Sukses

RI Lebih Tangguh dari Malaysia & Singapura Jika China Melambat

Nomura Global Market Research mengungkapkan perlambatan ekonomi China dalam jangka panjang justru akan menguntungkan negara-negara ASEAN.

Lembaga Riset Nomura Global  Market Research yakin perlambatan ekonomi China takkan terlalu banyak berdampak signifikan bagi negara-negara ASEAN. Justru, imbas negatif akan lebih banyak dirasakan negara-negara di luar ASEAN.

Sebagai mitra dagang terbesar negara-negara ASEAN, program keseimbangan ekonomi dan re-orientasi China justru diyakini bakal menguntungkan kawasan ASEAN dalam jangka panjang. Meski diakui, kebijakan baru itu cukup mengkhawatirkan negara-negara Asia Tenggara dalam jangka pendek.

Dilansir ecns.cn, Selasa (30/7/2013) data ekonomi terbaru dari State Council Information Office China menunjukkan volume perdagangan China ke ASEAN pada semester I-2013 bernilai US$ 210 miliar. Jumlah tersebut hampir empat kali lipat lebih banyak dibanding periode yang sama pada 2002.  ASEAN juga merupakan salah satu tujuan investasi asing  paling penting bernilai US$ 30 miliar.

Laporan Nomura Global Markets Research menunjukan, di bawah skenario perlambatan ekonomi China, dampak terhadap pasar ekuitas ASEAN akan lebih kecil dibanding negara lain di kawasan Asia Pasifik, selain Jepang.

Dampak perlambatan ekonomi China terhadap pendapatan langsung Indonesia, Thailand,  dan Filipina diperkirakan terbatas mengingat sekitar 90% pendapatan untuk sejumlah perusahaan terdaftar di tiga negara ini berasal dari domestik.

Beban berat justru harus ditanggung pasar ekuitas Malaysia dan Singapura yang relatid lebih mudah diprediksi.  Di Malaysia, dampaknya akan menyerang sektor kimia, game, dan energi. Sementara di Singapura, dampaknya akan menyerang sektor properti yang terkenal rentan.

Lembaga riset pasar global tersebut juga meyakini negara-negara terbuka seperti Singapura akan menerima dampak terparah dari perlambatan transaksi perdagangan dan arus modal keluar yang potensial.

Risiko juga akan menyerang mata uang Malaysia mengingat Negeri Jiran ini memiliki tingkat obligasi asing yang tinggi dan rentan terhadap risiko arus modal keluar.

Sementara baht Thailand tampaknya akan terpuruk separah Malaysia dan Singapura mengingat ketergantungannya terhadap perdagangan China.

Sebaliknya, kinerja mata uang Indonesia dan Filipina akan lebih tahan terhadap perlambatan ekonomi China, karena Bank Indonesia memperketat sejumlah kebijakan guna menstabilkan rupiah. Sementara kekuatan ekonomi Filipina didorong permintaan domestik yang kuat dan kuatnya surplus transaksi berjalan dapat membuat peso menjadi pemain di kawasan ASEAN.

Selain itu, komitmen China untuk investasi jangka panjang di ASEAN tetap akan berlanjut meskipun arus investasi langsung dari perusahaan di China ke Asia akan terganggu dalam jangka pendek. Hal tersebut mengingat  penawaran investasi dalam jumlah besar di Malaysia, Thailand dan Indonesia.(Sis/Shd)