Sukses

Biofuel RI Bisa Lepas dari Jerat Tuduhan Dumping Eropa

Produk biofuel Indonesia terkena bea masuk anti dumping sementara sebesar 2,8% hingga 9,6% dari Uni Eropa.

Produk biofuel Indonesia yang sebelumnya mendapatkan tuduhan dumping dari Uni Eropa dan mengakibatkan produk tersebut terkena bea masuk anti dumping sementara sebesar 2,8% hingga 9,6%, kini telah masuk babak baru yang baik bagi Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi saat berbincang dengan wartawan dengan di Gedung Kementerian Pedagangan, Kamis (15/8/2013).

"Dispute Eropa untuk biofuel kita sudah melangkah maju, temuan awalnya menyatakan bahwa kita tidak menerapkan subsidi atau dumping yang masuk ke sana," ujar dia.

Bayu mengatakan, bila tidak ada bukti yang kuat terhadap tuduhan tersebut hingga batas waktu sebelum awal September, maka biofuel Indonesia bisa terhindar dari tuduhan dumping tersebut.

"Sehingga kita terus bisa ekspor ke Eropa. Nah dengan adanya ini (temuan) maka bea masuk anti dumping sementara bisa dicabut, kalau masih tetap dikenakan kita akan minta ke Eropa untuk dicabut. Tetapi ini masih terus berjalan," tutur dia.

Sebelumnya, biofuel Indonesia mendapatkan tuduhan tersebut karena memiliki harga yang lebih murah dibanding produk biofuel dari bahan lain.

Menurut Bayu, harga yang murah ini disebut-sebut karena Indonesia memberikan subsidi terhadap produk biofuel yang diekspor ke Eropa.

"Ini kita sudah jelaskan bahwa adanya subsidi itu hanya untuk tranportasi, kita juga jelaskan kalau subsidi itu untuk konsumen bukan ke produsen dan kita tidak mensubsidi untuk (ekspor) ke luar negeri," tandas dia.

Lada Hitam

Tak hanya biofule, lada hitam asal Indonesia yang diekspor ke Polandia, yang belum lama ini dituding melanggar aturan kualitas barang ternyata hingga saat ini tidak terbukti kebenarannya.

"Lada hitam Indonesia yang mengalami masalah di Polandia, ternyata ini tidak berbukti melanggar aturan sehingga bisa terus ekpor," ujar Bayu.

Bayu menjelaskan, lada hitam yang  berasal dari sebuah perusahaan di wilayah Lampung, Sumatera Selatan tersebut sebelumnya dituding mengandung oktratoksin.

Namun dengan adanya pembuktian ini, menurut Bayu, akan semakin memperkuat pandangan bahwa komoditas asal Indonesia memang mampu berdaya saing.

"Ini membuktikan kita masih berdaya saing dan bisa memnuhi standar-standar yang ditetapkan oleh Eropa. Ini sebenarnya hal yang kecil tetapi perlu juga kita informasikan, biar mereka tahu kalau (produk) negara kita juga tidak kalah," tandasnya.(Dny/Nur)