saya kira penting bagi pemerintah. Ini kaitan tadi ya, saya juga ingin mengatakan investasi tadi, masalah investasi. Investasi itu jangan terus asing saja yang diidolakan. Asing itu masuk ke sini dengan capital intensive. Tidak mungkin dia menciptakan lapangan kerja, karena sekarang teknologi AI," tuturnya.

Menurut dia, investor lokal bisa lebih padat karya dan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dia berharap pemerintah tidak mempersulit upaya pengusaha lokal menanamkan investasi.

"Jangan orientasinya kepada asing dulu, dalam negeri harus. Itu cincin syaratnya, kemudahan untuk berinvestasi itu yang harus dilakukan. Pajak, kemudian regulasi, infrastruktur, kepastian hukum, dan biaya yang berasal dari tenaga kerja yang wajar. Itu saja sebenarnya yang diinginkan," pungkasnya.

Video Terkini