Sejumlah pemangku kebijakan di negara-negara berkembang terus bekerja keras mengatasi depresiasi nilai tukar mata dengan menaikan suku bunga dan kebijakan moneter yang lebih ketat. Sayangnya, jurus tersebut dikhawatirkan bakal memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan mengancam pemulihan global.
Dikutip dari laman money.cnn.com, Minggu, (1/9/2013) ekonomi negara berkembang pekan ini disuguhi pertemuan khusus Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memutuskan kenaikan tingkat suku bunga acuan, BI rate. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya mencegah ambruknya nilai tukar rupiah.
Bank sentral di Brasil dan India juga membuat gerakan untuk mencegah mata uang mereka jatuh. Brasil bahkan membuat kebijakan mengejutkan dengan menggelontorkan dana program US$ 60 miliar untuk menekan pelemahan real.
Para pembuat kebijakan di negara berkembang ini seolah dipaksa untuk bereaksi mengantisipasi perubahan kebijakan The Federal Reserves. Hal ini tak terlepas dari dana asing yang mulai kering di pasar negara berkembang dan kembali ke Amerika Serikat sebagai persiapan program pengurangan stimulus AS.
Kejatuhan nilai tukar negara-negara berkembang memang cukup mengkhawatirkan bagi negara yang menggantungkan kebutuhannya pada produk impor. Di negara ini, bahan pangan dan minyak beranjak menjadi barang mahal bagi rata-rata penduduknya.
Kondisi ini juga memicu kekhawatiran para pengutan tak sanggup lagi membayar utang yang sebagian besar dalam mata uang dolar AS. Jika mereka memutuskan default, bank lokal justru bakal menderita.
Skenario buruk inilah yang kemudian muncul dalam pemikiran sejumlah ekonom dan investor di negara berkembang. Mereka umumnya khawatir ekonomi negara berkembang akan jatuh seiring laju inflasi, tingginya biaya pinjaman (borrowing cost), serta pertumbuhan ekonomi yang melanbat akibat pulihnya ekonomi AS.
Di sisi lain, banyak para ahli yang berpikir isu kondisi eknomi negara berkembang ini takkan membuat instabilitas perekonomian global.
"Sejauh ini, masalah tersbeut baru sebatas persoalan negara berkembang," kata Ekonom dari Capital Economics, Gareth Leather.
Persoalan yang kini melanda negara berkembang dinilai berdampak minim pada perekonomian global. Meski diakui pasar keuangan bisa saja bereaksi berbeda dengan harapan sejumlah ekonomi.
"Pasar keuangan bekerja dengan cara yang aneh sehingga bisa saja ada muncul dampak dan mewabah seperti pernah terjadi pada krisis Asia pada 1997 dan 1998," ujarnya.
Tim ekonom dari berenberg juga menilai efek dari krisis bisa sja memicu reaksi berantai diantara negara-negara berkembang besar. Meski diakui, skenario terburuk tersebut kemungkinan tidak akan terjadi.
"Kita cuku nyaman karena fakta ekonomi negara berkembang kini lebih sehat dan lebih matang dibandingkan 10 tahun lalu," ujar Berenberg. "Bagi ekonomi dunia, dampak kerusakan dari kabar baik ekonomi AS sulit terjadi."
Lalu bagaimana dengan kejatuhan ekonomi China? Berenberg optimistis negara Tirai Bambu in iakan baik-baik saja.
"China bukan sebuah risiko. Kekuatannya mencapai 40% dari PDB negara berkembang dan bisa digunakan untuk tetap menjaga ekonomi bertumbuh. Inflasi yang rendah serta cadangan devisa di luar negeri yang besar dan tidak tergantung pada aliran dana panas," kata Berenberg. (Shd)
Dikutip dari laman money.cnn.com, Minggu, (1/9/2013) ekonomi negara berkembang pekan ini disuguhi pertemuan khusus Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memutuskan kenaikan tingkat suku bunga acuan, BI rate. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya mencegah ambruknya nilai tukar rupiah.
Bank sentral di Brasil dan India juga membuat gerakan untuk mencegah mata uang mereka jatuh. Brasil bahkan membuat kebijakan mengejutkan dengan menggelontorkan dana program US$ 60 miliar untuk menekan pelemahan real.
Para pembuat kebijakan di negara berkembang ini seolah dipaksa untuk bereaksi mengantisipasi perubahan kebijakan The Federal Reserves. Hal ini tak terlepas dari dana asing yang mulai kering di pasar negara berkembang dan kembali ke Amerika Serikat sebagai persiapan program pengurangan stimulus AS.
Kejatuhan nilai tukar negara-negara berkembang memang cukup mengkhawatirkan bagi negara yang menggantungkan kebutuhannya pada produk impor. Di negara ini, bahan pangan dan minyak beranjak menjadi barang mahal bagi rata-rata penduduknya.
Kondisi ini juga memicu kekhawatiran para pengutan tak sanggup lagi membayar utang yang sebagian besar dalam mata uang dolar AS. Jika mereka memutuskan default, bank lokal justru bakal menderita.
Skenario buruk inilah yang kemudian muncul dalam pemikiran sejumlah ekonom dan investor di negara berkembang. Mereka umumnya khawatir ekonomi negara berkembang akan jatuh seiring laju inflasi, tingginya biaya pinjaman (borrowing cost), serta pertumbuhan ekonomi yang melanbat akibat pulihnya ekonomi AS.
Di sisi lain, banyak para ahli yang berpikir isu kondisi eknomi negara berkembang ini takkan membuat instabilitas perekonomian global.
"Sejauh ini, masalah tersbeut baru sebatas persoalan negara berkembang," kata Ekonom dari Capital Economics, Gareth Leather.
Persoalan yang kini melanda negara berkembang dinilai berdampak minim pada perekonomian global. Meski diakui pasar keuangan bisa saja bereaksi berbeda dengan harapan sejumlah ekonomi.
"Pasar keuangan bekerja dengan cara yang aneh sehingga bisa saja ada muncul dampak dan mewabah seperti pernah terjadi pada krisis Asia pada 1997 dan 1998," ujarnya.
Tim ekonom dari berenberg juga menilai efek dari krisis bisa sja memicu reaksi berantai diantara negara-negara berkembang besar. Meski diakui, skenario terburuk tersebut kemungkinan tidak akan terjadi.
"Kita cuku nyaman karena fakta ekonomi negara berkembang kini lebih sehat dan lebih matang dibandingkan 10 tahun lalu," ujar Berenberg. "Bagi ekonomi dunia, dampak kerusakan dari kabar baik ekonomi AS sulit terjadi."
Lalu bagaimana dengan kejatuhan ekonomi China? Berenberg optimistis negara Tirai Bambu in iakan baik-baik saja.
"China bukan sebuah risiko. Kekuatannya mencapai 40% dari PDB negara berkembang dan bisa digunakan untuk tetap menjaga ekonomi bertumbuh. Inflasi yang rendah serta cadangan devisa di luar negeri yang besar dan tidak tergantung pada aliran dana panas," kata Berenberg. (Shd)