Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan kurs mata uang rupiah saat ini merupakan cerminan dari kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Namun Indonesia dianggap negara yang paling kuat mengendalikan pelemahan nilai tukar dibandingkan mitranya di kawasan Asia Tenggara.
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengatakan sepanjang kuartal II-2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi secara point to point melemah sebesar 2,09% quarter to quarter (qtq) menjadi Rp 9.925 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) menjadi Rp 9.781 per dolar AS.
"Jadi kalau sekarang itu kondisinya berada pada level Rp 9.900 sampai Rp 9.950 per dolar AS, kita anggap sudah mencerminkan fundamental," ujar Agus di Gedung BI, Jakarta, Kamis (11/7/2013)
Agus menambahkan pelemahan nilai tukar mata uang tidak hanya dialami Indonesia melainkan juga negara tetangga di kawasan ASEAN. Justru, Indonesia merupakan negara yang paling kuat mengendalikan pelemahan dibandingkan yang lainnya.
BI menilai, pemicu pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan penyesuaian kepemilikan asing di aset keuangan domestik yang dipicu sentimen terkait pengurangan stimulus moneter oleh The Fed. "Perkembangan ini mengakibatkan pelemahan rupiah sejalan dengan tren pergerakan mata uang negara-negara di kawasan Asia," tutup Agus.
Saat ini, ujar Agus, kondisi fundamental RI masih disibukkan dengan berbagai kebijakan untuk mengendalikan kenaikan harga bahan pangan (volatile food). Naiknya harga pangan mengakibatkan inflasi Juni 2013 mencapai 1,03%.
"Kenaikan inflasi tersebut dipicu kenaikan harga BBM bersubsidi yang kemudian mendorong kenaikan harga kelompok administered price dan volatile food,"ungkap Agus.
BI memperkirakan puncak tekanan inflasi pada Juli 2013 yang dilanjutkan Agustus 2013. Pergerakan inflasi diperkirakan kembali normal pada September 2013. (Yas/Shd)
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengatakan sepanjang kuartal II-2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi secara point to point melemah sebesar 2,09% quarter to quarter (qtq) menjadi Rp 9.925 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) menjadi Rp 9.781 per dolar AS.
"Jadi kalau sekarang itu kondisinya berada pada level Rp 9.900 sampai Rp 9.950 per dolar AS, kita anggap sudah mencerminkan fundamental," ujar Agus di Gedung BI, Jakarta, Kamis (11/7/2013)
Agus menambahkan pelemahan nilai tukar mata uang tidak hanya dialami Indonesia melainkan juga negara tetangga di kawasan ASEAN. Justru, Indonesia merupakan negara yang paling kuat mengendalikan pelemahan dibandingkan yang lainnya.
BI menilai, pemicu pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan penyesuaian kepemilikan asing di aset keuangan domestik yang dipicu sentimen terkait pengurangan stimulus moneter oleh The Fed. "Perkembangan ini mengakibatkan pelemahan rupiah sejalan dengan tren pergerakan mata uang negara-negara di kawasan Asia," tutup Agus.
Saat ini, ujar Agus, kondisi fundamental RI masih disibukkan dengan berbagai kebijakan untuk mengendalikan kenaikan harga bahan pangan (volatile food). Naiknya harga pangan mengakibatkan inflasi Juni 2013 mencapai 1,03%.
"Kenaikan inflasi tersebut dipicu kenaikan harga BBM bersubsidi yang kemudian mendorong kenaikan harga kelompok administered price dan volatile food,"ungkap Agus.
BI memperkirakan puncak tekanan inflasi pada Juli 2013 yang dilanjutkan Agustus 2013. Pergerakan inflasi diperkirakan kembali normal pada September 2013. (Yas/Shd)