Mengawali hari kerja pertama usai perayaan Hari Proklamasi Indonesia, pasar keuangan Indonesia justru dirundung masalah. Melemahnya rupiah hingga level 10.570 per dolar AS mendorong penurunan pasar modal Indonesia paling dalam di antara negara-negara kawasan Asia-Pasifik.
Guncangan pada pasar keuangan Indonesia ini tak terlepas dari data-data makro yang kurang menggembirakan. Data terbaru Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) serta transaksi berjalan yang baru diumumkan (BI) mash mengalami defisit.
Namun tak hanya defisit NPI, current account, dan pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa membuat para investor kebakaran jenggot. Beberapa indikator ekonomi yang tengah bergejolak di tanah air juga bisa membuat para investor di Indonesia ketar-ketir.
Seperti dikutip dari ulasan Citi Research, berikut adalah lima hal yang bisa membuat investor di tanah air ketakutan:
1. Defisit transaksi berjalan memburuk hingga 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II 2013. Sebelumnya di kuartal I, defisit transaksi berjalan hanya sebesar 2,3%Â dari PDB.
Kegagalan paling jelas tampak dari neraca perdagangan barang dan jasa. Volume ekspor anjlok ditengah merosotnya harga-harga komoditas. Meski demikian pertumbuhan ekspor masih bergerak positif, bahkan untuk komoditas seperti batu bara dan minyak sawit .
Sementara angka defisit pendapatan tercatat tak banyak bergerak dibandingkan kuartal II-2012. Namun defisit pendapatan diprediksi akan terus menurun mengingat perlambatan pertumbuhan PDB yang tengah terjadi saat ini.
2. Melemahnya volume ekspor tidak disertai dengan penurunan total impor
Meski impor barang modal mulai berkurang, tapi pertumbuhan impor bahan baku masih tumbuh positif dibandingkan kuartal I. Kondisi ini khusus terjadi pada produk-produk logam (bukan perminyakan).
Pertumbuhan impor pangan juga masih tercatat menguat mengingat telah dibukanya keran impor untuk mengatasi kekurangan pasokan pangan tanah air.
Sementara itu, defisit produk jasa tercatat memburuk. Hal serupa terjadi pada kuartal II tahun lalu. Kendati pembayaran biaya pengiriman telah ditentukan, pengiriman barang dari Indonesia masih berkembang.
3. Defisit neraca perdagangan mencapai rekor tertinggi dan menyebabkan celah pendanaan yang lebih besar.
Investasi langsung asing yang masuk pada kuartal II tidak menunjukan adanya gangguan seperti halnya pada kuartal I lalu. Investasi masih tetap meningkat 28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun dari besarannya, investasi asing hanya mampu menutupi 34% defisit transaksi berjalan dan meninggalkan celah sebesar US$ 6,5 miliar pada kuartal II. Dikhawatirkan, angka tersebut tak akan bertahan lama dan terlihat terlalu tinggi untuk ditutupi dengan arus masuk investasi dalam jangka pendek.
4. Fasilitas Foreign Exchange (FX) BI membantu meningkatkan cadangan investasi dan mencegah defisit pada investasi lainnya. Sayangnya neraca transaksi berjalan justru lebih penting.
Rekening investasi lainnya menunjukkan surplus senilai Us$ 2,3 miliar mengacu pada penurunan nilai deposito dan mata uang asing. Sebagian dana masuk ke fasilitas deposito berjangka Dolar AS milik Bank Indonesia (BI) yang mencatat peningkatan saldo sebesar US$ 1 miliar. Dengan aset asing bruto yang optimal di level US$ 16 miliar, fasilitas BI dapat menyerap lebih banyak dolar AS jika ketentuannya lebih fleksibel.
Meski demikian, masih belum jelas apakah pergerakan tersebut dapat meningkatkan sentimen pasar di mana akan terjadi perkembangan pada transaksi berjalan dan investasi asing langsung.
5. Meningkatnya prediksi defisit transaksi berjalan menjadi 3,2% dari PDB pada 2013 lebih tinggi dari angka sebelumnya yaitu 2,4% PDB.
Permintaan domestik memang melambat. Namun timbul pertanyaan tentang apakah perlambatan tersebut menahan laju ekonomi dengan pengurangan volume ekspor.
Hal ini mengingat pada kuartal II, pertumbuhan beberapa industri impor bernilai tinggi mendekati 7%. Sementara harga komoditas anjlok memiliki dampak langsung, pengaruh peningkatan suku bunga dan likuiditas terus berkembang dan volume impir akan erus menurun. Dalam pandangan Citi Research, dalam lingkungan ekonomi di mana pengurangan volume ekspor berlangsung cepat, para pembuat kebijakan harus mengirimkan sinyal secara berkelanjutan pengetatan kebijakan.
Namun perbedaan persepsi yang muncul dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah. Sebagian pelaku pasar memandang kebijakan moneter sebagai fungsi dari nilai suku bunga di mana BI tak akan terus mengandalkan suku bunganya. Namun BI akan lebih fokus pada kebijakan campuran seperti sejumlah regulasi industri khusus. (Sis/Shd)
Guncangan pada pasar keuangan Indonesia ini tak terlepas dari data-data makro yang kurang menggembirakan. Data terbaru Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) serta transaksi berjalan yang baru diumumkan (BI) mash mengalami defisit.
Namun tak hanya defisit NPI, current account, dan pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa membuat para investor kebakaran jenggot. Beberapa indikator ekonomi yang tengah bergejolak di tanah air juga bisa membuat para investor di Indonesia ketar-ketir.
Seperti dikutip dari ulasan Citi Research, berikut adalah lima hal yang bisa membuat investor di tanah air ketakutan:
1. Defisit transaksi berjalan memburuk hingga 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II 2013. Sebelumnya di kuartal I, defisit transaksi berjalan hanya sebesar 2,3%Â dari PDB.
Kegagalan paling jelas tampak dari neraca perdagangan barang dan jasa. Volume ekspor anjlok ditengah merosotnya harga-harga komoditas. Meski demikian pertumbuhan ekspor masih bergerak positif, bahkan untuk komoditas seperti batu bara dan minyak sawit .
Sementara angka defisit pendapatan tercatat tak banyak bergerak dibandingkan kuartal II-2012. Namun defisit pendapatan diprediksi akan terus menurun mengingat perlambatan pertumbuhan PDB yang tengah terjadi saat ini.
2. Melemahnya volume ekspor tidak disertai dengan penurunan total impor
Meski impor barang modal mulai berkurang, tapi pertumbuhan impor bahan baku masih tumbuh positif dibandingkan kuartal I. Kondisi ini khusus terjadi pada produk-produk logam (bukan perminyakan).
Pertumbuhan impor pangan juga masih tercatat menguat mengingat telah dibukanya keran impor untuk mengatasi kekurangan pasokan pangan tanah air.
Sementara itu, defisit produk jasa tercatat memburuk. Hal serupa terjadi pada kuartal II tahun lalu. Kendati pembayaran biaya pengiriman telah ditentukan, pengiriman barang dari Indonesia masih berkembang.
3. Defisit neraca perdagangan mencapai rekor tertinggi dan menyebabkan celah pendanaan yang lebih besar.
Investasi langsung asing yang masuk pada kuartal II tidak menunjukan adanya gangguan seperti halnya pada kuartal I lalu. Investasi masih tetap meningkat 28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun dari besarannya, investasi asing hanya mampu menutupi 34% defisit transaksi berjalan dan meninggalkan celah sebesar US$ 6,5 miliar pada kuartal II. Dikhawatirkan, angka tersebut tak akan bertahan lama dan terlihat terlalu tinggi untuk ditutupi dengan arus masuk investasi dalam jangka pendek.
4. Fasilitas Foreign Exchange (FX) BI membantu meningkatkan cadangan investasi dan mencegah defisit pada investasi lainnya. Sayangnya neraca transaksi berjalan justru lebih penting.
Rekening investasi lainnya menunjukkan surplus senilai Us$ 2,3 miliar mengacu pada penurunan nilai deposito dan mata uang asing. Sebagian dana masuk ke fasilitas deposito berjangka Dolar AS milik Bank Indonesia (BI) yang mencatat peningkatan saldo sebesar US$ 1 miliar. Dengan aset asing bruto yang optimal di level US$ 16 miliar, fasilitas BI dapat menyerap lebih banyak dolar AS jika ketentuannya lebih fleksibel.
Meski demikian, masih belum jelas apakah pergerakan tersebut dapat meningkatkan sentimen pasar di mana akan terjadi perkembangan pada transaksi berjalan dan investasi asing langsung.
5. Meningkatnya prediksi defisit transaksi berjalan menjadi 3,2% dari PDB pada 2013 lebih tinggi dari angka sebelumnya yaitu 2,4% PDB.
Permintaan domestik memang melambat. Namun timbul pertanyaan tentang apakah perlambatan tersebut menahan laju ekonomi dengan pengurangan volume ekspor.
Hal ini mengingat pada kuartal II, pertumbuhan beberapa industri impor bernilai tinggi mendekati 7%. Sementara harga komoditas anjlok memiliki dampak langsung, pengaruh peningkatan suku bunga dan likuiditas terus berkembang dan volume impir akan erus menurun. Dalam pandangan Citi Research, dalam lingkungan ekonomi di mana pengurangan volume ekspor berlangsung cepat, para pembuat kebijakan harus mengirimkan sinyal secara berkelanjutan pengetatan kebijakan.
Namun perbedaan persepsi yang muncul dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah. Sebagian pelaku pasar memandang kebijakan moneter sebagai fungsi dari nilai suku bunga di mana BI tak akan terus mengandalkan suku bunganya. Namun BI akan lebih fokus pada kebijakan campuran seperti sejumlah regulasi industri khusus. (Sis/Shd)