Lonjakan harga kedelai yang saat ini mencapai Rp 10 ribu per kilogram (kg) mendorong perajin tahu dan tempe mogok produksi selama 3 hari. Konon, mahalnya harga kedelai dampak dari pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Namun, menurut INDEF (Institute for Development of Economic and Finance) melambungnya harga kedelai di Indonesia tidak sejalan dengan harga rata-rata kedelai di Internasional yang justru sedang turun.
Harga kedelai internasional berdasarkan data yang diperoleh INDEF, berada di level US$ 577 per ton pada Juli dan turun menjadi US$ 523 per ton di Agustus.
"Sebenarnya kalau kita lihat faktor eksternal logikanya ini sudah terpatahkan. Bukan karena perubahan harga di eksternal. Fenomena yang sekarang justru terjadi anomali, harga di internasional justru turun. Cuma persoalannya nilai tukar kita depresiasi," ungkap Direktur INDEF, Enny Sri Hartati kepada wartawan di Gedung Paramadina, Jakarta, Selasa (10/9/2013).
Enny menuturkan, depresiasi rupiah yang saat ini terjadi pun hanya terjadi sekitar 11% hingga 12%. Itu artinya harga kedelai seharusnya tetap stabil seiring harga kedelai internasional yang turun meski ada depresiasi rupiah.
"Kalau kita bandingkan secara logika, kalau rupiah tidak terdepresiasi harganya justru turun dong. Kalau harga turun, rupiah depresiasi harusnya kan zero, ini kok malah naik. Kalaupun naik harusnya sepadan dengan depresiasi rupiah,"jelasnya.
Dengan adanya fenomena yang dinilai tak lazim itu INDEF memprediksi ada keterlibatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi memperoleh keuntungan.
Lebih lanjut, menurut Enny faktor produksi lokal yang tak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional menjadi faktor lain yang menimbulkan potensi pengendalian harga.
"Memang ada persoalan fundamental, sementara kita mengalami ketergantungan impor, jadi 70% konsumsi dalam negeri dipasok dari impor dan jumlahnya semakin besar," tutup dia. (Yas/Nur)
Namun, menurut INDEF (Institute for Development of Economic and Finance) melambungnya harga kedelai di Indonesia tidak sejalan dengan harga rata-rata kedelai di Internasional yang justru sedang turun.
Harga kedelai internasional berdasarkan data yang diperoleh INDEF, berada di level US$ 577 per ton pada Juli dan turun menjadi US$ 523 per ton di Agustus.
"Sebenarnya kalau kita lihat faktor eksternal logikanya ini sudah terpatahkan. Bukan karena perubahan harga di eksternal. Fenomena yang sekarang justru terjadi anomali, harga di internasional justru turun. Cuma persoalannya nilai tukar kita depresiasi," ungkap Direktur INDEF, Enny Sri Hartati kepada wartawan di Gedung Paramadina, Jakarta, Selasa (10/9/2013).
Enny menuturkan, depresiasi rupiah yang saat ini terjadi pun hanya terjadi sekitar 11% hingga 12%. Itu artinya harga kedelai seharusnya tetap stabil seiring harga kedelai internasional yang turun meski ada depresiasi rupiah.
"Kalau kita bandingkan secara logika, kalau rupiah tidak terdepresiasi harganya justru turun dong. Kalau harga turun, rupiah depresiasi harusnya kan zero, ini kok malah naik. Kalaupun naik harusnya sepadan dengan depresiasi rupiah,"jelasnya.
Dengan adanya fenomena yang dinilai tak lazim itu INDEF memprediksi ada keterlibatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi memperoleh keuntungan.
Lebih lanjut, menurut Enny faktor produksi lokal yang tak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional menjadi faktor lain yang menimbulkan potensi pengendalian harga.
"Memang ada persoalan fundamental, sementara kita mengalami ketergantungan impor, jadi 70% konsumsi dalam negeri dipasok dari impor dan jumlahnya semakin besar," tutup dia. (Yas/Nur)