Hasil kajian Visa Payment Attitudes menunjukkan masyarakat Indonesia adalah orang yang paling cermat dalam mengelola tingkat kehilangan uang tunai akibat tertinggal di rumah atau mobil, ataupun mata uang asing yang tidak terpakai setelah pergi berlibur atau perjalanan bisnis.
Indonesia berada pada tingkat kehilangan terendah yaitu hanya sebesar US$ 21 atau Rp 203.973 per tahun. Jumlah tersebut jauh di bawah rata-rata tingkat kehilangan uang tunai di negara-negara lain yang mencapai US$ 365 atau Rp 3.545.245.
Jumlah ini setara dengan harga 6,5 gram emas yang bisa membantu kehidupan sebuah keluarga di Bangladesh yang terdiri dari empat orang selama satu tahun.
"Merupakan hal yang positif melihat konsumen Indonesia memiliki tingkat kehilangan uang tunai terendah dibandingkan negara-negara lain," ujar Ellyana Fuad, Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia, Selasa (21/5/2013).
Gaya hidup yang sibuk membuat seseorang kadang tidak menyadari akan hal-hal kecil di sekitar mereka, seperti misalnya uang receh atau uang kembalian.
Rata-rata masyarakat meninggalkan sebesar US$ 80 (Rp 777,040) uang receh yang tidak terpakai di mobil, rumah, dan kantor.
Dari hasil survei di beberapa negara, masyarakat Jepang memiliki angka paling mengejutkan dengan US$ 337 (Rp 3.273.281) uang receh yang terlupakan.
Masyarakat Indonesia adalah yang paling hemat dengan jumlah uang receh yang tidak digunakan hanya sebesar US$ 21 (Rp 203,973).
Kembali dari liburan dengan kantong yang penuh dengan mata uang asing juga merupakan hal yang umum terjadi.
Menurut penelitian ini, masyarakat rata-rata membawa US$ 285 atau sekitar Rp 2.768.205 dalam mata uang asing ketika kembali dari perjalanan.
Masyarakat Singapura umumnya membawa sebanyak US$ 625 atau Rp 6.070.625 di saku mereka ketika kembali dari perjalanan bisnis atau liburan.
Di sisi lain, Indonesia, Korea Selatan dan Taiwan, adalah yang paling cermat dalam menggunakan uang mereka dengan membawa kembali hanya sebesar US$ 1 atau sekitar Rp 9.713 dalam mata uang asing.
Sementara sebagian besar responden akan mempertahankan uang yang tersisa untuk penggunaan di masa depan, dan sekitar 1 dari 5 akan memberikan sisa uang pada orang lain atau melupakan begitu saja.
Dia menambahkan, seiring dengan mulai diadopsinya pembayaran elektronik oleh konsumen Indonesia, berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), pihaknya juga melihat pertumbuhan yang kuat pada volume transaksi baik kartu debit yaitu sebesar 24,83% dan kartu kredit sebesar 11,6% pada 2012.
“Meskipun banyak transaksi di Indonesia masih bergantung pada uang tunai, kami yakin bahwa penggunaan pembayaran elektronik akan terus bertambah seiring dengan pertambahan tingkat penerimaan dan penerbitan kartu serta daya apresiasi konsumen terhadap manfaat keamanan, kenyamanan dan kendali keuangan yang ditawarkan oleh pembayaran elektronik dibandingkan uang tunai dan cek,” tambah Ellyana.
Dia mengaku berhati-hati dalam menjaga uang dan rasa khawatir yang timbul dari membawa uang tunai adalah kekhawatiran umum masyarakat.
"Mayoritas responden (54%) mengatakan alasan utama mereka memiliki kartu debit adalah lebih mudah untuk dibawa dibanding membawa sejumlah besar uang tunai," tutur dia.
Selain itu, kartu debit juga digunakan untuk mengontrol pengeluaran mereka, di mana mayoritas responden (53%) mengatakan bahwa hal itu baik untuk manajemen keuangan karena mereka tahu bahwa setiap pembayaran langsung didebet dari rekening bank mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata seseorang memiliki dua kartu debit, namun kesadaran untuk menggunakan kartu debit di luar negeri cenderung rendah, dengan hanya 42% yang menyadari bahwa mereka dapat menggunakan kartu debitnya di belahan dunia lainnya.
Padahal, kartu debit khususnya kartu debit Visa, diterima secara luas di seluruh dunia dan dapat digunakan baik untuk berbelanja di toko, online dan juga untuk penarikan uang tunai dari anjungan tunai mandiri (ATM) asing bagi pembelian yang benar-benar membutuhkan uang tunai. (Nur)