Setelah menduga ada perusahaan pertambangan yang melakukan kecurangan pembayaran pajak, kini sektor properti pun juga menjadi incaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kismantoro Petrus mengatakan potensi kecurangan pembayaran pajak di sektor properti terlihat dari data banyaknya data yang tidak sesuai.
"Bukan tunggakan tapi potensi, yang jelas sudah diketemukan data banyak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya," kata Kismantoro saat berbincang dengan Liputan6.com, ditulis Rabu (17/7/2013).
Menurut Kismantoro, potensi kecurangan timbul karena ada dugaan biasanya para wajib pajak tersebut melaporkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) nya saja dan transaksi jauh dari aslinya.
"Biasanya dilaporkan cuma NJOP (padahal nilai transaksi asliny jauh di atas NJOP) nilai pasar pendekatan untuk menghitung PBB-nya," ungkap Kismantoro.
Ia mengungkapkan, untuk mendapat data yang akurat instasinya sedang melakukan pencarian, biasanya pencarian data paling mudah adalah melihat data utang kredit perumahan di bank.
"Paling gampang dari perbankan, seperti utang KPR. Kalau utangkan boleh diketahui," ungkapnya.
Untuk menelusuri potensi tersebut, Kismantoro menyjelaskan pihaknya belum melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pasalnya, keterlibatan PPATK hanya pada transaksi keuangan yang mencurigakan.
"PPATK itu adalah transaksi keuangan mencurigakan jadi tidak semua transaksi. Yang mencurigakan saja. Misalnya saya biasa transaksi besar ya tidak dicurigai, kalau saya transaki kecil tiba-tiba besar itu baru," jelasnya. (Pew/Ndw)
Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kismantoro Petrus mengatakan potensi kecurangan pembayaran pajak di sektor properti terlihat dari data banyaknya data yang tidak sesuai.
"Bukan tunggakan tapi potensi, yang jelas sudah diketemukan data banyak yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya," kata Kismantoro saat berbincang dengan Liputan6.com, ditulis Rabu (17/7/2013).
Menurut Kismantoro, potensi kecurangan timbul karena ada dugaan biasanya para wajib pajak tersebut melaporkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) nya saja dan transaksi jauh dari aslinya.
"Biasanya dilaporkan cuma NJOP (padahal nilai transaksi asliny jauh di atas NJOP) nilai pasar pendekatan untuk menghitung PBB-nya," ungkap Kismantoro.
Ia mengungkapkan, untuk mendapat data yang akurat instasinya sedang melakukan pencarian, biasanya pencarian data paling mudah adalah melihat data utang kredit perumahan di bank.
"Paling gampang dari perbankan, seperti utang KPR. Kalau utangkan boleh diketahui," ungkapnya.
Untuk menelusuri potensi tersebut, Kismantoro menyjelaskan pihaknya belum melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pasalnya, keterlibatan PPATK hanya pada transaksi keuangan yang mencurigakan.
"PPATK itu adalah transaksi keuangan mencurigakan jadi tidak semua transaksi. Yang mencurigakan saja. Misalnya saya biasa transaksi besar ya tidak dicurigai, kalau saya transaki kecil tiba-tiba besar itu baru," jelasnya. (Pew/Ndw)