Momen puasa dan lebaran selalu menjadi berkah tersendiri bagi para produsen busana muslim. Omzet pelaku usaha di bisnis ini pun mengalir deras karena kebanjiran pesanan, penjualan grosir maupun ritel (eceran) busana muslim.
Salah satu pengusaha busana muslim yang berhasil mengecap kesuksesan dari bisnis tersebut adalah Noviartis Norman. Membawa merek dagang Nesty Collection, wanita berdarah Minang ini menapaki karir dari seorang pedagang bahan pakaian (kain meteran) di Pasar Tanah Abang pada 1988.
Kala itu, Novi begitu dia kerap disapa, menempati sebuah toko kecil berukuran 2x2 meter dengan bermodal sewa sebesar Rp 5,5 juta per tahun. Sementara modal bahan pakaian yang dijual merupakan hasil bantuan dari sang kakak. Berbekal kepercayaan dari banyak pihak, termasuk konsumen, dia mulai mengembangkan bisnis busana muslim secara perlahan.
"Waktu itu kondisi Pasar Tanah Abang yang masih kuno tidak memungkinkan saya untuk menjual pakaian jadi dengan kualitas bagus. Sehingga keinginan tersebut saya pendam," tutur Wanita berjilbab yang pernah mengenyam sekolah menjahit dan desain di Bunka selama satu tahun itu kepada Liputan6.com, Jakarta, baru-baru ini seperti ditulis Senin (22/7/2013).
Jalan Novi untuk menggapai kesuksesan di Ibukota kian terbuka lebar karena pusat grosir terbesar dan terlengkap di Asia Tenggara itu mulai direnovasi hingga saat ini terlihat seperti pusat perbelanjaan modern.
Tepatnya 7 tahun lalu, saat Pasar Tanah Abang mulai berganti 'penampilan', pemilik merek dagang Alisya Collection itu akhirnya kembali memupuk mimpinya untuk memproduksi dan menjual pakaian jadi.
"Akhirnya saya realisasikan dengan mulai satu toko dulu dan 10 tukang jahit. Ternyata produksi busana muslim saya mendapat sambutan positif dari pembeli. Dan dari situ, usaha ini berkembang sampai sekarang sudah lumayan," tambah dia.
'Naik Daun'
Novi mencoba mengingat kisahnya, bahwa dia kali pertama memproduksi satu model busana muslim sebanyak lima kodi sekitar tahun 2006. Namun kini dengan bantuan sekitar 135 karyawan, konveksi miliknya yang berlokasi di Tanjung Barat, Jagakarsa tersebut mampu memproduksi sekitar 400-500 potong busana muslim setiap harinya.
Dalam berbisnis, wanita paruh baya kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini mengutamakan kualitas produk ketimbang marjin besar. Dia mengaku, pihaknya menggunakan bahan pakaian yang nyaman dengan kualitas di atas produksi pedagang lain.
"Produksi saya ada yang pakai bahan di atas dari pedagang lain atau ada juga yang sama kualitasnya. Ditambah menggunakan payet yang tidak mudah luntur dan pemakaian kain sifon yang nyaman bagi seluruh pelanggan, termasuk butik-butik, toko dan sebagainya," jelas Novi.
Tak heran bila alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 Pekanbaru ini membandrol produk busana muslimnya dengan harga sedikit lebih mahal. Blouse muslim misalnya, per potong dihargai sebesar Rp 150 ribu atau Rp 3 juta per kodi. Sedangkan harga kaftan muslim berkisar antara Rp 200 ribu sampai Rp 450 ribu per potong di Pasar Tanah Abang.
"Tapi ada juga yang pesan busana muslim khusus dan harganya paling mahal Rp 650 ribu per potong. Kalau harganya mahal, boleh pesan 50 potong dan ada jumlah pembelian minimum untuk harga Rp 200 ribu," tutur dia.
Harga yang dibarengi dengan kualitas tak menyurutkan minat pelanggan untuk memborong produksi busana muslim Nesty dan Alisya Collection. Apalagi didukung permintaan pasar yang cukup tinggi mendorong bisnis busana muslim semakin tumbuh subur.
Kini, Novi mampu menerima pesanan busana muslim sampai ribuan potong dengan masa order Desember-Februari. Dan penjualan bakal melonjak tiga kali lipat dari hari-hari biasa pada saat sebulan menjelang puasa dan memasuki Ramadhan.
"Saya terima order dari Desember sampai bukan kedua saja. Bulan ketiganya harus mulai produksi untuk menggarap pesanan dan toko ritel. Jadi paling orderan dari grosir dan toko itu biasanya 1.000-2.000 potong," imbuhnya.
Jumlah tersebut merupakan kemampuan dari kapasitas produksi di konveksinya, mengingat untuk menggarap satu busana memerlukan proses sebanyak 4 kali, mulai dari mencari model (desain), pemotongan di Jakarta, pembordiran di Tasikmalaya, dan kemudian dilempar kembali ke Jakarta untuk pemasangan payet dengan memberdayakan masyarakat sekitar.
"Mau pasang payet satu potong baju butuh tenaga kerja satu orang, tukang sulam juga begitu. Tukang jahit sendiri ada 80-90 karyawan. Proses pengerjaan menjahit satu baju butuh waktu 2 jam, pasang payet dan sulang satu hari untuk satu baju," tukas dia.
Saat ini, dia menyebut, telah memiliki enam toko busana di Pasar Tanah Abang, tiga toko di Pasar Cempaka Mas, Thamrin City sebanyak dua toko, Poins Square, dan Plaza Semanggi.
Toko ritel tersebut selama ini menjadi ladang pendapatan bagi Novi. Pelanggan cukup datang ke toko atau telepon untuk memesan busana muslim. Saking terkenalnya, Wanita bersahaja ini tak perlu menggunakan jejaring sosial sebagai salah satu channel pemasaran maupun promosi.
Jika dihitung, Istri dari Norman tersebut bisa mengantongi omzet hingga miliaran rupiah per tahun dengan masa puncak satu bulan menjelang Ramadhan.
Ekspor ke Negara Tetangga
Selain laris manis di dalam negeri, produksi busana muslim Ibu dari tiga orang anak tersebut banyak diserbu warga Malaysia dan Singapura. Bahkan produknya lebih dulu membanjiri kedua negara tersebut saat Novi masih menjual kain meteran.
Untuk pasar ekspor, dia memproduksi berbagai model baju kurung sulam, payet dan kebaya mulai dari umur satu tahun sampai segmen yang memiliki postur tubuh subur. Sehingga total ukuran yang ditawarkan sebanyak 15 size.
"Saya juga membatasi orderan ekspor sekitar 10 ribu-12 ribu potong setiap kali pesan. Karena semua dikerjakan dengan tangan, saya tidak bisa menerima banyak permintaan dari luar khawatir tidak bisa dikerjakan. Kalau tidak terjual, baju kurung tidak bisa dijual di Indonesia sebab modelnya berbeda," jelas dia yang pernah mengikuti pameran busana muslim di Paris dan Belanda itu.
Jatuh Bangun
Dalam berbisnis, jalan tidak selalu mulus. Novi pun pernah mengalami jatuh bangun dalam merintis usaha busana muslim. Konveksinya sempat kolaps saat produk busana China meringsek masuk ke Malaysia serta Singapura.
Saat itu, pelanggan Novi dari 2 negara tujuan ekspor tersebut berpaling membeli produk China. Pesanan yang biasanya ramai mendadak sepi, bahkan hilang sehingga tak ada pemasukan untuk menyambung napas produksinya.
"Akhirnya mesin-mesin produksi mati semua tidak terpakai, dan konveksi mati. Tapi setelah pelanggan mulai tahu kualitas produk China yang masih lebih rendah dibandingkan Indonesia, mereka balik lagi memesan busana muslim ke kami," papar dia.
Hal ini juga diakui oleh Dudun, tukang potong di konveksi Nesty Collection. Dia menjadi saksi hidup dari perjalanan panjang bisnis Novi sejak 20 tahun lalu.
"Walaupun saat itu sepi pesanan dari Malaysia, saya tetap bertahan menunggu dan bekerja di sini sampai akhirnya mesin-mesin yang baru datang dan pesanan dari luar negeri balik lagi," sambungnya.
'Kehancuran' pun sempat dirasakannya sewaktu perpindahan toko dari Blok A ke Blok belakang Pasar Tanah Abang yang membuat kondisi berubah, karena sepi pembeli sehingga banyak pedagang menderita kerugian. Kala itu, Tanah Abang sedang berbenah diri selama 2 tahun.
Novi menguraikan, permasalahan lain yang selama ini menjadi kendala bagi Usaha Kecil dan Menengah, yaitu persoalan modal. Pasalnya, pelanggan hanya memberikan uang muka alias DP sekitar 20% dari total nilai pesanan pada periode Desember-Februari.
Sedangkan sisanya akan dilunasi saat mengambil pesanan sekitar satu bulan sebelum puasa. "Saya kan produksi jauh-jauh hari, lalu disimpan dan dijualnya saat menjelang puasa, jadi saya harus pinjam kredit untuk biaya produksi. Bersyukur, sekarang ini tidak sulit pinjam uang di bank, malah banyak ditawari. Tapi kalau dulu pas baru merintis susah sekali," keluh penggemar olahraga tenis ini.
Strategi Libas Persaingan
Menjamurnya pelaku bisnis serupa tak menggentarkan langkah Ibu dari Nesty, Aditya dan Alisya tersebut untuk mundur dari usaha busana muslim. Dia yakin, berbekal kejujuran, inovasi dan menjaga kualitas produk, sebuah bisnis akan berumur panjang.
Pantaslah bila Novi terus mengeksplor kemampuannya dalam mendesain busana muslim dengan merilis minimal empat model teranyar setiap bulan.
"Minimal satu minggu satu model atau empat model terbaru selama sebulan. Pokoknya jangan sampai ketinggalan model dengan pengusaha busana yang lain, sebab pelanggan di daerah selalu menanyakan hal tersebut ketika memesan," tandas pemilik moto 'Sukses Didukung dengan Kejujuran dan Kerja Keras' itu.
Setiap model terbaru, dia menjajal produksi tahap pertama sebanyak 1.000 potong. Jika respons dari pelanggan positif, maka produksi akan ditambah sesuai permintaan.
Dari sisi prospek busana muslim, Novi optimistis, Indonesia bisa mempertahankan posisinya sebagai salah satu kiblat busana muslim di dunia, mengingat produk tanah air memiliki ragam pilihan menarik yang tak hanya menyasar segmen masyarakat muslim tapi juga non muslim.
"Saya tidak khawatir dengan produk China, dan mewaspadai produk Vietnam di Malaysia yang sudah mulai bagus, karena payet-payet di busananya hampir sama dengan Indonesia. Sedangkan dari sisi harga sedikit di bawah Indonesia. Tapi saya yakin produk dalam negeri lebih bagus," pungkas dia mengakhiri perbincangan. (Fik/Nur)
Salah satu pengusaha busana muslim yang berhasil mengecap kesuksesan dari bisnis tersebut adalah Noviartis Norman. Membawa merek dagang Nesty Collection, wanita berdarah Minang ini menapaki karir dari seorang pedagang bahan pakaian (kain meteran) di Pasar Tanah Abang pada 1988.
Kala itu, Novi begitu dia kerap disapa, menempati sebuah toko kecil berukuran 2x2 meter dengan bermodal sewa sebesar Rp 5,5 juta per tahun. Sementara modal bahan pakaian yang dijual merupakan hasil bantuan dari sang kakak. Berbekal kepercayaan dari banyak pihak, termasuk konsumen, dia mulai mengembangkan bisnis busana muslim secara perlahan.
"Waktu itu kondisi Pasar Tanah Abang yang masih kuno tidak memungkinkan saya untuk menjual pakaian jadi dengan kualitas bagus. Sehingga keinginan tersebut saya pendam," tutur Wanita berjilbab yang pernah mengenyam sekolah menjahit dan desain di Bunka selama satu tahun itu kepada Liputan6.com, Jakarta, baru-baru ini seperti ditulis Senin (22/7/2013).
Jalan Novi untuk menggapai kesuksesan di Ibukota kian terbuka lebar karena pusat grosir terbesar dan terlengkap di Asia Tenggara itu mulai direnovasi hingga saat ini terlihat seperti pusat perbelanjaan modern.
Tepatnya 7 tahun lalu, saat Pasar Tanah Abang mulai berganti 'penampilan', pemilik merek dagang Alisya Collection itu akhirnya kembali memupuk mimpinya untuk memproduksi dan menjual pakaian jadi.
"Akhirnya saya realisasikan dengan mulai satu toko dulu dan 10 tukang jahit. Ternyata produksi busana muslim saya mendapat sambutan positif dari pembeli. Dan dari situ, usaha ini berkembang sampai sekarang sudah lumayan," tambah dia.
'Naik Daun'
Novi mencoba mengingat kisahnya, bahwa dia kali pertama memproduksi satu model busana muslim sebanyak lima kodi sekitar tahun 2006. Namun kini dengan bantuan sekitar 135 karyawan, konveksi miliknya yang berlokasi di Tanjung Barat, Jagakarsa tersebut mampu memproduksi sekitar 400-500 potong busana muslim setiap harinya.
Dalam berbisnis, wanita paruh baya kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini mengutamakan kualitas produk ketimbang marjin besar. Dia mengaku, pihaknya menggunakan bahan pakaian yang nyaman dengan kualitas di atas produksi pedagang lain.
"Produksi saya ada yang pakai bahan di atas dari pedagang lain atau ada juga yang sama kualitasnya. Ditambah menggunakan payet yang tidak mudah luntur dan pemakaian kain sifon yang nyaman bagi seluruh pelanggan, termasuk butik-butik, toko dan sebagainya," jelas Novi.
Tak heran bila alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 Pekanbaru ini membandrol produk busana muslimnya dengan harga sedikit lebih mahal. Blouse muslim misalnya, per potong dihargai sebesar Rp 150 ribu atau Rp 3 juta per kodi. Sedangkan harga kaftan muslim berkisar antara Rp 200 ribu sampai Rp 450 ribu per potong di Pasar Tanah Abang.
"Tapi ada juga yang pesan busana muslim khusus dan harganya paling mahal Rp 650 ribu per potong. Kalau harganya mahal, boleh pesan 50 potong dan ada jumlah pembelian minimum untuk harga Rp 200 ribu," tutur dia.
Harga yang dibarengi dengan kualitas tak menyurutkan minat pelanggan untuk memborong produksi busana muslim Nesty dan Alisya Collection. Apalagi didukung permintaan pasar yang cukup tinggi mendorong bisnis busana muslim semakin tumbuh subur.
Kini, Novi mampu menerima pesanan busana muslim sampai ribuan potong dengan masa order Desember-Februari. Dan penjualan bakal melonjak tiga kali lipat dari hari-hari biasa pada saat sebulan menjelang puasa dan memasuki Ramadhan.
"Saya terima order dari Desember sampai bukan kedua saja. Bulan ketiganya harus mulai produksi untuk menggarap pesanan dan toko ritel. Jadi paling orderan dari grosir dan toko itu biasanya 1.000-2.000 potong," imbuhnya.
Jumlah tersebut merupakan kemampuan dari kapasitas produksi di konveksinya, mengingat untuk menggarap satu busana memerlukan proses sebanyak 4 kali, mulai dari mencari model (desain), pemotongan di Jakarta, pembordiran di Tasikmalaya, dan kemudian dilempar kembali ke Jakarta untuk pemasangan payet dengan memberdayakan masyarakat sekitar.
"Mau pasang payet satu potong baju butuh tenaga kerja satu orang, tukang sulam juga begitu. Tukang jahit sendiri ada 80-90 karyawan. Proses pengerjaan menjahit satu baju butuh waktu 2 jam, pasang payet dan sulang satu hari untuk satu baju," tukas dia.
Saat ini, dia menyebut, telah memiliki enam toko busana di Pasar Tanah Abang, tiga toko di Pasar Cempaka Mas, Thamrin City sebanyak dua toko, Poins Square, dan Plaza Semanggi.
Toko ritel tersebut selama ini menjadi ladang pendapatan bagi Novi. Pelanggan cukup datang ke toko atau telepon untuk memesan busana muslim. Saking terkenalnya, Wanita bersahaja ini tak perlu menggunakan jejaring sosial sebagai salah satu channel pemasaran maupun promosi.
Jika dihitung, Istri dari Norman tersebut bisa mengantongi omzet hingga miliaran rupiah per tahun dengan masa puncak satu bulan menjelang Ramadhan.
Ekspor ke Negara Tetangga
Selain laris manis di dalam negeri, produksi busana muslim Ibu dari tiga orang anak tersebut banyak diserbu warga Malaysia dan Singapura. Bahkan produknya lebih dulu membanjiri kedua negara tersebut saat Novi masih menjual kain meteran.
Untuk pasar ekspor, dia memproduksi berbagai model baju kurung sulam, payet dan kebaya mulai dari umur satu tahun sampai segmen yang memiliki postur tubuh subur. Sehingga total ukuran yang ditawarkan sebanyak 15 size.
"Saya juga membatasi orderan ekspor sekitar 10 ribu-12 ribu potong setiap kali pesan. Karena semua dikerjakan dengan tangan, saya tidak bisa menerima banyak permintaan dari luar khawatir tidak bisa dikerjakan. Kalau tidak terjual, baju kurung tidak bisa dijual di Indonesia sebab modelnya berbeda," jelas dia yang pernah mengikuti pameran busana muslim di Paris dan Belanda itu.
Jatuh Bangun
Dalam berbisnis, jalan tidak selalu mulus. Novi pun pernah mengalami jatuh bangun dalam merintis usaha busana muslim. Konveksinya sempat kolaps saat produk busana China meringsek masuk ke Malaysia serta Singapura.
Saat itu, pelanggan Novi dari 2 negara tujuan ekspor tersebut berpaling membeli produk China. Pesanan yang biasanya ramai mendadak sepi, bahkan hilang sehingga tak ada pemasukan untuk menyambung napas produksinya.
"Akhirnya mesin-mesin produksi mati semua tidak terpakai, dan konveksi mati. Tapi setelah pelanggan mulai tahu kualitas produk China yang masih lebih rendah dibandingkan Indonesia, mereka balik lagi memesan busana muslim ke kami," papar dia.
Hal ini juga diakui oleh Dudun, tukang potong di konveksi Nesty Collection. Dia menjadi saksi hidup dari perjalanan panjang bisnis Novi sejak 20 tahun lalu.
"Walaupun saat itu sepi pesanan dari Malaysia, saya tetap bertahan menunggu dan bekerja di sini sampai akhirnya mesin-mesin yang baru datang dan pesanan dari luar negeri balik lagi," sambungnya.
'Kehancuran' pun sempat dirasakannya sewaktu perpindahan toko dari Blok A ke Blok belakang Pasar Tanah Abang yang membuat kondisi berubah, karena sepi pembeli sehingga banyak pedagang menderita kerugian. Kala itu, Tanah Abang sedang berbenah diri selama 2 tahun.
Novi menguraikan, permasalahan lain yang selama ini menjadi kendala bagi Usaha Kecil dan Menengah, yaitu persoalan modal. Pasalnya, pelanggan hanya memberikan uang muka alias DP sekitar 20% dari total nilai pesanan pada periode Desember-Februari.
Sedangkan sisanya akan dilunasi saat mengambil pesanan sekitar satu bulan sebelum puasa. "Saya kan produksi jauh-jauh hari, lalu disimpan dan dijualnya saat menjelang puasa, jadi saya harus pinjam kredit untuk biaya produksi. Bersyukur, sekarang ini tidak sulit pinjam uang di bank, malah banyak ditawari. Tapi kalau dulu pas baru merintis susah sekali," keluh penggemar olahraga tenis ini.
Strategi Libas Persaingan
Menjamurnya pelaku bisnis serupa tak menggentarkan langkah Ibu dari Nesty, Aditya dan Alisya tersebut untuk mundur dari usaha busana muslim. Dia yakin, berbekal kejujuran, inovasi dan menjaga kualitas produk, sebuah bisnis akan berumur panjang.
Pantaslah bila Novi terus mengeksplor kemampuannya dalam mendesain busana muslim dengan merilis minimal empat model teranyar setiap bulan.
"Minimal satu minggu satu model atau empat model terbaru selama sebulan. Pokoknya jangan sampai ketinggalan model dengan pengusaha busana yang lain, sebab pelanggan di daerah selalu menanyakan hal tersebut ketika memesan," tandas pemilik moto 'Sukses Didukung dengan Kejujuran dan Kerja Keras' itu.
Setiap model terbaru, dia menjajal produksi tahap pertama sebanyak 1.000 potong. Jika respons dari pelanggan positif, maka produksi akan ditambah sesuai permintaan.
Dari sisi prospek busana muslim, Novi optimistis, Indonesia bisa mempertahankan posisinya sebagai salah satu kiblat busana muslim di dunia, mengingat produk tanah air memiliki ragam pilihan menarik yang tak hanya menyasar segmen masyarakat muslim tapi juga non muslim.
"Saya tidak khawatir dengan produk China, dan mewaspadai produk Vietnam di Malaysia yang sudah mulai bagus, karena payet-payet di busananya hampir sama dengan Indonesia. Sedangkan dari sisi harga sedikit di bawah Indonesia. Tapi saya yakin produk dalam negeri lebih bagus," pungkas dia mengakhiri perbincangan. (Fik/Nur)