Kabar baik bagi pelaku pasar di negara-negara berkembang. Laporan terbaru dari Nomura Holdings Inc mengungkapkan bagian terburuk dari skenario penarikan dana bernilai miliaran dolar Amerika Serikat (AS) yang dilakukan para investor bulan lalu telah berakhir bagi negara-negara berkembang di Asia.
Aksi penarikan dolar besar-besaran tersebut dipicu kepanikan para investor menghadapi kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) mengurangi pembelian obligasinya.
"Kami telah melewati masa terburuk dari krisis tersebut, tapi bukan berarti masing-masing negara terlepas dari jeratan tantangan berat lainnya," ujar Head of Global Markets Steve Ashley di Nomura, London seperti mengutip laman Bloomberg, Selasa (3/9/2013).
Ashley dan jajarannya yakin negara-negara berkembang di Asia akan terus berupaya mengatasi sejumlah aset yang berisiko. Proyeksi sejumlah pasar di negara-negara berkembang juga masih sangat positif untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Munculnya proyeksi positif tersebut mengingat jumlah investasi di negara-negara berkembang Asia akan meningkat seiring dengan berkembangnya ukuran perekonomiannya.
Saat ini, nilai pasar saham yang diperdagangkan di China berjumlah 37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara menurut data yang dihimpun Bloomberg, AS memiliki porsi 107% untuk saham. Dari data serupa, proporsi saham untuk Indonesia adalah 45% dan 54% untuk India.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada Juli memprediksi perekonomian negara berkembang akan meningkat 6,9% tahun ini, lebih tinggi dari AS yang hanya 1,7%.
Dari kawasan China, perekonomian Negara Tirai Bambu ini berhasil bangkit dari perlambatan ekonomi yang sempat dialaminya pada dua kuartal pertama tahun ini. Indeks manufaktur China meningkat ke level tertinggi dalam 16 bulan terakhir pada Agustus didorong melonjaknya permintaan manufaktur.
Ekonomi Filipina pun berkembang stabil di atas 7% selama 4 kuartal berturut-turut. Ashley menuturkan, proyeksi positif bagi negara-negara berkembang Asia menyediakan peluang bisnis bagi Nomura di luar Jepang. Jumlah nasabah Nomura di pasar global meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Meski demikian, Ahli Strategi Pendapatan Tetap di Barclays Plc., Rohit Ahora menilai, negara-negara berkembang sangat rentan tershadap sentimen investor.
"Fokusnya adalah negara-negara dengan defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi dan para investor mempertanyakan bagaimana negara-negara tersebut akan mengatasi defisitnya di tengah lingkungan likuiditas yang ketat saat The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneternya," jelas Ahora.
Menurut Ashley, beberapa kebijakan negara berkembang terlalu berkiblat pada pengetatan kebijakan stimulus The Fed.
"Negara-negara berkembang harus mulai menenangkan diri, dan itulah salah satu alasan kami melihat adalanya turbulensi di negara-negara tersebut. Untuk kesehatan finansial dalam jangka yang lebih panjang, normalisasi penting untuk segera dilakukan," jelasnya. (Sis/Shd)
Aksi penarikan dolar besar-besaran tersebut dipicu kepanikan para investor menghadapi kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) mengurangi pembelian obligasinya.
"Kami telah melewati masa terburuk dari krisis tersebut, tapi bukan berarti masing-masing negara terlepas dari jeratan tantangan berat lainnya," ujar Head of Global Markets Steve Ashley di Nomura, London seperti mengutip laman Bloomberg, Selasa (3/9/2013).
Ashley dan jajarannya yakin negara-negara berkembang di Asia akan terus berupaya mengatasi sejumlah aset yang berisiko. Proyeksi sejumlah pasar di negara-negara berkembang juga masih sangat positif untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Munculnya proyeksi positif tersebut mengingat jumlah investasi di negara-negara berkembang Asia akan meningkat seiring dengan berkembangnya ukuran perekonomiannya.
Saat ini, nilai pasar saham yang diperdagangkan di China berjumlah 37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara menurut data yang dihimpun Bloomberg, AS memiliki porsi 107% untuk saham. Dari data serupa, proporsi saham untuk Indonesia adalah 45% dan 54% untuk India.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada Juli memprediksi perekonomian negara berkembang akan meningkat 6,9% tahun ini, lebih tinggi dari AS yang hanya 1,7%.
Dari kawasan China, perekonomian Negara Tirai Bambu ini berhasil bangkit dari perlambatan ekonomi yang sempat dialaminya pada dua kuartal pertama tahun ini. Indeks manufaktur China meningkat ke level tertinggi dalam 16 bulan terakhir pada Agustus didorong melonjaknya permintaan manufaktur.
Ekonomi Filipina pun berkembang stabil di atas 7% selama 4 kuartal berturut-turut. Ashley menuturkan, proyeksi positif bagi negara-negara berkembang Asia menyediakan peluang bisnis bagi Nomura di luar Jepang. Jumlah nasabah Nomura di pasar global meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Meski demikian, Ahli Strategi Pendapatan Tetap di Barclays Plc., Rohit Ahora menilai, negara-negara berkembang sangat rentan tershadap sentimen investor.
"Fokusnya adalah negara-negara dengan defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi dan para investor mempertanyakan bagaimana negara-negara tersebut akan mengatasi defisitnya di tengah lingkungan likuiditas yang ketat saat The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneternya," jelas Ahora.
Menurut Ashley, beberapa kebijakan negara berkembang terlalu berkiblat pada pengetatan kebijakan stimulus The Fed.
"Negara-negara berkembang harus mulai menenangkan diri, dan itulah salah satu alasan kami melihat adalanya turbulensi di negara-negara tersebut. Untuk kesehatan finansial dalam jangka yang lebih panjang, normalisasi penting untuk segera dilakukan," jelasnya. (Sis/Shd)