Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Penempatan TKI (APJATI) Ayub Basalamah mengungkapkan pemasukan Indonesia dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri berkurang hingga lebih dari separuhnya. Turunnya pemasukan dari aktivitas remitansi ini dipicu keputusan pemerintah yang memberlakukan penghentian sementara (moratorium) penempatan TKI ke Arab Saudi pada 1 Agustus 2011.
Jika sebelumnya, pasar TKI bisa memberikan kontribusi sebesar Rp 120 triliun per tahun dari bisnis remitansi. Kini, kiriman uang para pekerja di Timur Tengah tersebut berkurang tajam menjadi Rp 40 triliun-50 triliun.
"Sekarang ada sekitar Rp 70% yang hilang," ujar Ayub saat acara Konsepsi Penempatan dan Perlindungan TKI Terpadu di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2013).
Ayub menjelaskan, sebelum moratorium berlaku, sektor perbankan di daerah tumbuh seiring banyaknya keluarga TKI yang mengantre mencairkan uang kiriman. Bank rata-rata harus melayani pengantre antera 200-300 orang per hari.
Sebagai contoh, dana kiriman TKI di wilayah Lombok mencapai Rp 300 miliar per tahun atau Rp 29 miliar per bulan. "Tapi setelah moratorium Lombok kehilangan Rp 360 miliar. Dan kondisi ini sama dihadapi semua daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wilayah lain," jelasnya.
Melihat kondisi itu, APJATI mengusulkan dua solusi yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam masalah penempatan TKI. Pertama, pencabutan moratarium yang diharapkan mampu menggenjot kenaikan penerimanaan remitansi. Kedua, peningkatan kualitas dan perlindungan TKI dilakukan melalui penataan sistem pelatihan dan sertifikasi.
"Nanti juga kami akan meningkatkan pembentukan Perwakilan Luar Negeri (Perwalu) setelah moratorium ini dicabut," tandas Ayub. (Dny/Shd)
Jika sebelumnya, pasar TKI bisa memberikan kontribusi sebesar Rp 120 triliun per tahun dari bisnis remitansi. Kini, kiriman uang para pekerja di Timur Tengah tersebut berkurang tajam menjadi Rp 40 triliun-50 triliun.
"Sekarang ada sekitar Rp 70% yang hilang," ujar Ayub saat acara Konsepsi Penempatan dan Perlindungan TKI Terpadu di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2013).
Ayub menjelaskan, sebelum moratorium berlaku, sektor perbankan di daerah tumbuh seiring banyaknya keluarga TKI yang mengantre mencairkan uang kiriman. Bank rata-rata harus melayani pengantre antera 200-300 orang per hari.
Sebagai contoh, dana kiriman TKI di wilayah Lombok mencapai Rp 300 miliar per tahun atau Rp 29 miliar per bulan. "Tapi setelah moratorium Lombok kehilangan Rp 360 miliar. Dan kondisi ini sama dihadapi semua daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wilayah lain," jelasnya.
Melihat kondisi itu, APJATI mengusulkan dua solusi yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam masalah penempatan TKI. Pertama, pencabutan moratarium yang diharapkan mampu menggenjot kenaikan penerimanaan remitansi. Kedua, peningkatan kualitas dan perlindungan TKI dilakukan melalui penataan sistem pelatihan dan sertifikasi.
"Nanti juga kami akan meningkatkan pembentukan Perwakilan Luar Negeri (Perwalu) setelah moratorium ini dicabut," tandas Ayub. (Dny/Shd)