Bank Indonesia seperti Menara Gading yang indah tapi hanya untuk dipandang. Keruwetan instrumen keuangan di bank sentral seringkali sulit dipahami orang kebanyakan.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam bukunya 'Bank Sentral Itu Harus Membumi' seperti dikutip Kamis (20/6/2013) mengakui persepsi bank sentral bagaikan menara gading muncul karena gabungan ketidakpahaman masyarakat dan sikap atau cara berkomunikasi kalangan bank sentral sendiri. Praktisi bank sentral terkesan elitis.
Darmin menulis bank sentral bahkan seringkali dicurigai memihak ke pemilik uang yang gemar bermain dan mengeruk keuntungan di pasar keuangan. Bank sentral tidak populer di mata rakyat. Bank sentral juga dicurigai tidak memihak orang kebanyakan tapi kadang terlalu mengakomodasi kepentingan asing.
"Semua ketidakmengertian berujung pada pertanyaan mendasar bank sentral diciptakan untuk siapa?" ungkap Darmin.
"Saya mungkin dianggap sebagai gubernur yang dovish (informal) yang cenderung berpihak kepada penentuan kebijakan yang berujung pada suku bunga rendah, semata untuk mengaktivasi ekonomi dalam jangka pendek".
"Pandangan itu tidak seluruhnya salah, tapi juga tidak mutlak benar. Saya berpandangan suku bunga rendah sangat penting bagi ekonomi Indonesia, tapi alatnya tidak harus melulu penurunan suku bunga kebijakan".
Menurut Darmin kebijakan bank sentral bukan terbatas pada menaikturunkan suku bunga kebijakan. Dalam kerangka pemikiran yang sama, kebijakan fiskal juga bukan semata memberikan stimulasi ekonomi. Ada ruang ketiga pada area perbaikan institusi kebijakan moneter dan fiskal yang dapat memperbaiki efektifitas kebijakan dan sekaligus efisiensi ekonomi.
Dalam banyak hal kata Darmin, kebijakan moneter di negara berkembang bahkan tidak punya 'kemewahan' untuk hanya mengatasi dirinya pada area pengaturan sisi permintaan (agregate demand management).
Darmin menegaskan, penggunaan teori atau model sebagai acuan dalam melakukan kebijakan ekonomi sangat penting. Tetapi bagaimana pun, teori dan model adalah sebuah penyederhanaan. Realitas institusi harus dilihat agar teori, strategi, model atau instrumen kebijakan itu bisa efektif.
"Saya bukan orang yang tidak percaya teori. Tapi teori bukan segalanya, kita juga harus mengandalkan pancaindra dan melihat realita," ujar Darmin.
Maka itu kata Darmin, keinginan untuk menjadikan bank sentral sebagai Menara Air (menara air artinya airnya mengalir untuk kepentingan banyak orang), bukan semata dilandasi oleh keinginan untuk menjadi populis. Keinginan itu juga bukan sekadar dilandasi pragmatisme demi melihat hal detail yang tidak bekerja.
"Saya ingin mengajak Bank Indonesia dan semua pemangku kepntingannya untuk melihat realita menggunakan pancaindra. Saya ingin mengajak mereka keluar dari zona nyaman cara berpikir simplisitis-mekanis dalam kerangka kerja kebijakan moneter yang hanya mengandalkan pola hubungan instrumen moneter dan sasaran kebijakan semata," katanya.
Menjadi Menara Air tidak harus terjebak pada kebijakan populis yang berorientasi jangka pendek. Bagi Darmin, kebijakan makro ekonomi tidak semata mengaktivasi dua ruang kebijakan moenter dan fiskal yang diarahkan untuk memperketat atau melonggarkan kegiatan ekonomi.
Ada banyak sekali kebijakan yang dapat mengarahkan perbaikan institusi ekonomi. Di situlah ada 'ruang ketiga', yakni perbaikan institusi yang dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia. (Igw)Â Â Â Â Â Â
Mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dalam bukunya 'Bank Sentral Itu Harus Membumi' seperti dikutip Kamis (20/6/2013) mengakui persepsi bank sentral bagaikan menara gading muncul karena gabungan ketidakpahaman masyarakat dan sikap atau cara berkomunikasi kalangan bank sentral sendiri. Praktisi bank sentral terkesan elitis.
Darmin menulis bank sentral bahkan seringkali dicurigai memihak ke pemilik uang yang gemar bermain dan mengeruk keuntungan di pasar keuangan. Bank sentral tidak populer di mata rakyat. Bank sentral juga dicurigai tidak memihak orang kebanyakan tapi kadang terlalu mengakomodasi kepentingan asing.
"Semua ketidakmengertian berujung pada pertanyaan mendasar bank sentral diciptakan untuk siapa?" ungkap Darmin.
"Saya mungkin dianggap sebagai gubernur yang dovish (informal) yang cenderung berpihak kepada penentuan kebijakan yang berujung pada suku bunga rendah, semata untuk mengaktivasi ekonomi dalam jangka pendek".
"Pandangan itu tidak seluruhnya salah, tapi juga tidak mutlak benar. Saya berpandangan suku bunga rendah sangat penting bagi ekonomi Indonesia, tapi alatnya tidak harus melulu penurunan suku bunga kebijakan".
Menurut Darmin kebijakan bank sentral bukan terbatas pada menaikturunkan suku bunga kebijakan. Dalam kerangka pemikiran yang sama, kebijakan fiskal juga bukan semata memberikan stimulasi ekonomi. Ada ruang ketiga pada area perbaikan institusi kebijakan moneter dan fiskal yang dapat memperbaiki efektifitas kebijakan dan sekaligus efisiensi ekonomi.
Dalam banyak hal kata Darmin, kebijakan moneter di negara berkembang bahkan tidak punya 'kemewahan' untuk hanya mengatasi dirinya pada area pengaturan sisi permintaan (agregate demand management).
Darmin menegaskan, penggunaan teori atau model sebagai acuan dalam melakukan kebijakan ekonomi sangat penting. Tetapi bagaimana pun, teori dan model adalah sebuah penyederhanaan. Realitas institusi harus dilihat agar teori, strategi, model atau instrumen kebijakan itu bisa efektif.
"Saya bukan orang yang tidak percaya teori. Tapi teori bukan segalanya, kita juga harus mengandalkan pancaindra dan melihat realita," ujar Darmin.
Maka itu kata Darmin, keinginan untuk menjadikan bank sentral sebagai Menara Air (menara air artinya airnya mengalir untuk kepentingan banyak orang), bukan semata dilandasi oleh keinginan untuk menjadi populis. Keinginan itu juga bukan sekadar dilandasi pragmatisme demi melihat hal detail yang tidak bekerja.
"Saya ingin mengajak Bank Indonesia dan semua pemangku kepntingannya untuk melihat realita menggunakan pancaindra. Saya ingin mengajak mereka keluar dari zona nyaman cara berpikir simplisitis-mekanis dalam kerangka kerja kebijakan moneter yang hanya mengandalkan pola hubungan instrumen moneter dan sasaran kebijakan semata," katanya.
Menjadi Menara Air tidak harus terjebak pada kebijakan populis yang berorientasi jangka pendek. Bagi Darmin, kebijakan makro ekonomi tidak semata mengaktivasi dua ruang kebijakan moenter dan fiskal yang diarahkan untuk memperketat atau melonggarkan kegiatan ekonomi.
Ada banyak sekali kebijakan yang dapat mengarahkan perbaikan institusi ekonomi. Di situlah ada 'ruang ketiga', yakni perbaikan institusi yang dapat meningkatkan efisiensi mesin ekonomi Indonesia. (Igw)Â Â Â Â Â Â