Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana kembali menerapkan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III. Namun, pengamat ekonomi khawatir kebijakan tak akan berdampak signifikan.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengungkapkan kondisinya. Belajar pada 2 jilid tax amnesty, ternyata setoran pajak ke negara tidak beranjak signifikan.
Baca Juga
"Pertama, nilai harta terungkap pada Pengampunan Pajak Jilid 1, terutama komitmen repatriasi hanya memperoleh Rp 147 triliun dari target Rp1.000 triliun," kata Media Wahyudi kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).
Advertisement
Dia juga melihat tren serupa. Misalnya pada hasil perolehan uang tebusan sebesar Rp 129 triliun, padahal negara menargetkan Rp 165 triliun. Contoh ini, katanya, menunjukkan belum tercapainya target yang dipatok pemerintah.
"Ini menunjukkan bahwa penerapan pengampunan pajak belum sepenuhnya mencapai target yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri," tegasnya.
Kedua, Media Wahyudi menyoroti ketika pemerintah memutuskan untuk melaksanakan Pengampunan Pajak Jilid 2 pada 2022. Hasilnya bahkan dinilai tidak memuaskan seperti pada kali pertama.
Kala itu, jumlah peserta tidak mencapai sepertiga peserta pada sebelumnya, hanya sekitar 247.918 Wajib Pajak.
"Nilai harta yang diungkap juga terbilang jauh, hanya Rp 1.250,67 triliun atau sekitar 25,7 persen dibandingkan jilid sebelumnya," pungkasnya.
Â
Tax Amnesty Belum Adil
Sebelumnya, Rencana Tax Amnesty Jilid III dinilai bisa menjaga penerimaan pajak dalam jangka pendek. Namun, langkah itu dikhawatirkan bisa membuat wajib pajak tak patuh dalam jangka panjang.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menerangkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa melakukan dua cara untuk menegakkan hukum pajak.
Pertama, mengejar para pengemplang pajak. Kedua, memberikan pengampunan pajak melalui program tax amnesty.
"Cara pertama di atas membutuhkan upaya keras dan waktu panjang karena ada proses pemeriksaan atau penyidikan pajak. Wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan atau penyidikan akan melakukan perlawanan hingga terjadi sengketa pajak sampai ke MA," kata Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).
"Cara pertama bisa jadi kurang efisien, tapi mengedepankan rasa keadilan. Banyak negara menerapkan cara pertama ini," sambungnya.
Sedangkan, cara kedua terlihat lebih efisien secara jangka pendek. Menurutnya, tax amnesty cenderung digunakan oleh negara yang butuh penyetoran lebih cepat, meski nominalnya lebih rendah.
Â
Advertisement
Berisiko Turun
Prianto melihat adanya risiko pada penerapan tax amnesty untuk jangka panjang. Misalnya penurunan tingkat kepatuhan dari wajib pajak kedepanny.
"Negara yang menerapkan cara kedua karena berpikir jangka pendek. Untuk jangka panjangnya, ketidakpatuhan justru dapat meningkat. WP patuh dapat menjadi tidak patuh karena perlakuan tidak adil oleh pemerintah," tuturnya.
Mengacu pada dua cara itu, dia tak melihat adanya peluang berkurangnya pendapatan negara dari pajak. "Sesuai penjelasan di atas, untuk jangka pendek di tahun ketika ada program TA, penerimaan pajak akan meningkat. Dengan demikian, pemerintah tidak mengalami potensi kehilangan penerimaan pajak," jelasnya.