Sukses

Kisah Porter Tanah Abang, Berebut Rp 10 Ribu dari Karung 100 Kg

Ketika truk berhenti di depan pintu masuk, para porter itu lari tunggang langgan mengejar tumpukan karung yang diharapkan jadi uang.

Lalu lalang kuli angkut, biasa disebut porter, jelang Lebaran telah menjadi pemandangan lazim bagi masyarakat yang berkunjung di pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Beban pikulan berupa karung berisi pakaian seolah menjadi gambaran besarnya tenaga yang harus dikeluarkan untuk lembaran rupiah yang diterima.

Namun ternyata beban karung yang dipikul para porter tersebut tak sebanding dengan bayaran yang diterimanya.

Pantauan Liputan6.com di Pasar Tanah Abang Blok A, disuguhi pemandangan deretan porter yang berjejer rapi sambil menunggu barang yang datang dari sebuah truk. Ketika truk berhenti tepat di depan pintu masuk, para Porter tersebut langsung beraksi, berebut untuk bisa memanggul karung berisi pakaian ke toko tujuan.

Syakun (47), Salah satu Porter di Blok A, mengisahkan dirinya mampu mengangkut karung sampai 10 kali bolak balik jika pusat grosir di ibukota itu sedang ramai pengunjung. Jumlah itu belum ditambah tugas utamanya mengangkut barang atas perintah beberapa toko yang menggunakan jasa Pria asal Tangerang itu.

"Bulan Juni kemarin ramai sekali sampai 10 kali bolak balik. Tapi saat ini lagi sepi karena toko sedang tidak ada orderan, dan pelanggan saya juga tidak berbelanja di sini. Jadi dari pagi sampai sore ini belum angkut satupun," tutur dia bercerita kepada Liputan6.com di pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (24/7/2013).

Tak adanya barang yang diangkut kerap dirasakan para porter ketika pengunjung pasar Tanah Abang tak sebanyak akhir pekan maupun menjelang bulan puasa. Maklum jumlah Porter yang mengais rezeki di pasar ini mencapai ratusan orang, sehingga Porter harus adu cepat dan jeli dalam melihat peluang kedatangan barang.

"Porter di Tanah Abang bisa mencapai ratusan orang. Satu mandor saja membawahi sekitar 200 porter dan total ada 5 mandor, jadi harus berebut kalau mau dapat uang," imbuhnya.

Syakun dan kawan-kawannya, harus mencari sumber pemasukan lain dengan menerima jasa angkut barang dari pembeli eceran. Sebab pelanggan eceran justru berani memberi bayaran lebih untuk satu kali angkut.

"Kalau dari toko, tempat saya bekerja cuma Rp 10 ribu per satu kali angkut dengan berat rata-rata 50-100 kilogram. Sedangkan dari pembeli eceran, ada yang kasih Rp 20-30 ribu. Bahkan pembeli dari luar negeri bisa kasih bayaran sampai Rp 100 ribu sekali angkut," jelasnya.

Sayangnya, dia bilang, jarang bisa mengantongi penghasilan di atas Rp 250 ribu per hari. Syakun justru kerap merasakan tak membawa uang sepeser pun ke rumah.

"Kalau lagi ramai bisa dapat penghasilan Rp 250 ribu per hari. Tapi kalau sepi ya tidak angkut barang, dan akhirnya tidak dapat uang buat makan. Solusinya pinjam dulu ke teman," tukas Bapak dari 4 orang anak itu.

Beban hidup Syakun semakin bertambah karena dirinya juga wajib menyetor uang sebesar Rp 3.000 kepada mandor setiap hari. Sang atasan, tak peduli apakah Syakun hari ini memperoleh penghasilan atau tidak, tapi kewajiban setoran harus dibayarkan.

"Mau bagaimana lagi, pendidikan saya rendah sehingga saya hanya bisa bekerja jadi Porter. Mau usaha juga tidak punya modal," keluh Pria yang sudah bekerja sebagai Porter selama 5 tahun ini.

Syakun berharap, toko yang mempekerjakannya dapat memberikan upah layak bagi dia dan Porter lain sebesar Rp 30 ribu per satu kali angkut.

"Idealnya Rp 30 ribu, karena sekarang ini harga bahan pokok naik, untuk makan dan naik angkutan tidak cukup dengan uang Rp 10 ribu," harap dia yang tinggal di wilayah Teluk Gong, Jakarta Utara itu mengakhiri perbincangan.(Fik/Shd)