Sukses

[VIDEO 1] Wawancara Khusus Dirut PLN: Ruwetnya Urusi Listrik RI

Melistriki negara kepulauan seperti Indonesia tidaklah mudah. Bos PLN Nur Pamudji terus putar otak agar semua penduduk bisa nikmati listrik

Melistriki negara kepulauan seperti Indonesia tidaklah mudah. Bos PT PLN (Persero)  Nur Pamudji terus memutar otak agar seluruh penduduk Indonesia dari yang tinggal di kota besar hingga di wilayah terpencil dan daerah perbatasan dapat menikmati listrik.

Diakui Pria kelahiran Malang, 2 Agustus 1961 ini, konsumsi kebutuhan listrik penduduk Indonesia memang cukup tinggi. Dalam 6 bulan pertama 2013 pemakaian listrik tercatat naik 7,2%, atau tumbuh dua kali lipat dari negeri tetangga Malaysia sebesar 3,5%.

Tingginya peningkatan konsumsi listrik tersebut menandakan ekonomi Indonesia terus tumbuh. Namun, tentu saja hal itu harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur kelistrikan yang memadai agar seluruh kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi.

Ternyata membangun pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi listrik tidaklah murah. PLN dihadapkan masalah kurangnya pendanaan. Menurut pria yang menjabat sebagai Dirut PLN sejak 1 November 2011 tersebut, kas internal perseroan tentu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi yang untuk tahun ini saja bisa menelan Rp 60 triliun.

Mau tidak mau, opsi berutang pun diambil. Namun, tak sampai di situ. Ketika uang sudah tersedia, PLN masih harus menghadapi rentetan permasalahan lainnya agar bisa menyalurkan listrik ke masyarakat. Apa saja masalah itu ditemui?

Ditemui Nurseffi Dwi Wahyuni dari Liputan6.com di kediamannya, Jalan Gedung Raya, Jakarta, Direktur Utama PLN Nur Pamudji akan memaparkan semua kendala dan solusi kelistrikan di Tanah Air.

Berikut hasil petikan wawancara seperti ditulis, Rabu (31/7/2013):

Berdasarkan pengalaman memimpin PLN, apa Anda petakan masalah-masalah apa saja yang dihadapi PLN?

Sebenarnya sejak saya menjadi direksi PLN sudah memetakannya bersama tim direksi. Sejak 2009, kami sudah melihat apa persoalan  mendasar di PLN.

Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik di Indonesia itu tinggi. Jadi realisasi pada 2012, tumbuh sekitar 10% dan pada semester I 2013, konsumsi listrik nasional naik 7,2%. Kalau dibandingkan negara lain seperti Malaysia, pertumbuhan listrik kita lebih tinggi dua kali lipat.
Di Malaysia, kebutuhan listriknya tumbuh 3,5% per tahun.

Dengan pertumbuhan tinggi, maka akhirnya kebutuhan menambah kapasitas pembangkit, transmisi, distribusi, serta fasilitas-fasilitas produksi itu juga tinggi. Konsekuensinya kita harus investasi terus.

Sumber investasi ini ada dua yaitu ekuiti (kas internal perusahaan) dan pinjaman. Semua terletak seberapa kuat kita untuk menambah ekuiti dan pinjaman untuk tutupi pertumbuhan itu.

Kalau perusahaan swasta mau tambah kapasitas, itu kan mereka (swasta) bisa menerbitkan saham baru melalui IPO (initial public offering/penawaran saham perdana), atau bisa juga meminta tambahan ekuiti dari pemegang saham dengan menerbitkan saham baru.

PLN tidak bisa seperti itu. Ekuiti PLN itu berasal dari laba yang ditahan yang dialihkan untuk ekuiti dan digunakan PLN untuk membiayai investasi. Labanya juga relatif tidak besar, meski ada.  Untuk itu, sebagian besar pendanaan investasi ini berasal dari pinjaman.

Memang dengan pertumbuhan 7,2%, berapa kapasitas pembangkit yang harus dibangun?

Dengan pertumbuhan kebutuhan listrik 7%-10% per tahun, setidaknya Indonesia butuh pembangkit baru dengan kapasitas 4.000-5.000 megawatt (MW).

Kalau ditransmisi harus lebih besar, itu harusnya dua kali lipat yaitu sekitar 10 ribu mega voltampere (MVA) per tahun, sementara di distribusi itu harus tambah kapasitas 15 ribu MVA per tahun.

Kalau dipenuhi itu sangat besar, dan kita tidak bisa penuhi semuanya itu. Yang bisa dilakukan PLN adalah berinvestasi sesuai dengan kemampuan PLN berinvestasi.

Dari kebutuhan 4.000-5.000 MW, kira-kira berapa persen yang bisa dipenuhi?

Tidak bisa 100% setiap tahun. Tapi dalam jangka panjang misalnya lima tahun, itu bisa 80%-90% dari total kebutuhan selama lima tahun (20 ribu-25 ribu MW-red). Jadi pertumbuhannya tidak merata setiap tahun. Pada tahun tertentu kecil, tahun berikutnya bisa besar.

Selain dana, apa ada kendala lain?

Iya betul. Jadi walaupun kita punya uang untuk investasi, tantangan berikutnya adalah kecepataan kita lakukan eksekusi. Meski punya uang, apakah bisa kita delivered menghasilkan tambahan kapasitas 4.000-5.000 MW?

Ada banyak hal yang yang sebabkan eksekusi menjadi lambat. Misalnya tanah, ini memang tanah sangat dominan dan sudah menjadi fenomena umum.

Menurut saya, kalau ekonomi Indonesia mau lari kencang, persoalan tanah ini harus ada revolusi. Saya sebutnya begitu. Harus ada cara baru yang cerdas dan cepat untuk sediakan tanah dalam jumlah besar.

Penyediaan tanah itu bukan terpotong-potong, kalau mau aman harus bisa terkonsolidasi di satu tempat. Misalnya, disediakan satu lahan luas di satu tempat untuk membangun pembangkit, kawasan industri, perumahan karyawan, tempat rekreasi karyawan dalam satu blok. Saya yakin bisa  mempermudah untuk membangun infrastruktur dan kegiatan ekonomi.

Masalah kedua, persoalan perizinan. Setiap izin itu butuh waktu yang panjang seperti  izin lokasi atau penetapan lokasi untuk sarana lokasi.

Tapi sebelum itu, ada lagi masalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang itu juga harus diurus dulu. Banyak RTRW yang ditetapkan pemerintah daerah tidak memperhitungkan adanya kebutuhan infrastruktur besar.

Sering kali kami mau bangun pembangkit, ternyata RTRW-nya tidak mendukung. Lalu kami ajukan perubahan RTRW, tapi itu kan memakan waktu dan ribet.

Setelah RTRW beres, baru izin lokasi dan penetapan lokasi, kemudian Amdal, lalu izin mendirikan bangunan. Jika pembangkit itu dibangun kontraktor listrik swasta (IPP) itu harus ada Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) dan Untuk kepentingan Umum (IUKU).

Kalau pembangkit yang dibangun itu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) butuh izin untuk bangun jetty batu bara. Tiap jenis pembangkit punya izin sendiri.

Tapi izin itu sebenarnya bisa dipersingkat?

Saya rasa dibuat paralel saja. Misalnya sambil urus izin ini, kami diizinkan mengurus izin satunya. Tapi biasanya lembaga pemberi izin kasih izin serial. Dia baru kasih izin, kalau izin yang satunya sudah keluar.

Fungsi government (pemerintah) itu di situ, yaitu menyederhanakan efisiensi dan percepat perizinan.

Lalu apa tantangan selanjutnya?

Tantangan ketiga, yaitu bagaimana kita bisa menyalurkan listrik yang diproduksi ke pelanggan kita. Calon pelanggan itu bisa pelanggan komersial, ruko, pertokoan, industri atau residensial, tekstil, kereta api listrik pemerintah dan penerangan jalan.

Itu masing-masing ada masalah sendiri. Bagaimana pusat komersial dan industri dikembangkan, bagaimana penataan ruangnya. Jika pusat komersial dan industri tidak terencana, buat PLN itu juga akan memakan waktu untuk menarik jaringan.

Kalau dulukan, pabrik itu berdiri di tempat di mana dia bisa bebaskan lahan, dekat sumber mata air, dekat jalan raya, pelabuhan dan direstui masyarakat.

Jadi lahan pesawahan jadi pabrik, 7 kilometer (km) lagi sawah jadi pabrik. Semua pabrik itu butuh listrik.

Menurut saya, ini tidak efisien karena PLN harus bangun gardu besar di masing-masing pabrik karena lokasinya yang berpencar. Seharusnya satu gardu itu bisa untuk 10 pabrik, tapi karena tersebar jadi tidak efisien. Tapi sekarang sudah membaik karena ada kawasan industri.

Tiba-tiba ada mal, ada ruko besar semuanya kami layani. Jika ada planning tata ruang yang lebih cepat dan pasti, dan jaraknya tidak terlalu jauh maka biaya pembangunan jaringannya bisa lebih murah dan efisien.

Itu pelanggan industri dan komersial, perumahaan juga sama. Perumahan-perumahaan baru itu secara tak terduga bermunculan, ini semua jadi kurang efisien jaringannya karena mendadak-mendadak munculnya.

Yang ribet lagi di pedesaan, saya sampai penasaran kenapa Pacitan, kok rasio elektrifikasi paling rendah di Jawa padahal di situ ada PLTU.

Saya datang ke situ khusus lihat apa penyebabnya. Saya minta dibawa ke tempat yang belum terlistriki. Ternyata tidak bisa terjangkau mobil, jalan menuju ke sana hanya bisa dilewati dua motor. Saya naik ojek ke sana.

Lokasinya berada di perbukitan kapur. Memang ada satu kampung kecil di sebuah bukit. Untuk ke situ saja jalannya berkelok-kelok, bagaimana bawa listriknya kan tidak bisa. Nah, hal seperti ini harusnya direncanakan juga.

Yang lebih parah lagi, adanya rumah tunggal yang ada di bebeberapa bukit. Jaraknya jauh-jauh mereka minta listrik. Saya datangi mereka dan bertanya kenapa mereka tinggal di situ? jawaban dia karena ladang miliknya ada di situ dan dia kerja di situ.

Saya lalu tanya ke kepala dusun, apakah memungkin warga yang tinggal sendirian di atas bukit itu pindah ke dusun induk. Saya lihat mereka itu kan punya motor, jadi ke ladang pagi, magrib kembali ke dusun yang ada SD, TK, ada listrik, air. Semua ngumpul di situ.

Ini tidak hanya terjadi di Sumba dan Flores. Itu semua jadi tantangan tersendiri, saya pikir kalau kemampuan penduduk meningkat, relokasi pemukiman bisa memungkinkan untuk dilakukan. Dengan begitu mereka bisa lebih sejahtera karena bisa menikmati layanan umum dengan lebih baik.

Untuk rumah yang sulit dilistriki karena berada di pegunungan solusinya apa?

saya tidak tahu persis bagaimana solusinya. Saat ini kan PLN hanya akan melayani listrik sampai desa yang sudah terjangkau jalan.  Kami akan bilang ke Bupati tolong bangun jalan, nanti kalau jalannya sudah jadi dan bisa dilewati mobil PLN, kami akan bangun tiang listrik sehingga kampung tadi bisa terlayani dengan baik.

Saat ini penduduk itu juga kreatif mereka akhirnya ambil listrik dari tetangga terdekat, pakai kabel ditarik ke rumah.

Apakah itu masuk dalam kategori pencurian listrik?

Itu tidak masuk kategori pencurian listrik. Jadi tetangga langganan yang lebih besar dari kebutuhan. Ada yang jarak rumahnya dengan tetangga mencapai 3 km. Saya tanya bayar berapa, dia bilang Rp 60 ribu-Rp 100 ribu.

Padahal kalau saya lihat rumahnya itu kalau dilistriki PLN masuk pelanggan rumah tangga 450 VA. Mereka bilang tak masalah bayar mahal karena mereka sadar rumahnya jauh dari mana-mana.  Itu realitas yang ada di lapangan dan saya butuh waktu untuk menata semua ini menjadi lebih baik.

Dari semua masalah yang ada, apa yang paling mendesak?

Ada masalah yang strategis juga yaitu adalah seberapa yakin kita bahwa ketahanan energi, kemampuan kita untuk memasok energi seluruh kebutuhan energi nasional dalam jangka panjang dapat selalu dipenuhi.
 
Ini hal strategis yang harus dipikirkan tidak hanya dalam 10 tahun, tapi 30 tahun sampai 50 tahun. Kita harus punya strategi, menurut saya, 50 tahun harus dipikirkan, energi primer apa yang mau dipilih, teknologinya apa? Itu harus dipikirkan dari sekarang, karena semua negara pikirkan itu.

Kalau kita punya grand strategy, maka pengembangan infrastruktur listrik akan ikuti strategi itu.

Bagi PLN, bahan bakar apa yang bagus?

Saya lihat ketergantungan kita ke bagan bakar tertentu tidak boleh terlalu besar. Misalnya saat ini dalam rencana 10 tahun PLN, 65% itu berasal dari batu bara. Secara kajian strategis jangka panjang tidak bagus. Dalam jangka panjang, saya kira peranan batu bara itu sekitar 40%. 

Gas saat ini 22%-24% dalam rencana PLN, itu berdasarkan informasi yang kita miliki semua gas bisa diperoleh dalam kontrak dan tidak ada prospek baru. Tapi apakah porsinya dalam jangka panjang akan tetap segitu, atau harus naik atau turun, itu harus direncanakan. Harus ada alternatif skenario.

Ada juga energi baru terbarukan. Itu yang paling dominan panas bumi dan air, pengembangannya masih belum optimal. Lalu bagaimana strategi kita kembangkan air? yang terjadi saat  ini adalah, setiap titik yang mungkin berpotensi menghasilkan listrik, izinnya sudah dikeluarkan bupati ke perusahaan yang track record-nya tidak bagus.

Perusahaan yang tidak punya kemampuan,  tidak memiliki teknologinya. Itu menghambat perusahaan yang punya kemampuan seperti PLN sehingga sumber daya itu mati.

Misalnya, proyek pembangkit listrik tenaga air (PTA) Asahan 3 yang izinnya sudah tidak dikeluarkan Gubernur Sumatera Utara sejak 2004, padahal kami sudah mengajukan izin berkali-kali. Izin itu baru terbit baru terbit 2012.

Begitu izin lokasi terbit baru proses berikutnya bisa dilakukan, tahapan kontruksi bisa dilakukan. Izin itu habiskan 8 tahun dan waktunya terbuang sia-sia. Jadi kalau listrik pas-pasan itu ada sejarahnya. Gunanya lihat masa lalu itu itu jadi pelajaran agar tidak terulang. Itu perlu diingat agar tidak terulang, PLN ini untuk dapat izin baru bangun PLTA, deritanya sama di daerah lain juga begitu.

Strategi kita untuk kembangkan air, ini mungkin tidak akan berkembang, padahal potensi 13 ribu MW itu besar.

Kalau panas bumi ini persoalan apa?

Kalau tidak melakukan terobosan, sering kali pemegang konsensi tidak mampu lakukan terobosan sering kali pemegang konsensi tidak mampu karena untuk pengembangan itu butuh kapital yang besar, yang berisiko bisa hilang begitu saja. Setelah dibor, belum tentu jaminan itu ada potensi panas bumi.

Ada satu PLTP sekarang lagi ngebor, lagi eksplorasi. Di sumur pertama keluar uap bagus, di sumur kedua juga, eh di sumur ketiga tidak ada. Buat orang geothermal itu tidak apa-apa.

Itu yang bikin pengembangan geothermal mahal, karena potensi gagal ada.  Ngebor satu sumur saja bisa US$ 7 juta untuk ngebor satu sumur. Itu buat biaya kapital yang harus ditanggung, kadang-kadang tidak semua pemegang konsensi sanggup.
Akhirnya dipegang terus, setelah lima tahun tidak jalan-jalan.

Dengan adanya grand design itu, apakah seluruh masalah kelistrikan bisa teratasi?

Bukan jaminan selesaikan masalah, tapi cara selesaikan masalah lebih terstruktur dan  saya ada satu lagi tantangan yang juga penting yaitu, bagaimana melistriki pulau-pulau kecil seperti Pulau Nias, Enggano, Selayar, yang seperti itu.

Masalahnya tidak semua pulau itu punya energi baru terbarukan (EBT), misalnya PLTA itu di Nias tidak ada. Nias itu topografinya, pantai, bukit dan sungai pendek dengan tinggi terjun rendah.

Untuk kasus seperti Nias itu bagaimana?

Kalau solusi yang sudah proven dan sudah pasti bisa dilakukan tenaga diesel, tinggal bilang enam bulan sudah jadi. Pilihannya dilistriki atau tidak dilistriki.

Kebutuhannya tidak besar-besar di pulau-pulau kecil itu, paling cuma 1 MW-2 MW. Tapi kalau seperti Nias itu besar sekitar 25 MW jadi harus bangun PLTU.

PLN masih cari teknologi seperti diesel tapi bukan diesel, dengan biaya produksi lebih rendah. Seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) itu bukan pengganti diesel (minyak) karena biaya produksinya lebih tinggi dari diesel. Kalau dengan baterai bisa naik dari US$ 25 sen per kilowatthour (kWh) menjadi US$ 40 sen per kWh. Jadi PLTS itu pelengkap dari diesel yang dipakai pada siang hari, sementara malam tetap pakai diesel.

Jika semua masalah kelistrikan sudah tuntas, kapan kira-kira seluruh penduduk Indonesia bisa menikmati listrik?

Elektrifikasi 100% ini hanya diukur dari pelanggan rumah tangga. Rasio ini diukur terhadap berapa persen rumah tangga di Indonesia yang dapat terlayani listrik.

Pada tahun lalu, rasio elektrifikasi sekitar 76%, pada akhir tahun ini naik jadi 79%.  Kemudian tahun depan di atas 80%, mungkin 81%-82%. Untuk 100% itu ada 20%. Selama ini kita hanya bisa tumbuh 3% per tahun, meski jumlah rumah tangga terus bertambah.

Sisanya, akan kita penuhi tergantung beberapa hal. Salah satunyayang penting bukan kapasitas tapi akses jalan. Itu yang terpenting.

Kalau siapkan kapasitasnya untuk kebutuhan rumah tangga itu tidak besar, kaya listrik pedesaan. Tapi perlu akses jalan sehingga kita bisa menarik jaringan listrik.

Memang di beberapa pulau terpencil, ada tantangan kapasitas listrik. Tapi sekali lagi apa yang mau dipilih, ini kita ngomong pulau kecil, apakah kebutuhan listrik di pulau itu mau dipenuhi 100%, maka syarat pertama jalan menuju pemukiman harus ada, kedua teknologi apa yang dipilih.

Bahan bakar apa, teknologi apa, itu pilihan.  Ada beberapa orang yang trauma terhadap diesel karena dianggap diesel yang bikin biaya pokok produksi tinggi.

Itu benar, kalau pakai minyak dipakai untuk pembangkitan listrik dalam jumlah besar di pulau-pulau besar seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Kalau di tempat besar itu salah kalau masih pakai BBM. Tapi kalau di pulau kecil seperti Aru, apakah haram pakai diesel, itu perlu didiskusikan lagi. Pilihannya masyarakat tidak mendapatkan listrik, atau dilistriki dengan pembangkit berbahan bakar diesel. (Ndw)