Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto, menyatakan proses pembangunan komplek industri di wilayah Bintuni, Papua Barat, kemungkinan baru bisa dimulai pada tahun depan. Target itupun baru terwujud jika sudah adalah kepastian alokasi gas dalam waktu dekat.
"Tim yang meneliti soal ketersediaan gas diwilayah tersebut, yaitu dari Kementerian ESDM dan SKK Migas, bilang kalau gas diwilayah sana ada, bahkan cenderung banyak, tinggal berapa nanti gas yang akan dialokasikan, ini akan masuk tahap selanjutnya," ujarnya di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2013).
Dalam kawasan industri ini, pembangunan tahap pertama akan diprioritaskan pada komplek industri petrokimia seperti industri pupuk yaitu amonia dan urea, industri petrokimia yaitu industri methanol, polypropylene, polyethylene. Di kawasan ini juga akan dibangun perkebunan yang akan berkaitan dengan industri oleochemical nantinya.
Alokasi gas yang dibutuhkan untuk masing-masing industri ini sendiri diperkirakan mencapai 180 MMSCFD yang akan diambil dari wilayah sekitar.
"Dimulainya akan tergantung pada kepastian alokasi gas, tetapi bila bisa dipastikan akhir tahun ini, dan pembangunan memakan waktu 3-4 tahun karena dimulai dari nol, jadi bisa dimulai pada sekitar 2017 atau 2018. Kalau ditambah Oleochemical, nanti harus di studi lagi, seperti pencarian lahan karena kan berasal dari kelapa sawit," katanya.
Menurut Panggah, investor telah yang tertarik untuk pembanguan kawasan ini antara lain PT Pupuk Indonesia, PT Chandra Asri, PT Ferrostaal Indonesia dan juga ada investor asal Korea Selatan dan Jepang dengan nilai investasi sebesar US$ 1,8 miliar untuk masing-masing.
"Itu masing-masing industri pupuk dan petrokimia, jadi kurang lebih US$ 3,6 miliar hingga US$ 4 miliar untuk tahap pertama. Ini kan nanti akan dikembangkan produk-produk lain. Tapi sekarang belum apa-apa karena masih banyak yang harus diperhitungkan, seperti harga alokasi gas yang menentukan visibilitinya dan lain-lain," tandasnya. (Dny/Shd)
"Tim yang meneliti soal ketersediaan gas diwilayah tersebut, yaitu dari Kementerian ESDM dan SKK Migas, bilang kalau gas diwilayah sana ada, bahkan cenderung banyak, tinggal berapa nanti gas yang akan dialokasikan, ini akan masuk tahap selanjutnya," ujarnya di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2013).
Dalam kawasan industri ini, pembangunan tahap pertama akan diprioritaskan pada komplek industri petrokimia seperti industri pupuk yaitu amonia dan urea, industri petrokimia yaitu industri methanol, polypropylene, polyethylene. Di kawasan ini juga akan dibangun perkebunan yang akan berkaitan dengan industri oleochemical nantinya.
Alokasi gas yang dibutuhkan untuk masing-masing industri ini sendiri diperkirakan mencapai 180 MMSCFD yang akan diambil dari wilayah sekitar.
"Dimulainya akan tergantung pada kepastian alokasi gas, tetapi bila bisa dipastikan akhir tahun ini, dan pembangunan memakan waktu 3-4 tahun karena dimulai dari nol, jadi bisa dimulai pada sekitar 2017 atau 2018. Kalau ditambah Oleochemical, nanti harus di studi lagi, seperti pencarian lahan karena kan berasal dari kelapa sawit," katanya.
Menurut Panggah, investor telah yang tertarik untuk pembanguan kawasan ini antara lain PT Pupuk Indonesia, PT Chandra Asri, PT Ferrostaal Indonesia dan juga ada investor asal Korea Selatan dan Jepang dengan nilai investasi sebesar US$ 1,8 miliar untuk masing-masing.
"Itu masing-masing industri pupuk dan petrokimia, jadi kurang lebih US$ 3,6 miliar hingga US$ 4 miliar untuk tahap pertama. Ini kan nanti akan dikembangkan produk-produk lain. Tapi sekarang belum apa-apa karena masih banyak yang harus diperhitungkan, seperti harga alokasi gas yang menentukan visibilitinya dan lain-lain," tandasnya. (Dny/Shd)