Mengingat aksi jual saham yang meningkat di negara-negara berkembang, India dan Indonesia menjadi dua negara yang paling terpukul. Namun, saat ini para analis mulai mengkhawatirkan adanya efek domino yang menyebabkan dampaknya menyebar ke negara berkembang lain.
Seperti dilansir dari CNBC, Selasa (21/8/2013), Kepala Riset Pasar Global di Bank ANZ Australia, Richard Yetsenga mengungkapkan, berbagai persoalan di India mewakili great microcosm untuk apa yang tengah terjadi di sejumlah negara berkembang saat ini.
"India adalah mikrokosmos atau awal kecil dimana tak sedikitpun terdapat pengaruh domestik yang memicu pergerakan ekonomi terbaru di sana, " ujarnya.
Defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran india membengkak setidaknya dalam dua tahun terakhir. "Hanya saat yield obligasi Amerika Serikat meningkat dan aliran dana darinya berhenti, hal ini akan langsung berdampak pada rupee," jelasnya.
Yetsenga mengatakan, kegagalan India dapat berulang di negara berkembang lainnya. Negara dengan pengaruh eksternal terbesar yang akan pertama kali terkena efek domino tersebut.
"Negara seperti Malaysia dan Thailand tercatat memiliki pertumbuhan kredit yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, maka keduanya terlihat baik-baik saja dari sudut pandang luar. Namun pengaruh dalam negerinya sangat besar, " jelas Yetsenga.
Credit Suisse juga mengidentifikasi dua negara tersebut sebagai yang paling berisiko.
Direktur Riset Perekonomian Asia di Credit Suisse Robert Prior-Wandesforde mengatakan, ringgit Malaysia dan baht Thailand akan menghadapi tekanan lebih besar. Sementara dia beranggapan Malaysia akan berada dalam situasi ekonomi yang mengkhawatirkan.
"Tekanan ekonomi paling besar dialami Malaysia mengingat negara ini mengalami gangguan pelemahan mata uang yang lebih signifikan. Sementara jumlah kepemilikan obligasi dan utang asing berjumlah lebih besar lagi," jelasnya.
Nilai tukar ringgit tercatat melemah 8% sepanjang tahun ini dan mencapai nilai terendahnya dalam tiga tahun terakhir. Hal ini disertai dengan percepatan aksi jual pekan lalu.
"Malaysia mengalami gangguan ekonomi paling dramatis dengan surplus transaksi berjalannya. Sementara pemerintahnya tak memiliki reformasi struktural yan cukup untuk membalikan tren dan meningkatkan pertumbuhan produktivitas," ujar Wakil Kepala Riset Perekonomian Asia di HSBC Frederic Neumann.
Negara berkembang lainnya yang juga akan mengalami hantaman ekonomi adalah Brazil dan Turki. Para analis juga mengingatkan negara-negara dengan bisnis properti berharga tinggi seperti Singapura dan Hong Kong. Kedua negara tersebut berpotensi menghadapi risiko suku bunga tinggi.
Meski demikian, menurut Neumann, tak semua negara berkembang akan goyah. Sebagian perekonomian di negara lain masih bisa bertahan.
"Saya tak yakin krisis seperti di Indonesia dan India akan terjadi pada seluruh negara berkembang. Filipina memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik seperti halnya Korea Selatan. Meski terjadi aksi jual di Thailand, negara tersebut juga masih bisa bertahan," pungkasnya. (Sis/Ndw)
Seperti dilansir dari CNBC, Selasa (21/8/2013), Kepala Riset Pasar Global di Bank ANZ Australia, Richard Yetsenga mengungkapkan, berbagai persoalan di India mewakili great microcosm untuk apa yang tengah terjadi di sejumlah negara berkembang saat ini.
"India adalah mikrokosmos atau awal kecil dimana tak sedikitpun terdapat pengaruh domestik yang memicu pergerakan ekonomi terbaru di sana, " ujarnya.
Defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran india membengkak setidaknya dalam dua tahun terakhir. "Hanya saat yield obligasi Amerika Serikat meningkat dan aliran dana darinya berhenti, hal ini akan langsung berdampak pada rupee," jelasnya.
Yetsenga mengatakan, kegagalan India dapat berulang di negara berkembang lainnya. Negara dengan pengaruh eksternal terbesar yang akan pertama kali terkena efek domino tersebut.
"Negara seperti Malaysia dan Thailand tercatat memiliki pertumbuhan kredit yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, maka keduanya terlihat baik-baik saja dari sudut pandang luar. Namun pengaruh dalam negerinya sangat besar, " jelas Yetsenga.
Credit Suisse juga mengidentifikasi dua negara tersebut sebagai yang paling berisiko.
Direktur Riset Perekonomian Asia di Credit Suisse Robert Prior-Wandesforde mengatakan, ringgit Malaysia dan baht Thailand akan menghadapi tekanan lebih besar. Sementara dia beranggapan Malaysia akan berada dalam situasi ekonomi yang mengkhawatirkan.
"Tekanan ekonomi paling besar dialami Malaysia mengingat negara ini mengalami gangguan pelemahan mata uang yang lebih signifikan. Sementara jumlah kepemilikan obligasi dan utang asing berjumlah lebih besar lagi," jelasnya.
Nilai tukar ringgit tercatat melemah 8% sepanjang tahun ini dan mencapai nilai terendahnya dalam tiga tahun terakhir. Hal ini disertai dengan percepatan aksi jual pekan lalu.
"Malaysia mengalami gangguan ekonomi paling dramatis dengan surplus transaksi berjalannya. Sementara pemerintahnya tak memiliki reformasi struktural yan cukup untuk membalikan tren dan meningkatkan pertumbuhan produktivitas," ujar Wakil Kepala Riset Perekonomian Asia di HSBC Frederic Neumann.
Negara berkembang lainnya yang juga akan mengalami hantaman ekonomi adalah Brazil dan Turki. Para analis juga mengingatkan negara-negara dengan bisnis properti berharga tinggi seperti Singapura dan Hong Kong. Kedua negara tersebut berpotensi menghadapi risiko suku bunga tinggi.
Meski demikian, menurut Neumann, tak semua negara berkembang akan goyah. Sebagian perekonomian di negara lain masih bisa bertahan.
"Saya tak yakin krisis seperti di Indonesia dan India akan terjadi pada seluruh negara berkembang. Filipina memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik seperti halnya Korea Selatan. Meski terjadi aksi jual di Thailand, negara tersebut juga masih bisa bertahan," pungkasnya. (Sis/Ndw)