Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bersama sejumlah asosiasi sektoral seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), APREGINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia), Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), serta GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia) menyampaikan apresiasi atas kebijakan pemerintah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.
Baca Juga
Kebijakan ini menetapkan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya berlaku untuk barang-barang super mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas.
Advertisement
Keputusan ini dinilai sebagai langkah bijaksana yang menjaga daya beli masyarakat secara umum, meningkatkan Konsumsi Rumah Tangga dan sekaligus memberikan kepastian dan keadilan bagi sektor usaha.
Handaka Santosa, Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri APINDO sekaligus dalam kapasitas Ketua Umum APREGINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia) menyampaikan apresiasinya atas respons pemerintah terhadap masukan dunia usaha.
“Kami mengapresiasi kebijakan ini karena mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kepentingan masyarakat serta pelaku usaha. Kebijakan yang terukur ini tidak hanya mendorong daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri di tengah tantangan ekonomi global,” ujar Handaka dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025).
Selain itu, masa transisi selama tiga bulan yang diberikan pemerintah dinilai sebagai langkah bijak untuk memberikan waktu bagi dunia usaha mempersiapkan penerapan kebijakan ini secara maksimal. Sosialisasi teknis yang akan dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral juga diharapkan dapat memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar.
APINDO bersama asosiasi sektoral lainnya berkomitmen mendukung pelaksanaan kebijakan ini dan percaya bahwa dialog yang erat antara pemerintah dan dunia usaha akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, memperkuat daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional.
PPN 12% Cuma Buat Barang Mewah, Pengusaha Bisa Bernapas Lega
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyambut baik penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya untuk barang mewah. Pelaku usaha dinilai bisa meneruskan rencana perusahaannya.
Shinta menggarisbawahi penerapan PPN 12 persen hanya bagi barang sangat mewah. Pada konteks ini, berlaku bagi barang yang sudah kena PPnBM. Sementara, barang lainnya tetap 11 persen.
"Kami menyambut baik keputusan pemerintah untuk membatasi penerapan tarif PPN 12% hanya pada barang dan jasa yang dikategorikan sangat mewah (yang saat ini dikenakan PPnBM), sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenakan tarif PPN 11%, dan yang bebas PPN tetap bebas PPN," tutur Shinta kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).
Dia menilai, kebijakan ini menunjukkan sensitivitas pemerintah terhadap kondisi perekonomian nasional. Utamanya di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih. Pada saat yang sama, pelaku usaha juga menghadapi sederet tantangan.
"Dengan mempertahankan tarif 11 persen untuk mayoritas barang dan jasa, diharapkan konsumsi masyarakat tetap terjaga dan tidak mengalami tekanan lebih lanjut," ujarnya.
Pada aspek bisnis, kata Shinta, langkah ini memberikan kejelasan yang dibutuhkan pelaku usaha untuk merancang strategi mereka di tahun 2025. Terutama terkait proyeksi biaya operasional dan daya beli konsumen.
"Keputusan ini juga memberikan ruang bagi dunia usaha untuk terus mendorong aktivitas ekonomi tanpa harus khawatir akan dampak signifikan dari kenaikan tarif PPN yang lebih luas," tegasnya.
Advertisement
Waketum MUI: PPN 12% Demi Bantu Masyarakat Kelas Ekonomi Menengah ke Bawah
Memasuki awal tahun 2025, rakyat Indonesia diramaikan dengan topik kenaikan PPN 12%. Hal itu memantik pendapat dari berbagai kalangan masyarakat, juga di kalangan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud menjelaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 12% tersebut sudah diatur oleh Undang-undang negara.
“PPN 12% ini sesungguhnya dilakukan karena melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan Perpajakan (UU HPP),” kata Kiai Marsudi melalui keterangan diterima, Kamis (2/1/2025)
Kiai Marsudi menegaskan, pemberlakuan kenaikan pajak 12% hanya berlaku pada barang-barang tertentu yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat menegah ke atas.
“Saya cermati kenaikan ini hanya diperuntukkan untuk barang-barang luxury, barang-barang yang untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang mampu beli. Yang mempunyai purchasing power, kekuatan membeli melebihi dari kelas menuju menengah ke bawah,” ungkapnya.
Kiai Marsudi melihat, kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini terbagi atas beberapa kelas. Total, ada lima kelas, yang pertama adalah kelas atas, kedua kelas menengah, ke tiga kelas menuju menengah, keempat kelas kelompok yang sangat rentang, dan yang nomor lima adalah kelas bawah atau kelas miskin.
“Kelas atas adalah golongan paling atas dalam strata sosial masyarakat. Kelas atas dinilai dengan adanya pengeluaran biaya hidupdi atas Rp 6 juta per bulannya. Selanjutnya, kelas menengah ditandai dari jumlah pengeluaran Rp 1-6 juta per orang, per bulannya,” ungkap Kiai Marsudi mengutip informasi dari pemberitaan media.
Kelas Bawah
Kiai Marsudi melanjutkan, dengan kelas Menuju Menengah yaitu mereka yang memiliki pengeluaran biaya hidup antara Rp 500ribu ke Rp 1 juta masuk. Lalu kelompok Rentan, yakni kelompok yang terdiri dari masyarakat yang berada di garis kemiskinan namun rentan untuk jadi miskin.
“Masyarakat yang masuk kelompok ini diklasifikasikan dari pengeluaran Rp354-532 ribu,” ungkap Kiai Marsudi.
Terakhir adalah kelompok kelas bawah, kelompok ini dikategorikan dari jumlah pengeluaran di bawah Rp 354 ribu dalam sebulan.
“Maka, presiden siapapun ketika membuat kebijakan baik itu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Maka, akan berdampak pada kelas-kelas ini. Apalagi kebijakan pajak, itu sangat dirasakan oleh dua kelas, yaitu kelas pembayar dan juga kelas mustahiq,” dia menandasi.
Advertisement