Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyampaikan bahwa masyarakat yang telah terkena potongan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut di tempat mereka berbelanja. Proses pengajuan restitusi ini dapat dilakukan dengan membawa bukti pembayaran berupa struk transaksi.
"Jadi mereka kembali dengan menyampaikan struk yang sudah dibawa selama ini," kata Suryo dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Senin (6/1).
Baca Juga
Suryo menjelaskan pengembalian pajak ini berkaitan dengan potongan pajak yang terlanjur dipungut. Hal ini, menurutnya, tidak dapat dihindari mengingat kebijakan baru terkait pajak diumumkan pada 31 Desember lalu, dan beberapa pelaku usaha telah mulai bertransaksi dengan kebijakan tersebut pada 1 Januari.
Advertisement
Dia mengaku pihaknya telah berdiskusi dengan berbagai pelaku usaha, seperti perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa pemerintah akan memberikan waktu selama tiga bulan bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan sistem administrasi mereka guna mendukung implementasi kebijakan pajak yang baru.
"Karena dengan penggunaan DPP dasar (pengenaan pajak) nilai lain otomatis sistem administrasi para pelaku juga mengalami perubahan di samping juga mengalami situasi bahwa pajak sudah terlanjur dipungut," jelas Suryo.
Dalam periode tiga bulan tersebut, pemerintah juga memberikan kelonggaran berupa tidak dikenakannya sanksi apabila terjadi keterlambatan atau kesalahan dalam penerbitan faktur pajak.
Suryo menegaskan bahwa pengembalian pajak dilakukan melalui penjual karena pajak yang dipungut biasanya baru disetorkan ke pemerintah pada akhir bulan berikutnya.
"Kemudian yang sudah terlanjur dipungut ya kita kembalikan. Saya sepakat dengan pelaku lewat si penjual. Karena pajaknya kan belum disetorkan kepada kami di pemerintah. Karena kan habis dipungut disetorkan kepada kami di akhir bulan berikutnya, jadi kira-kira begitu," tutup Suryo.
Â
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Penerimaan Pajak 2024 Tak Capai Target, Ini Penyebabnya
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak tumbuh 3,5% atau sebesar Rp 1.932,4 triliun pada tahun 2024. Angka penerimaan pajak ini meleset dari target penerimaan pajak Rp 1.988,8 triliun dalam Undang-Undang (UU) APBN 2024 atau mengalami shortfall Rp 56,48 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, penerimaan pajak pada 2024 bersifat transaksional, yaitu berasal dari pajak penghasilan dan transaksi masyarakat yang mencakup PPh 21, PPN dan PPh nonmigas.
"(PPh Pasal 21) tumbuh double digit karena aktivitas gaji THR dan aktivitas ekonomi yang makin baik," ungkap Anggito, dalam Konferensi Persn APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Senin (6/1/2025).
Anggito memaparkan, pada 2024 PPh Pasal 21 tumbuh 21,1% atau mencapai Rp.243,8 triliun, PPh nonmigas tumbuh 0,5% mencapai Rp.997,6 triliun dan PPN/PPnBM Rp 828,5 triliun atau tumbuh 8,6%.
Dijelaskannya, kenaikan penerimaan PPN didorong oleh pertumbuhan dari PPN Dalam Negeri (DN) yang mencapai 32,8%, didorong oleh konsumsi masyarakat yang masih kuat, terutama dari industri makanan dan tembakau.
Sementara itu, PPh badan mengalami kontraksi akibat turunnya profitabilitas pertambahan khususnya batu bara, nikel, kelapa sawit yang merupakan dampak dari volatilitas harga-harga komoditas.
Sedangkan PPh badan juga mengalami kontraksi sebesar 5,3% atau sebesar Rp.65,1 triliun dan PPh Badan kontraksi hingga 18,1% menjadi Rp.335,8 triliun.
Jika dilihat secara sektor, pajak di sektor pertambangan mengalami kontraksi pada kuartal I dan II-2024, masing-masing sebesar 58,5% dan 59,5%.
Kemudian di kuartal III dan IV 2024, penerimaan pajak dari sektor pertambangan tumbuh positif.
Advertisement
Tok! Mulai Hari Ini PPN 12 Persen Resmi Berlaku
Mulai hari ini 1 Januari 2025 Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen resmi berlaku. Namun, kebijakan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat. Akhirnya, Pemerintah memutuskan kenaikan PPN dari 11 menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
Kebijakan menaikkan tarif PPN hanya untuk barang mewah itu diputuskan pemerintah dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Keputusan itu dinilai telah mengedepankan kepentingan rakyat kecil.
"Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah, yang sudah dikonsumsi masyarakat berada, masyarakat mampu," kata Prabowo di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, ditulis Rabu (1/1/2025).
Adapun Prabowo menyebutkan, contoh barang mewah yang kena PPN 12 persen adalah pesawat jet pribadi, kapal pesiar, Yacth, kemudian rumah yang sangat mewah yang nilainya di atas golongan mewah.
Artinya, kata Prabowo, untuk barang dan jasa yang tidak tergolong barang mewah maka tetap dikenakan PPN 11 persen.
"Untuk barang dan jasa yang selama ini diberi fasilitas pembebasan atau tarif Pajak Penambahan Nilai 0 persen masih tetap berlaku ya," jelas dia.
Senada dengan Presiden, Menteri Keuangan Sri Mulyani turut menegaskan hanya barang mewah yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Masyarakat pun diharapkan tidak khawatir terkena dampak kenaikan pajak di tahun 2025.
"Artinya untuk barang dan jasa lainnya terkena 11 persen tidak mengalami kenaikan menjadi 12, jadi tetap 11 persen. Seluruh barang dan jasa yang selama ini 11 persen tetap 11 persen, tidak ada kenaikan PPN" ujar Sri Mulyani.
Daftar Barang Kena PPN 12 Persen
Berikut daftar barang yang terkena PPN 12 persen adalah sebagai berikut:
1. Kelompok hunian mewah, seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan berbagai jenis seperti itu dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih
2. Balon udara, balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak, peluru senjata api, senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara. Kemudian kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40 persen, yaitu helikopter, pesawat udara dan kendaraan udara lain seperti private jet, dan senjata api kecuali untuk kepentingan negara.
3. Kelompok kapal pesiar mewah kecuali yang untuk angkutan umum, kapal pesiar, kapal ekskursi, Yacht
4. Kendaraan bermotor yang terkena PPnBM.
Advertisement