Sukses

PPN 12 Persen buat Barang Mewah, Pengusaha Tuntut Ini ke Pemerintah

Apindo meminta pemerintah memberikan penjelasan secara rinci soal penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Utamanya bagi pelaku usaha dan konsumen.

Liputan6.com, Jakarta Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani meminta pemerintah memberikan penjelasan secara rinci soal penerapan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen. Utamanya bagi pelaku usaha dan konsumen.

Diketahui, pemerintah resmi memutuskan kenaikan PPN jadi 12 persen bagi barang kategori mewah. Shinta menilai, perlu ada sosialisasi secara menyeluruh.

"Kami tetap mengingatkan pentingnya pelaksanaan kebijakan ini yang harus diiringi dengan sosialisasi yang jelas dan terperinci," kata Shinta kepada Liputan6.com, dikutip Sabtu (4/1/2025).

"Hal ini penting untuk memastikan kebijakan tersebut tidak menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha maupun konsumen dengan pelaksana kebijakan di lapangan," sambung dia.

Dia berharap, kebijakan yang ditetapkan ini sejalan dengan implementasinya di lapangan. Tujuannya tidak menghadirkan kebingungan dengan sederet formula baru yang ditetapkan pemerintah.

"Kami berharap dengan kebijakan yang tepat dan implementasi yang baik, kebijakan ini dapat menjaga konsumsi masyarakat tetap stabil, terutama dari segmen menengah ke bawah," ujarnya.

Pada aspek bisnis, Shinta menilai pengecualian PPN 12 persen bagi sejumlah barang kebutuhan pokok bisa berdampak positif. Termasuk kepada kalangan pengusaha dan ekonomi nasional secara jangka panjang.

"Dalam hal ini, APINDO berharap pemerintah dapat terus melakukan dialog dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan yang ada sehingga mampu menghadirkan manfaat yang lebih maksimal bagi seluruh pihak," pintanya.

2 dari 4 halaman

PPN 12% Cuma Buat Barang Mewah, Pengusaha Bisa Bernapas Lega

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyambut baik penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya untuk barang mewah. Pelaku usaha dinilai bisa meneruskan rencana perusahaannya.

Shinta menggarisbawahi penerapan PPN 12 persen hanya bagi barang sangat mewah. Pada konteks ini, berlaku bagi barang yang sudah kena PPnBM. Sementara, barang lainnya tetap 11 persen.

"Kami menyambut baik keputusan pemerintah untuk membatasi penerapan tarif PPN 12% hanya pada barang dan jasa yang dikategorikan sangat mewah (yang saat ini dikenakan PPnBM), sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif PPN 11%, dan yang bebas PPN tetap bebas PPN," tutur Shinta kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).

Dia menilai, kebijakan ini menunjukkan sensitivitas pemerintah terhadap kondisi perekonomian nasional. Utamanya di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih. Pada saat yang sama, pelaku usaha juga menghadapi sederet tantangan.

"Dengan mempertahankan tarif 11 persen untuk mayoritas barang dan jasa, diharapkan konsumsi masyarakat tetap terjaga dan tidak mengalami tekanan lebih lanjut," ujarnya.

Pada aspek bisnis, kata Shinta, langkah ini memberikan kejelasan yang dibutuhkan pelaku usaha untuk merancang strategi mereka di tahun 2025. Terutama terkait proyeksi biaya operasional dan daya beli konsumen.

"Keputusan ini juga memberikan ruang bagi dunia usaha untuk terus mendorong aktivitas ekonomi tanpa harus khawatir akan dampak signifikan dari kenaikan tarif PPN yang lebih luas," tegasnya.

3 dari 4 halaman

Waketum MUI: PPN 12% Demi Bantu Masyarakat Kelas Ekonomi Menengah ke Bawah

Memasuki awal tahun 2025, rakyat Indonesia diramaikan dengan topik kenaikan PPN 12%. Hal itu memantik pendapat dari berbagai kalangan masyarakat, juga di kalangan pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud menjelaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 12% tersebut sudah diatur oleh Undang-undang negara.

“PPN 12% ini sesungguhnya dilakukan karena melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan Perpajakan (UU HPP),” kata Kiai Marsudi melalui keterangan diterima, Kamis (2/1/2025)

Kiai Marsudi menegaskan, pemberlakuan kenaikan pajak 12% hanya berlaku pada barang-barang tertentu yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat menegah ke atas.

“Saya cermati kenaikan ini hanya diperuntukkan untuk barang-barang luxury, barang-barang yang untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang mampu beli. Yang mempunyai purchasing power, kekuatan membeli melebihi dari kelas menuju menengah ke bawah,” ungkapnya.

Kiai Marsudi melihat, kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini terbagi atas beberapa kelas. Total, ada lima kelas, yang pertama adalah kelas atas, kedua kelas menengah, ke tiga kelas menuju menengah, keempat kelas kelompok yang sangat rentang, dan yang nomor lima adalah kelas bawah atau kelas miskin.

“Kelas atas adalah golongan paling atas dalam strata sosial masyarakat. Kelas atas dinilai dengan adanya pengeluaran biaya hidupdi atas Rp 6 juta per bulannya. Selanjutnya, kelas menengah ditandai dari jumlah pengeluaran Rp 1-6 juta per orang, per bulannya,” ungkap Kiai Marsudi mengutip informasi dari pemberitaan media.

 

4 dari 4 halaman

Kelas Bawah

Kiai Marsudi melanjutkan, dengan kelas Menuju Menengah yaitu mereka yang memiliki pengeluaran biaya hidup antara Rp 500ribu ke Rp 1 juta masuk. Lalu kelompok Rentan, yakni kelompok yang terdiri dari masyarakat yang berada di garis kemiskinan namun rentan untuk jadi miskin.

“Masyarakat yang masuk kelompok ini diklasifikasikan dari pengeluaran Rp354-532 ribu,” ungkap Kiai Marsudi.

Terakhir adalah kelompok kelas bawah, kelompok ini dikategorikan dari jumlah pengeluaran di bawah Rp 354 ribu dalam sebulan.

“Maka, presiden siapapun ketika membuat kebijakan baik itu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Maka, akan berdampak pada kelas-kelas ini. Apalagi kebijakan pajak, itu sangat dirasakan oleh dua kelas, yaitu kelas pembayar dan juga kelas mustahiq,” dia menandasi.

  

Video Terkini