Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bobby Rizaldy menilai kontroversi antara pendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan penentang kenaikan harus dicermati lebih teliti.
Menurut dia, penentang kenaikan harga BBM sebenarnya belum memiliki solusi untuk mengamankan volume BBM bersubsdi pada tahun ini sebesar 48 juta kiloliter (kl).
Sementara pemerintah dinilai memiliki beberapa hal mendasar untuk menaikan harga BBM bersubsdi dan kuotanya pada tahun ini.
"Kenaikan BBM ini dipacu melesetnya lima asumsi makro karena kondisi global yaitu kurs, tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, Indonesin Crude Prize (ICP) dan target produksi minyak (lifting)," kata Bobby, di Jakarta, Senin (17/6/2013).
Dia mengatakan, dengan melesetnya hal tesebut membuat potensi defisit APBN bisa lebih dari 3%. Bila pemerintah mempertahankan untuk tidak menambah volume BBM menjadi 48 juta kl maka rakyat tidak bisa menjalankan roda kehidupan sehari-sehari. Sementara untuk menambah volume tersebut membutuhkan anggaran yang lebih.
"Ini yang tidak bisa 'dijawab' penentang kenaikan BBM, dari mana uang untuk menjaga volume BBM tesebut?," ungkap dia.
Dia menyatakan dengan adanya penyesuaian harga maka anggaran negara akan terhemat hingga Rp 80 triliun.
Selanjutnya dana tersebut akan dipakai untuk meredam efek kejut inflasi akibat kenaikan harga, sampai ekuilibrium harga-harga mencapai keseimbangan.
Bobby mencontohkan, harga sembako yang naik, perlahan akan diantisipasi dengan pelepasan cadangan atau impor, agar harga bisa stabil kembali.
Sementara tanpa penyesuaian harga, tambahan kuota menjadi 48 juta Kl belum tentu bisa dipenuhi, dan defisit APBN bisa lebih 3% dan hal tersebut merupakan pelanggaran Undang-Undang (UU).
"Hal ini yang belum dijawab para penentang penyesuaian harga BBM, malah berkutat seputar program penahan inflasi, BLSM dan lainnya. Dan penyesuaian ini bukan berarti naik tidak bisa turun, bila asumsi makro kembali semula, harga BBM ini bisa disesuaikan kembali," pungkasnya. (Pew/Nur)
Menurut dia, penentang kenaikan harga BBM sebenarnya belum memiliki solusi untuk mengamankan volume BBM bersubsdi pada tahun ini sebesar 48 juta kiloliter (kl).
Sementara pemerintah dinilai memiliki beberapa hal mendasar untuk menaikan harga BBM bersubsdi dan kuotanya pada tahun ini.
"Kenaikan BBM ini dipacu melesetnya lima asumsi makro karena kondisi global yaitu kurs, tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, Indonesin Crude Prize (ICP) dan target produksi minyak (lifting)," kata Bobby, di Jakarta, Senin (17/6/2013).
Dia mengatakan, dengan melesetnya hal tesebut membuat potensi defisit APBN bisa lebih dari 3%. Bila pemerintah mempertahankan untuk tidak menambah volume BBM menjadi 48 juta kl maka rakyat tidak bisa menjalankan roda kehidupan sehari-sehari. Sementara untuk menambah volume tersebut membutuhkan anggaran yang lebih.
"Ini yang tidak bisa 'dijawab' penentang kenaikan BBM, dari mana uang untuk menjaga volume BBM tesebut?," ungkap dia.
Dia menyatakan dengan adanya penyesuaian harga maka anggaran negara akan terhemat hingga Rp 80 triliun.
Selanjutnya dana tersebut akan dipakai untuk meredam efek kejut inflasi akibat kenaikan harga, sampai ekuilibrium harga-harga mencapai keseimbangan.
Bobby mencontohkan, harga sembako yang naik, perlahan akan diantisipasi dengan pelepasan cadangan atau impor, agar harga bisa stabil kembali.
Sementara tanpa penyesuaian harga, tambahan kuota menjadi 48 juta Kl belum tentu bisa dipenuhi, dan defisit APBN bisa lebih 3% dan hal tersebut merupakan pelanggaran Undang-Undang (UU).
"Hal ini yang belum dijawab para penentang penyesuaian harga BBM, malah berkutat seputar program penahan inflasi, BLSM dan lainnya. Dan penyesuaian ini bukan berarti naik tidak bisa turun, bila asumsi makro kembali semula, harga BBM ini bisa disesuaikan kembali," pungkasnya. (Pew/Nur)