Menjadi seorang wirausaha tak pernah terlintas dibenak Lianna Gunawan, pemilik usaha batik La Spina. Namun kecintaannya pada sepatu dan sandal berhak (high heels) mengantarkan dirinya menjadi seorang trend setter produk alas kaki dengan motif batik sebagai ciri khas.
Bermain di Corak Batik
Melongok sekilas, corak batik memang hampir selalu melekat pada bagian produk sepatu La Spina. Adapula produksi sepatu wanita dengan motif tradisional lain, seperti ulos, tenun, songket dan sebagainya. Â
Sepatu hasil kerajinan tangan dari pengrajin ini semakin sedap dipandang melalui permainan warna kontras namun tetap mengedepankan tren atau model yang sedang berkembang saat ini.
"Saya ingin mengubah maindset wanita atau masyarakat bahwa memakai produk kerajinan tangan dengan nuansa tradisional itu bukan kuno. Saya membuat produk sepatu, tas dan lainnya yang bisa menjadi bagian dari keseharian penggunanya," ungkap Lianna saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, baru-baru ini seperti ditulis Kamis (4/7/2013).
Target Pasar
Wanita yang lahir di Kota Semarang itu membidik target pasar kaum hawa berusia antara 25-45 tahun untuk kalangan menengah ke atas. Dalam produksi, dia mengutamakan kenyamanan pada setiap produk sepatunya agar konsumen tak merasa tersiksa saat memakai sepatu batik La Spina walau berjam-jam lamanya.
"Yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor adalah kenyamanan itu sendiri. Sebab sebagai konsumen sepatu, saya pernah merasakan kurang nyaman ketika menggunakan high heels terlalu lama. Jadi memang produksi sepatu kami kerjakan sendiri," tuturnya.
Dengan bantuan 20 orang karyawan, workshop La Spina yang berada di Kota Bandung mampu memproduksi sekitar 500 pasang sepatu per bulan. Jumlah tersebut mengalami perkembangan pesat saat perusahaan ini berdiri pada tahun 2010 sebanyak 20 pasang sepatu setiap bulan.
"Kapasitas produksi sepatu sendiri bisa lebih dari 500 pasang, sedangkan untuk porsi produksi tas baru sekitar 20%-30% karena kami memang fokus pada sepatu. Setiap tiga bulan, kami mengeluarkan koleksi teranyar," jelas Lianna. Â
Sepatu motif tersebut, kata Sarjana jebolan The University of New South Wales (UNSW) di Kota Sydney Australia itu, dibanderol dengan harga mulai dari Rp 259 ribu per pasang hingga lebih dari Rp 500 ribu.
Pemasaran
Dari sisi pemasaran, La Spina bukan sekadar menjadi pemain domestik tapi juga pasar luar negeri. Tak heran bila ratusan pasang sepatu telah diekspor hingga negara Jepang, Australia dan Namibia setiap season atau musim.
"Dan akhir tahun ini, kami terpilih satu dari 12 desainer lokal dari Centre Fashion Enterprise London untuk memamerkan koleksi sepatu kerajinan tangan tersebut di Jakarta Fashion Week 2013," bangga Lianna. Â
Berawal dari Makelar Sepatu
Sebelum mengecap kesuksesan seperti sekarang, Wanita kelahiran 20 April 1978 ini adalah seorang reseller atau makelar sepatu. Pengalaman tersebut dia rasakan pada awal tahun 2010 saat masih menjalin kerjasama dengan salah satu pengrajin sepatu.
"Saat itu saya cuma iseng-iseng sebagai online reseller, di mana kalau ada orderan sepatu, saya akan kasih ke pengrajin. Tapi pengrajin itu tidak mau produksi lagi, sehingga saya mesti mencari pengrajin lain karena merasa punya tanggung jawab terhadap pesanan konsumen," urainya.
Akhirnya pada akhir 2010, Lianna banting stir memproduksi kerajinan tangan asli Indonesia, khususnya sepatu bermotif tradisional. Pemasaran pertama, dia mengaku langsung ditawari untuk membuka stand di pameran Inacraft dan tanpa disangka produksi puluhan pasang sepatunya laris manis diserbu konsumen berkat booming batik Garut kala itu.
Deg-degan Saat Launching
"Sebenarnya saya deg-degan saat launching pertama kali di tahun 2011 karena konsumen belum familiar dengan merek maupun produk sepatunya. Tapi ternyata dalam waktu 3 hari saja, saya sudah kehabisan sepatu padahal pamerannya saja berlangsung 5 hari," paparnya.
Respons positif dari masyarakat itulah yang membangkitkan kepercayaan dan optimistis Lianna untuk terus mengembangkan produk kerajinan tangan asli Indonesia serta menggeliatkan industri fashion lokal rasa internasional. (Fik/Igw)
Bermain di Corak Batik
Melongok sekilas, corak batik memang hampir selalu melekat pada bagian produk sepatu La Spina. Adapula produksi sepatu wanita dengan motif tradisional lain, seperti ulos, tenun, songket dan sebagainya. Â
Sepatu hasil kerajinan tangan dari pengrajin ini semakin sedap dipandang melalui permainan warna kontras namun tetap mengedepankan tren atau model yang sedang berkembang saat ini.
"Saya ingin mengubah maindset wanita atau masyarakat bahwa memakai produk kerajinan tangan dengan nuansa tradisional itu bukan kuno. Saya membuat produk sepatu, tas dan lainnya yang bisa menjadi bagian dari keseharian penggunanya," ungkap Lianna saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, baru-baru ini seperti ditulis Kamis (4/7/2013).
Target Pasar
Wanita yang lahir di Kota Semarang itu membidik target pasar kaum hawa berusia antara 25-45 tahun untuk kalangan menengah ke atas. Dalam produksi, dia mengutamakan kenyamanan pada setiap produk sepatunya agar konsumen tak merasa tersiksa saat memakai sepatu batik La Spina walau berjam-jam lamanya.
"Yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor adalah kenyamanan itu sendiri. Sebab sebagai konsumen sepatu, saya pernah merasakan kurang nyaman ketika menggunakan high heels terlalu lama. Jadi memang produksi sepatu kami kerjakan sendiri," tuturnya.
Dengan bantuan 20 orang karyawan, workshop La Spina yang berada di Kota Bandung mampu memproduksi sekitar 500 pasang sepatu per bulan. Jumlah tersebut mengalami perkembangan pesat saat perusahaan ini berdiri pada tahun 2010 sebanyak 20 pasang sepatu setiap bulan.
"Kapasitas produksi sepatu sendiri bisa lebih dari 500 pasang, sedangkan untuk porsi produksi tas baru sekitar 20%-30% karena kami memang fokus pada sepatu. Setiap tiga bulan, kami mengeluarkan koleksi teranyar," jelas Lianna. Â
Sepatu motif tersebut, kata Sarjana jebolan The University of New South Wales (UNSW) di Kota Sydney Australia itu, dibanderol dengan harga mulai dari Rp 259 ribu per pasang hingga lebih dari Rp 500 ribu.
Pemasaran
Dari sisi pemasaran, La Spina bukan sekadar menjadi pemain domestik tapi juga pasar luar negeri. Tak heran bila ratusan pasang sepatu telah diekspor hingga negara Jepang, Australia dan Namibia setiap season atau musim.
"Dan akhir tahun ini, kami terpilih satu dari 12 desainer lokal dari Centre Fashion Enterprise London untuk memamerkan koleksi sepatu kerajinan tangan tersebut di Jakarta Fashion Week 2013," bangga Lianna. Â
Berawal dari Makelar Sepatu
Sebelum mengecap kesuksesan seperti sekarang, Wanita kelahiran 20 April 1978 ini adalah seorang reseller atau makelar sepatu. Pengalaman tersebut dia rasakan pada awal tahun 2010 saat masih menjalin kerjasama dengan salah satu pengrajin sepatu.
"Saat itu saya cuma iseng-iseng sebagai online reseller, di mana kalau ada orderan sepatu, saya akan kasih ke pengrajin. Tapi pengrajin itu tidak mau produksi lagi, sehingga saya mesti mencari pengrajin lain karena merasa punya tanggung jawab terhadap pesanan konsumen," urainya.
Akhirnya pada akhir 2010, Lianna banting stir memproduksi kerajinan tangan asli Indonesia, khususnya sepatu bermotif tradisional. Pemasaran pertama, dia mengaku langsung ditawari untuk membuka stand di pameran Inacraft dan tanpa disangka produksi puluhan pasang sepatunya laris manis diserbu konsumen berkat booming batik Garut kala itu.
Deg-degan Saat Launching
"Sebenarnya saya deg-degan saat launching pertama kali di tahun 2011 karena konsumen belum familiar dengan merek maupun produk sepatunya. Tapi ternyata dalam waktu 3 hari saja, saya sudah kehabisan sepatu padahal pamerannya saja berlangsung 5 hari," paparnya.
Respons positif dari masyarakat itulah yang membangkitkan kepercayaan dan optimistis Lianna untuk terus mengembangkan produk kerajinan tangan asli Indonesia serta menggeliatkan industri fashion lokal rasa internasional. (Fik/Igw)